
Rasindo group. com – Hukum Islam merupakan rangkaian kata hukum dan Islam, secara terpisah hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun oleh orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat seluruh anggotanya.
Istilah hukum Islam juga ialah ungkapan bahasa hukum yang umumnya digunakan untuk menyatakan kelompok hukum yang tercakup dalam wilayah kajian hukum dalam Islam. Secara umum dalam ungkapan keseharian sering juga dinyatakan dengan sebutan syari‟ah atau syara‟. Maka hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu allah dan sunah rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam. Hukum Islam menurut guru besar universitas Indonesia Haliman ialah nama biasa yang diberi kepada dasar-dasar dan hukum-hukum yang diwahyukan oleh allah kepada nabi muhamad yang diwajibkan kepada umat Islam untuk minallah (untuk Allah) dan untuk manusia adalah syari‟ah atau lengkapnya syari‟ah Islamiyah yang dalam bahasa indonesia lazim disebut syari‟ah Islam.
Sumber Hukum Islam‟ merupakan terjemahan dari lafal Mashâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam literatur hukum Islam klasik maupun ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti “sumber hukum Islam‟, periode klasik menggunakan istilah al-adillah al-Syar’iyyah, sedangkan yang dikehendaki dengan mashâdir al-Ahkâm yang digunakan oleh ulama kontemporer sekarang ini juga sesuai dengan istilah al-Adillah al-Syar‟iyyah2. Kemudian, yang dimaksud dengan Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syariat yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menentukan sebuah hukum.
1. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al-Qur‟an diawali dengan surat Al-Fatihah, diakhiri dengan surat An-Nas. Membaca Al-Qur‟an merupakan ibadah. Al-Qur‟an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
2. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur‟an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatanperbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hashr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia.
3. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al-Qur‟an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan Al-Qur‟an”, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al-Qur‟an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al-Qur‟an dan Hadits”, Muadz menjawab ”Saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuknepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al-Qur‟an dan hadits
4. Qiyas
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. 6 Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al-Qur‟an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur‟an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al-Qur‟an. Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
- Dasar (dalil)
- Masalah yang akan diqiyaskan
- Hukum yang terdapat pada dalil
- Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
5. Maslahah Mursalah
Maslahah secara harfiah berarti manfaat dan mursalah berarti netral. Sebagai istilah hukum islam, maslahah mursalah dimaksudkan sebagai segala kepentingan yang bermanfaat dan baik, namun tidak ada nash khusus (teks Al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW) yang mendukungnya secara langsung ataupun yang melarangnya. Dengan kata lain, maslahah mursalah adalah segala kepentingan yang baik yang tidak dilarang oleh Al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW dan juga tidak terdapat penegasannya di dalam kedua sumber itu secara langsung. Apabila suatu kepentingan yang baik ditegaskan secara langsung dalam Al-Qur‟an dan Hadits disebut maslahah mu‟tabarah, dan apabila suatu yang menurut anggapan kita baik dan bermanfaat tetapi ternyata dilarang dalam kedua sumber tekstual itu, maka itu disebut maslahah mulgah (batal). Sementara itu, maslahah muralah bersifat netral dalam arti tidak ada larangannya dalam Al-Qur‟an dan Hadits, tetapi juga tidak ada pembenarannya secara langsung.
6. Istihsan
Secara harfiah, istihsan berarti memandang baik. dalam teori hukum islam, istihsan merupakan suatu kebijaksanaan hukum atau terkecualian hukum. Maksudnya, kebijasanaan untuk tidak memberlakukan aturan umum mengenai kasus, melainkan untuk kasus itu diterapkan ketentuan khusus sebagai kebijaksanaan dan perkecualian terhadap ketentuan umum karena adanya alasan hukum (dalil) yang mengharuskan diambilnya kebijaksanaan hukum tersebut. Lazimnya dalam ilmu ushul fikih, istihsan diartikan sebagai “Meninggalkan ketentuan hukum yang umum berlaku mengenai suatu kasus dengan mengambil ketentuan hukum lain karena adanya alasan hukum untuk melakukan hal demikian.”
7. Istishab
Istishab berarti kelangsungan status hukum suatu hal di masa lalu pada masa kini dan masa depan sejauh belum ada perubahan terhadap status hukum tersebut. Misalnya, seorang hilang yang tidak diketahui rimbanya, maka statusnya dianggap tetap masih hidup, karena sebelum hilang ia diketahui hidup sampai terbukti ia telah meninggal atau dinyatakan telah meninggal oleh hakim. Oleh sebab itu, selama belum ada bukti bahwa ia telah meningggal atau selama belum dinyatakan meninggal oleh hakim, maka harta kekayaannya belum dapat dibagikan kepada ahli waris.
Istishab ada tiga macam, yaitu :
- Kelangsungan status hukum kebolehan umum,
- Kelangsungan kebebasan asli, dan
- Kelangsungan hukum yang sudah ada.
8. Saddudz-dzari‟ah ( Tindakan Preventif )
Secara harfiah, saddudz-dzari‟ah artinya menutup jalan, maksudnya menutup jalan menuju sesuatu yang dilarang oleh hukum syariah. Sebagai terminologi hukum islam, saddudz-dzari‟ah merupakan tindakan preventif dengan melarang suatu perbuatan yang menurut hukum syara‟ sebenarnya dibolehkan, namun melalui ijtihad, perbuatan tersebut dilarang karena dapat membawa kepada suatu yang dilarang atau yang menimbulkan mudharat. Para ahli ushul fikih mendefinisikan saddudz-dzari‟ah sebagai pencegahan perbuatanperbuatan yang mengakibatkan kerugian yang muktabar meskipun awalnya perbuatan-perbuatan tersebut mengandung maslahat.
9. ‘Urf ( Adat )
Urf atau ‘Urf (bahasa Arab: العرف) merupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai Adat Kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. ‘Urf terbagi menjadi Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi Umum atau Khusus dari segi cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi keabsahan menurut syariat. Para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah ialah yang tidak bertentangan dengan syari’at.
Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa) berasal dari kata ‘arafa, ya‘rufu sering diartikan dengan al-ma‘ruf (اَلْمَعْرُوفُ) dengan arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal lebih dekat kepada pengertian diakui oleh orang lain. Sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab عَادَةٌ ; akar katanya: ‘ada, ya‘udu (عَادَ-يَعُوْدُ) mengandung arti perulangan. Oleh karena itu sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Sedangkan Kata ‘Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidah berarti: Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
‘Urf tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqih yang diambil dari intisari Al-Qur’an.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
— QS. Al-A’raf: 199
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‘ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati.
Ayat di atas tidak diragukan lagi bahwa seruan ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang menurut kesepakatan mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf ialah kata umum yang mencakup setiap hal yang diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya disebutkan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia, baik dalam soal mu‘amalah maupun adat istiadat.
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.
Adat atau urf dalam istilah hukum islam adalah suatu hal yang diakui keberadaannya dan diikuti oleh dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan, sepanjang tidak bertentangan denga ketentuan nash syariah atau ijma‟. Adapun yang mendefinisikan sebagai suatu kebiasaan masyarakat yang diakui oleh jiwa kolektif dan diterima oleh akal sehat, baik berupa perkataan ataupun perbuatan sejauh tidak bertentangan dengan nash atau ijma‟ Hukum islam mengakui adat istiadat masyarakat sebagai sumber hukum, akan tetapi dengan beberapa syarat, yaitu:
Adat tersebut tidak bertentangan dengan nash (Al-quran dan Hadits) atau ijma‟ (konsensus); Adat itu konstan dan berlaku umum di dalam masyarakat. Dasar diterimanya adat sebagai sumber dalam hukum islam adalah ayat-ayat Al-quran yang memerintahkan berbuat yang makruf seperti firman Allah SWT: Artinya :“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang melakukan yang makruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(QS Al-A‟raaf: 199) Dari prinsip adat ini dilahirkan beberapa kaidah hukum islam, antara lain adalah: Adat menjadi sumber penetapan hukum. Praktik masyarakat adalah hujjah yang wajib diamalkan.
10. Qaul Sahabat Nabi SAW
Sahabat nabi adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi SAW dan pernah bertemu dengan beliau walaupun sebentar. Sementara itu, yang dimaksud dengan Qaul Sahabat Nabi SAW adalah pendirian seseorang sahabat mengenai suatu masalah hukum ijtihad baik yang tercermin dalam fatwanya maupun dalam keputusannya yang menyangkut masalah dimana tidak terdapat penegasan dalam AlQur‟an, Hadits Nabi SAW ataupun dalam ijma‟. Apabila Qaul Sahabat bukan merupakan ijtihad murni melainkan merupakan suatu yang diketahuinya dari Rasulullah SAW, maka Qaul tersebut dapat diterima sebagai sumber hukum. Begitu pula apabila para sahabat sepakat pendapatnya mengenai suatu masalah sehingga merupakan ijma‟, maka dapat menjadi sumber hukum. Akan tetapi, apabila Qaul Sahabat merupakan hasil ijtihad murni, maka Qaul tersebut diperselisihkan oleh ahli hukum islam apakah dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Sebagian menyatakan dapat menjadi sumber hukum sementara yang lain menyatakan tidak dapat menjadi sumber hukum. Pendapat yang lebuh kuat seperti dikemukakan oleh asy-Syaukani dan Wahbah as-Zuhaili adalah bahwa Qaul murni Sahabat tidak merupakan sumber hukum, karena Sahabat dalam hal ini sama saja dengan manusia lainnya.
11. Hukum Agama Samawi Terdahulu (Syar‟u Man Qablana)
Yang dimaksud dengan hukum agama samawi terdahulu adalah ketentuan hukum yang dibawa oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti Nabi Isa AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Daud AS dan Nabi Musa AS. Apabila hukum agama terdahulu tersebut tidak mendapat konfirmasi dalam hukum agama Islam, maka tidak menjadi sumber hukum Islam. Yang menjadi pembicaraan para ahli hukum Islam dalam kaitan ini adalah aturan-aturan hukum agama terdahulu yang disebutkan di dalam Al-quran atau Hadits sebagai suatu cerita mengenai nabi-nabi terdahulu, bukan sebagai persyariatan hukum. Mengenai ini para ahli hukum Islam berbeda pendapat antara yang menjadikannya sebagai sumber hukum dan tidak.
Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum Islam sejatinya adalah tujuan Pencipta hukum Islam itu sendiri. Tujuan hukum Islam adalah arah setiap perilaku dan tindakan manusianya dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup dengan mentaati serta menghindari apa yang telah menjadi hukumNya. Dalam FirmanNya Allah tegas memberikan segala ciptaannya pada manusia itu tidaklah siasia:
Artinya : “Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (QS Al-Mu‟minun ayat 115)
Tujuan hukum Islam sesuai dengan fitrah manusia dan fungsifungsi daya fitrah manusia. Fitrah manusia mempunyai tiga daya atau
potensi yaitu : „aql, syahwat, gadlab.
14yang akan dijelaskan dalam tabel
berikut ini : Fungsi dan Fitrah Manusia
- ‘Aql Fungsi daya manusia Mengetahui dan mengEsakan Allah Tujuan Mendapat tuntunan dan keridhaan Allah
- Syahwat Fungsi daya manusia Menginduksi objekobjek menyenangkan Tujuan Mencapai kebahagiaan hidup
- Gadlab Fungsi daya manusia Mempertahankan diri dan kesenangan Tujuan Mempertahankan Kebahagiaan
Tujuan hukum Islam secara global atau bisa dikategorikan tujuan umumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya baik kemaslahatan di dunia fana ini, maupun kemashlahatan di hari yang baqa (kekal) kelak.
Pengampunan Menurut Hukum Islam
Ada tiga katagori hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat muslim, yaitu Hukum Syariat, Hukum Fiqih dan Siyasah Syar‟iyyah. Ketiga istilah ini meskipun berbeda pengertian, tetapi mempunyai hubungan yang erat antara satu sama lain.
- Syariat yang memiliki arti jalan menuju ketempat pengairan, atau jalan setapak yang harus ditempuh atau jalan/tempat mengalirnya air sungai.
- Fiqih adalah upaya sungguh-sungguh dari para ulama (mujtahidin) untuk megali hukum syara sehingga dapat diamalkan oleh umat Islam, fiqih juga sering disebut hukum Islam.
- Siyasah Syari‟iyah adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan Negara, mengorganisasi permasalahan umat sesuai dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya yang universal demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun pengaturan tersebut tidak ditegaskan baik oleh Al- Qura‟an maupun Al-Sunnah.
Kata imamah biasanya di identikan dengan kata khalifah, keduannya menunjukan pengertian kepemimpinan tertingi dalam sebuah negara. Sebenarnya baik imamah maupun khalifah mempunyai tugas dan fungsi yang sama perbedaannya terletak hanya di istilah imamah banyak digunakan dikalangan Syi‟ah, sedangkan istilah khilafah lebih populer penggunaannya oleh golongan Sunni. Sesungguhnya imamah (khalifah) itu di proyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.
Di dalam fikih Islam pengampunan hukuman dikenal dengan sebutan Al-Syaffa‟at atau Al-„Afwu yang artinya adalah setiap perbuatan dosa (pelaku kejahatan) yang seharusnya menjalani hukuman menjadi terhapuskan serta telah mendapatkan penampunan, dimana hal tersebut juga bermakna remisi namun tata caranya yang berbeda.
Sebab pengampunan nya bukanlah milik seorang kepala negara. Sedangkan hukuman had, tidak berlaku pengampunan apabila sudah diputuskan oleh hakim atau qadhi.
Tujuan pokok hukuman dalam hukum pidana Islam adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadat, karena agama Islam merupakan agama rahmatan LilAl-‘Alamin. Untuk memperbaiki petunjuk dan pelajaran kepada manusia.
Hukuman ditetapkan demikian untuk memperbaiki individu dan
menjaga masyarakat agar tertib sosial, disamping tujuan tesebut, hukuman juga berfungsi sebagai pencegahan (Ar-Ra‟du Wazzajru) serta media untuk pendidikan dan pengajaran (Al-Islami Al-Tahzbi).
Perlu digaris bawahi, bahwa hukum Islam sendiri mengedepankan konsep tahqiq masalih al nas (merealisasikan kemaslahatan untuk manusia).
Dalam syariat Islam kepentingan manusia dalam tataran maslahah diberikan legatimasi sebagai salah satu misi syari‟at (Maqashid Al-Syariat), Dalam maslahah ini AlGhazali mengkerasifikasikan dalam tiga kelompok.
Yaitu pertama, AlDraruriat, yaitu kepentigan yang bersifat primer, katagori ini meliputi tentang hak dinny (hak beragama), hak nafsiy (hak hidup), hak nasaby (hak keturunan), hak maly (perlindungan harta benda), hak ‘aqli(perlindungan intelektual). Versi lain menembahkan hak „iradhy (hak kehormatan, harga diri). Kedua Al-khaajiaat yaitu kebutuhan yang bersifat sekunder, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka manusia akan kesulitan dalam beraktifitas. Ketiga, Al-Tasiniat, sebagai kepentingan yang diwajibkan demi terbentuknya sebuah peradaban yang luhur. Dalam artian, hal ini terwujud karena sebagai tambahan kreasi dalam hidup manusia.
Berdasarkan pada pengrtian tersebut, pembentukan hukuman berdasarkan kemaslahatan manusia. Maksudnya di dalam rangka mencari yang mengguntungkan dan menghindari kemudharatan manusia yang bersifat sangat luas, dan masalah ini merupakan sesuatu yang berkembang berdasarkan perkembangan yang selalu berkembang disetiap lingkungan.
Sistem sanksi (Nidzamul „Uqubat) Islam merupakan sistem yang khas lahir dari akidah Islam, sehingga tidak bisa disamakan dengan sistem-sistem lainya. Begitu juga ketika membicarakan masalah remisi ataupun pengampunan tersebut pada hukum positif yang diterapkan tentu berbeda secara fakta dengan pengampunan dalam Islam.
Pengampunan dalam’uqubat Islam berbeda-beda sesuai perbuatan kejahatan yang dilakukan,’uqubat mengenal empat jenis sanksi yaitu:
- hudud,
- qisas,
- diyat dan
- ta‟zir.
Tindak pidana hudud adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman hudud, yaitu hukaman yang ditentukan jenis jumblahnya dan menjadi hak Allah SWT. Maksudnya adalah hukuman yang telah ditetukan oleh allah adalah hukuman had tidak memiliki batasan minimal (terendah) ataupun batasan maksimal (tertinggi). Yang dimaksud dengan hak allah adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (individu) atau masyarakat.
Tindak pidana qisah dan diyat adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman qisas atau diat. Keduannya merupakan hak individu yang kadar jumblahnya telah ditentukan, yakni tidak memiliki batasan minimal ataupuna maksimal. Hak individu disini adalah sang korban boleh membatalkan hukuman tersebut dengan cara memaafkan pelaku jika ia menghendakinnya.
Tindak pidana ta‟zir adalah tindak pidana yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman ta‟zir, yang dimaksud ta‟zir adalah ta‟dib yaitu memberikan pendidikan (pendisiplinan). Hukum Islam tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap hukuman, tindak pidana ta‟zir penuntutan ta‟zir diberikan kepada penguasa atau pemerintahan. Jika kasus hudud telah disampaikan kepada majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi. Sedangkan dalam perkara kasus qisasdiat. Hak memberikan pengampunan hanya ada pada shahbulhaq bukan pada negara ataupun qadhi. Oleh karena itu, untuk perkara qisasdiat, negara bukanlah pihak yang memberikan pengampunan.
Sedangkan perkara ta‟zir penetapan sanksi diserahkan kepada khalifah dan qadhi (sebagai wakil dari khalifah) sehingga dalam pemberian pengampunan ataupun pengurangan/peringanan hukuman juga terdapat pada khalifah.
Dalam perkara yang dibenarkan adanya pengmupunan, perlu diperhatikan secara seksama bahwa hal tersebut berlaku jika pada proses pengaduan kasus kepada qadhi dan qadhi belum memutuskan hukumannya. Adapun jika qadhi telah memutuskan hukuman terhadap sebuah kejahatan, maka tidak boleh ada pemaafan, kecuali dalam perkara jinayat jika shahibulhaq yang memberikan maaf. Keputusan qadhi jika telah ditetapkan berarti telah bersifat mengikat, maka qadhi tidak boleh mebatalkannya, menganulirnya, merubahnya, meringankannya, atau apapun secara mutlak selama keputusan tersebut mengandung sanksi syar‟i.
Macam-macam Tindak Pidana dan Pemberian Pengampunan
Macam-macam jenis pengampunan yang dikenal di dalam hukum pidana Islam ialah:
- Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja, karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar‟i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orangmukmin. Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta. Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain:
- pembunuhan sengaja.
- pembunuhan semi sengaja.
- pembunuhan keliru.
- penganiayaan sengaja.
- Penganiayaan
- Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta‟zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta‟zir harus sesuai dengan prinsip syar‟i (Nas). Abdul Qodir Awdah membagi jarimah ta‟zir menjadi tiga, yaitu:
- Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.
- Jarimah ta‟zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari‟ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama
- Jarimah ta‟zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya. Dilihat dari haknya hukuman ta‟zir sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab hakimlah yang memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab subulu salam ditemukan bahwa orang yang berhak melakukan hukman ta‟zir adalah penguasa atau imam namun diperkenankan pula untuk:
- Ayah; seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman ta‟zir kepada anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif. Apabila sudah baligh maka ayah tidak berhak untuk memberi hukuman kepada anaknya meskipun anaknya idiot.
- Majikan; seorang majikan boleh menjatuhkan ‟zir hambanya baik yang berkaitan dengan hak dirinya maupun hak Allah
- Suami; seorang suami diperbolehkan melakukan ta‟zir kepada istrinya. Apbila istrinya melakukan nusyuz.
- Hukuman ta‟zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman ta‟zir antara lain:
- Hukuman mati
- Hukuman jilid
- Hukuman kawalan (penjara kurungan)
- Hukuman salib
- Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
- Hukuman Pengucilan (Al-Hajru)
- Hukuman Denda (tahdid)
Dalam hukum Pidana Islam, tindak pidana terbagi menjadi tiga macam, yaitu pidana hudud, pidana qhisasdiyat dan pidana ta‟zir, kaitannya dengan pengampunan hukuman, pembagian ini berfungsi untuk memisahkan pidana yang tidak mengenal pengampunan dan pidana yang bisa diampunkan. Untuk pidana hudud, hukum Islam telah menentukan bahwa salah satu kewajiban penguasa negara atau khususnya kepala negara menurut Imam Al-Mawardi adalah menegakkan hukum-hukum Allah agar orang tidak berani melanggar hukum-hukum Allah yang batas-batasnya telah Allah tetapkan dan menjaga hak-hak hamba-nya dari kebinasaan dan kerusakan. Oleh karena itu hukuman ini tidak bisa diampunkan oleh penguasa negara, disamping karena hukuman had ini adalah murni hak Allah. Di dalam Islam sendiri mengajarkan bahwa perkara hudud yang telah sampai kepada yang berwenang tidak boleh lagi diampuni dan di dalam pidana qishash-diyat sendiri, Allah SWT telah mengatur bahwa korban atau walinya punya hak untuk menuntut atau mengampuni.
Allah SWT telah memberikan wewenang kepada ahli waris terbunuh, tetapi tidak boleh melampaui batas dalam melaksanakan pembalasan darah tersebut. Yang dimaksud wewenang di sini adalah justifikasi untuk menuntut qishash. Dari sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal pembunuhan di mana pelaku pembalas bukanlah negara melainkan ahli waris dari orang yang terbunuh, oleh karena itu negara sendiri tidak berhak untuk memberikan ampunan. Akan tetapi jika korban tidak cakap di bawah umur atau gila sedang ia tidak punya wali, maka kepala negara bisa menjadi walinya dan bisa memberikan pengampunan. Jadi kedudukannya sebagai wali Allah yang memungkinkan dia mengampuni, bukan kedudukannya sebagai penguasa Negara.
Untuk pidana ta‟zir sendiri para fuqaha‟ berbeda pendapat, apakah penguasa negara bisa memberikan pengampunan terhadap semua macam pidana ataukah hanya sebagian saja. Menurut sebagian fuqaha‟, pada pidana hudud dan qishash yang tidak lengkap, yaitu yang hanya dikenakan hukuman ta‟zir, tidak boleh diampunkan, sadangkan menurut fuqaha‟ lain, semua macam pidana ta‟zir bisa diampunkan, jika bisa mewujudkan kemaslahatan. Sedangkan dalam masalah pidana ta‟zir, hukum Islam mengatur bahwa penguasa diberi hak untuk membebaskan pembuat dari hukuman dengan syarat tidak mengganggu korban. Korban juga bisa memberikan pengampunan dalam batas-batas yang berhubungan dengan hak pribadinya. Namun karena pidana ini menyinggung hak masyarakat, hak pengampunan yang diberikan oleh korban tidak menghapuskan hukuman sama sekali, hanya sebatas meringankan. Jadi dalam pidana ta‟zir, penguasalah yang berhak menentukan hukuman dengan pertimbangan kemaslahatan.
Hukum Islam tidaklah mutlak melarang pemaafan hukuman atau remisi oleh Presiden/pemimpin. Remisi diperbolehkan dalam batas-batas yang sangat sempit dan demi pertimbangan kemaslahatan masyarakat. Hanya hukuman-hukuman yang ringan yang tidak membahayakan kepentingan umumlah yang boleh diampuni oleh kepala negara. Dan untuk pidana pembunuhan tidaklah ada hak kepala negara untuk mengampuni hukuman.
Disamping itu hakim hendaklah berhati-hati dalam menjatuhakan hukuman artinya jika hakim tidak menentukan keyakinan dalam menjatuhkan putusan maka dia tidak boleh menjatuhkan hukuman. Adapun pengurangan hukuman terhadap hukum had atau pengecualian terhadap hukum had, hal itu bukanlah sebuah pengampunaan, melainkan rukhshah.
Kewenangan Penguasa (Khalifah/Presiden) Terkait Kepentingan UmumMenurut Hukum Islam
Dalam pandangan siyasah kewenangan presiden atau khalifah itu sangat mengutamakan kepentingan umat dan kemaslahatan umat berbangsa dan bernegara, kemudian kewenangan Khalifah/Presiden dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû‟ Dustûr) Negara Islam Pasal 36, yang berbunyi:
Khalifah memiliki wewenang sebagai berikut:
- Menetapkan hukum-hukum syariah yang diperlukan untuk memelihara urusanurusan umat, yang digali dengan ijtihad yang sahih dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sehingga menjadi perundang-undangan yang wajib ditaati dan tidak boleh dilanggar.
- Bertanggung jawab terhadap politik negara, baik dalam maupun luar negeri; juga memegang kepemimpinan militer, dan yang berhak mengumumkan perang, mengadakan perjanjian damai, gencatan senjata serta seluruh perjanjian lainnya
- Berhak menerima atau menolak duta-duta negara asing; juga berhak menentukan dan memberhentikan duta kaum Muslim.
- Mengangkat dan memberhentikan para Mu‟awin dan Wali; mereka semua bertanggung jawab kepada Khalifah sebagaimana mereka juga bertanggung jawab kepada Majelis Umat.
- Mengangkat dan memberhentikan Qadhi Qudhat dan seluruh qadhi, kecuali Qadhi Mazhalim yang sedang menangani kasus terkait Khalifah, Mu‟awin atau Qadli Qudhat. Juga yang berhak mengangkat dan memberhentikan para kepala direktorat, komandan militer, dan para pemimpin brigade militer. Mereka bertanggung jawab kepada Khalifah dan tidak bertanggung jawab kepada Majelis Umat.
- Mengadopsi hukum-hukum syariah yang berhubungan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara. Juga yang menentukan rincian nilai APBN, pemasukan maupun pengeluarannya.”
Berdasarkan Rancangan UUD (Masyrû‟ Dustûr) Negara Islam Pasal 36 ini, Khalifah sebagai kepala negara memiliki sejumlah wewenang sebagai berikut:
- Menetapkan Hukum Syariah. Khalifah memiliki wewenang untuk menetapkan hukum-hukum syariah tertentu yang diperlukan. Ada dua alasan mengapa hal ini harus dilakukan oleh Khalifah:
- tidak terhindari adanya perbedaan pendapat di tengah masyarakat terkait satu persoalan;
- adanya hubungan antara penetapan hukum dan pemeliharaan Khalifah sebagai kepala Negara terhadap kepentingan kaum Muslim.
- Agar kedua hal tersebut tidak menimbulkan problem bahkan konflik di tengah-tengah umat, maka Khalifah harus menetapkan hukum-hukum syariah tertentu yang mengikat semua warga, yang kemudian disebut dengan undang-undang. Sebab, undang-undang didefinisikan sebagai: “Seperangkat aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, serta memiliki kekuatan yang mengikat dan memaksa rakyat untuk mematuhinya dalam menjalankan hubungan antarmereka”. Dalil atas hal ini adalah Ijmak Sahabat. Pasalnya, ketika Umar ra. berkuasa, beliau menetapkan hukum yang berbeda dengan pendapat Abu Bakar. Saat itu Khalifah Umar ra. membagikan harta (rampasan) perang berdasarkan siapa yang lebih dulu memeluk Islam atau yang lebih membutuhkannya, yakni dengan pembagian yang berbeda. Padahal sebelumnya, Khalifah Abu Bakar ra. membaginya dengan sama rata. Kaum Muslim pun seluruhnya mengikuti pendapat Umar ini, termasuk para Qadhi dan Wali. Karena itu, Ijmak Sahabat menguatkan bahwa Khalifah berhak menetapkan hukum-hukum tertentu-tentu melalui proses ijtihad yang sahihserta memerintahkan rakyatnya untuk melaksanakan-nya. Jadi, menetapkan hukum-hukum syariah adalah wewenang Khalifah semata.
- Mengendalikan Kebijakan Dalam dan Luar Negeri Khalifah memiliki wewenang untuk mengendalikan kebijakan dalam dan luar negeri. Artinya, Khalifahlah yang bertanggung jawab terhadap politik negara, baik dalam maupun luar negeri; juga yang memegang kepemimpinan militer sehingga Khalifah berhak mengumumkan perang, mengadakan perjanjian damai, gencatan senjata serta seluruh perjanjian lainnya. Dalil terkait hal ini adalah af‟âl (amal perbuatan) Rasulullah saw. Beliaulah yang mengangkat para wali dan qadhi serta mengoreksi mereka. Beliau yang mengawasi aktivitas jual-beli dan mencegah penipuan. Beliau yang mendistribusikan harta kepada rakyat. Beliau pula yang membantu mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan menciptakan lapangan pekerjaan. Artinya, beliau yang melakukan semua urusan dalam negeri. Beliau pula yang melakukan urusan luar negeri; di antaranya menyeru para raja dan menerima para delegasi. Beliau secara riil memimpin kepemimpinan militer. Bahkan ada sejumlah peperangan yang beliau pimpin sendiri. Beliau mengirim pasukan khusus (sariyah) dan mengangkat panglimanya. Bahkan ketika beliau mengangkat Usamah bin Zaid untuk memimpin pasukan khusus yang akan dikirim ke Syam, sahabat tidak senang dengan itu, karena Usamah masih sangat muda. Namun, Rasululah saw. memaksa mereka agar menerima kepemimpinan Usamah. Semua ini menunjukkan bahwa kepala negara (Khalifah) adalah panglima tinggi militer yang sesungguhnya, bukan sekadar sebutan saja, seperti yang diberikan pada seorang presiden, termasuk di Indonesia. Beliau juga yang mengumumkan perang, seperti pengumuman perang terhadap kaum Quraisy, Bani Quraidhah, Bani Qainuqa‟ dan lainnya. Beliau juga yang mengadakan perjanjian dengan Yahudi. Beliau pula yang mengadakan Perjanjian Hudaibiyah. Meski kaum Muslim tidak suka dengan Perjanjian Hudaibiyah ini, Rasulullah saw. tidak merespon dan menolak pendapat merela. Beliau tetap mengadakan perjanjian tersebut. Semua ini menunjukkan bahwa mengadakan perjanjian adalah wewenang Khalifah saja.
- Mengangkat dan Menerima Para Duta. Khalifah memiliki wewenang untuk menerima atau menolak dutaduta negara asing; juga menentukan dan memberhentikan duta kaum Muslim. Dalil dalam hal ini adalah, bahwa Rasulullah saw. pernah menerima dua delegasi kaum Quraisy, yaitu Musailamah al-Kadzdzab dan Abu Rafi‟; keduanya merupakan duta kaum kafir Quraisy. Beliau yang mengirim para duta kaum Muslim kepada Heraqlius, Kisra, Muqaiqis, Harits al-Ghassani Raja Hirah, Harits al-Humairi Raja Yaman, dan kepada Najasi Raja Habasyah. Beliau pula yang mengirim Utsman bin Affan di Hudaibiyah sebagai duta kaum Muslim kepada kaum kafir Quraisy. Semua ini menunjukkan bahwa Khalifahlah yang menerima para duta dan menolaknya, serta yang mengangkat para duta kaum Muslim.
- Mengangkat dan Memberhentikan Para Mu‟awin dan Wali. Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan para para mu‟awin dan para wali. Dalilnya adalah, bahwa Rasulullah saw. sendiri yang mengangkat para wali. Beliau mengangkat Muadz menjadi wali di Yaman. Beliau juga yang memberhentikan para wali. Beliau yang memberhentikan al-Ala‟ bin al-Hadhrami dari jabatan sebagai wali di Bahrain, karena ada pengaduan dari penduduk Bahrain. Semua ini menunjukkan bahwa para wali bertanggung jawab terhadap penduduk wilayahnya, bertanggung jawab terhadap Khalifah dan bertanggung jawab terhadap Majelis Umat karena Majelis Umat mewakili seluruh wilayah. Hal ini terkait wewenang Khalifah untuk mengangkat dan memberhentikan para wali. Adapun dalil bahwa Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan paramu‟awin maka dalilnya adalah, bahwa Rasulullah saw. memiliki dua orang mu‟awin, yaitu Abu Bakar dan Umar. Meski sepanjang hidupnya beliau tidak pernah memberhentikan keduanya dan tidak pula mengangkat orang lain selain keduanya. Pasalnya, mu‟awin itu mendapatkan kekuasaan dari Khalifah sehingga kedudukannya sama dengan wakil Khalifah. Karena itu Khalifah berhak memberhentikannya; di-qiyas-kan dengan wakil, yakni orang yang mewakilkan berhak memberhentikan wakilnya, kecuali ada dalil yang melarang dari memberhentikannya dalam kondisi tertentu.
- Mengangkat dan Memberhentikan Para Qadhi, Kepala Direktorat dan Petinggi Militer. Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Qadhi Qudhat dan seluruh qadhi, kecuali Qadhi Mazhalim yang sedang menangani kasus terkait Khalifah, Mu‟awin atau Qadhi Qudhat. Juga mengangkat dan memberhentikan para kepala direktorat, komandan militer, dan para pemimpin brigade militer. Dalilnya adalah, bahwa Rasulullah saw. pernah mengangkat Ali ra. sebagai qadhi di Yaman. Khalifah Umar ra. mengangkat Syuraikh sebagai qadhi di Kufah. Beliau pun pernah memberhentikan Syurahbil bin Hasanah dari jabatannya sebagai qadhi di Syam. Khalifah Ali ra. pernah mengangkat Abu Aswad dan kemudian memberhentikannya karena suaranya terlalu tinggi di hadapan dua orang yang tengah berperkara. Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar dan Imam Ali dilihat dan didengar langsung oleh para Sahabat. Tidak seorang pun dari mereka yang mengingkari perbuatan keduanya. Ini menunjukkan bahwa Khalifahlah yang mengangkat para qadhi dan memberhentikannya dengan di-qiyas-kan pada akad perwakilan. Adapun pengecualian pemecatan Qadhi Mazhalim yang tengah menangani kasus Khalifah, Mu‟awin atau Qadhi Qudhat, maka itu didasarkan pada kaidah syariah, “Al-wasîlah ila al-harâmi harâm[un](Sarana yang membawa pada keharaman adalah haram).” Dalam kondisi seperti ini, Khalifah memiliki wewenang memecatnya, maka itu akan berpengaruh terhadap keputusan qadhi, yang bisa menyia-nyiakan hukum syariah. Ini haram jika terjadi. Karena itu dalam kondisi seperti ini pemecatan Qadhi Mazhalim menjadi wewenang Mahkamah Mazhalim, bukan lagi wewenang Khalifah. Adapun dalam kondisi selain itu, kembali pada hukum asalnya, yakni mengangkat dan memberhentikannya menjadi wewenang Khalifah. Rasulullah saw. juga mengangkat para juru tulis administrasi pemerintahan yang kedudukannya sama dengan kepala direktorat. Beliau juga mengangkat para komandan militer dan pemimpin brigade. Semua ini menunjukkan bahwa mengangkat mereka semua adalah wewenang Khalifah. Mereka semua bertanggung jawab pada Khalifah saja.
- Menetapkan APBN. Khalifah memiliki wewenang untuk menentukan hukum-hukum syariah yang berhubungan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara; juga menentukan rincian nilai APBN, pemasukan maupun pengeluarannya Sebenarnya, APBN dalam Negara Islam, terkait sumber pendapatan dan belanjanya, telah ditetapkan oleh hukum syariah. Dengan demikian tidak boleh mendapatkan dan membelanjakan satu dinar pun, kecuali sesuai hukum syariah. Hanya saja, penetapan rinciannya diserahkan pada pendapat dan ijtihad Khalifah. Misalnya, Khalifah menetapkan besarnya pembagian hasil tanah kharaj adalah segini, dan besarnya nilai jizyah yang diambil segini. Ini dan yang semisalnya adalah menyangkut rincian pendapatan. Khalifah juga yang menetapkan pengeluaran untuk pembangunan jalan segini, dan untuk pembangunan rumah sakit segini. Ini dan yang semisalnya adalah menyangkut rincian pengeluaran. Dengan demikian keputusan untuk semua ini dikembalikan pada pendapat dan ijtihad Khalifah. Semua hal tersebut telah dicontohkan serta dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah sesudahnya, bahkan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Semua ini menunjukkan bahwa rincian APBN ditetapkan oleh Khalifah atau yang mewakilinya.
- Dalam Siyasah Syar‟iyyah terdapat tinjauan filosofi terkait khalifah dalam Islam, beberapa filosofis tersebut adalah sebagai berikut:
- Mengatur peraturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
- Mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan Negara.
- Menciptakan partisipasi aktif seorang muslim dalam aktifitas politik baik dalam rangka mendukung maupun mengawasi kekuasaan.
- Menegakkan sistem yang Islami dengan kekuasaannya, yaitu menyebarluaskan kebaikan dengan memerintahkan yang makruf.
- Menegakkan keadilan, menghentikan kedzaliman, dan menghancurkan kesewenang-wenangan.
- Mewujudkan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan bangsa dan bernegara, baik dalam kehidupan berpolitik, ekonomi, sosial, berbudaya, dan lain sebagainya.
- Menjaga keamanan dan ketentraman dalam kehidupan bernegara.
Pertimbangan Hukum Dalam Pemberian Pengampunan HukumanMenurut Islam (Siyasah).
A. Pengampunan Hukuman (Al-Syafa‘At) Menurut Islam. Pengertian Pengampunan Hukuman (Al-Syafa„at) Menurut Islam. Dalam dunia peradilan Islam, dikenal istilah pengampunan, dengan istilah al-„afw (العفو (dan al-syafa„at (الشفاعة (Kata al-„afwu (العفو (merupakan bentuk isim yang mendapat imbuhan kata al (ال (di depannya, atau disamakan dengan kata afwun (عفو (dalam bentuk masdar-nya, yang secara segi bahasa mengandung arti hilang, terhapus, memberi dengan penuh kerelaan dan pemaafan. Sedang kata al-„afwu (العفو (menurut istilah sebagaimana yang didefinisikan oleh Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya al Razy adalah setap pembuat dosa (pelaku kejahatan) yang seharusnya menjalani hukuman menjadi terhapuskan sebab telah mendapatkan pengampunan. Dan kata al-syafa„at sebagaimana hadis atsar yang diriwayatkan dari Imam Malik yang didefinisikan oleh Fakhruddin al Razi (ahli fiqhmazhab Maliki) dengan makna “suatu permohonan dari seseorang terhadap orang lain agar keinginannya dipenuhi” Selanjutnya, kata al-syafa„at (الشفاعة (dalam kamus bahasa arab merupakan lawan kata dari al-witru (الوتر- (ganjil- yang mengandung arti genap, sepasang, sejodoh, perantaraan, pertolongan dan bantuan. Adapun kata al-syafa„at (الشفاعة (sendiri berasal dari kata syafa„a (شفع (yang juga berarti menghimpun, mengumpulkan atau menggandakan sesuatu dengan sejenisnya. Adapun definisi al-syafa„at menurut Ali bin Muhammad al Jurjani, ahli ilmu kalam serta ahli hukum mazhab Maliki sekaligus pengarang kitab al-Ta„rifat, bahwa al-syafa„at adalah suatu permohonan untuk dibebaskan dan atau dikurangi dari menjalani hukuman terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukan.
Dasar Hukum Pengampunan Hukuman (Al-Syafa‘at)
Adapun dasar hukum tentang adanya konsep al-‘afwuataual Syafa’at dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:
- Al-Qur’an. Surat Al-Baqarah ayat 178 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”. Ayat di atas, menjelaskan bahwa Allah SWT. Telah memberikan wewenang kepada ahli waris terbunuh, tetapi tidak boleh melampaui batas dalam melaksanakan pembalasan darah tersebut, yang dimaksud wewenang di sini adalah justifikasi sebagai ahli waris korban untuk menuntut qishas atau memberikan pengampunan terhadap pelaku pembunuhan tersebut, dari sini muncullah suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal pembunuhan dimana pelaku pembalas (penuntut) bukanlah negara melainkan ahli waris dari yang terbunuh. Oleh karena itu, negara sendiri tidak berhak untuk memberikan ampunan.
Surat An-Nisa‟ ayat 85
Artinya: “Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” Ayat ini mengandung arti bahwa syafa„at ada di dunia dan diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang membutuhkannya sebagaimana kapasitas yang dimiliki oleh seseorang dalam memberikan syafa„at tersebut. Oleh karena itu, secara umum Islam memandang bahwa pada dasarnya memberikan syafa„at berupa bantuan, baik materil maupun moril, atau pertolongan lainnya menurut kebutuhan orang yang meminta syafa„at merupakan tindakan yang terpuji namun bisa juga menjadi suatu tindakan yang tidak terpuji. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa siapa yang sudi menggenapkan yang ganjil, menyamai Rasul dalam perjuangannya sebab beliau sendiri yang mula-mula diperintahkan Tuhan. Maka, orang yang menggenapkan panggilan itu dengan baik, niscaya dia akan mendapat keuntungan atau nashib (bagian). Tetapi, barang siapa yang menggenapkan itu tidak baik, tidak jujur, setengah hati, mundur di tengah jalan, atau mau enaknya saja, niscaya dia akan menanggung dan dia akan menderita tersebab syafa„at yang buruk itu. Jarullah Al-Zamakhsari didalam tafsirnya menyebutkan‚ bahwa syafa„at yang baik ialah yang digunakan untuk memelihara dan menjaga sesama muslim, menolak kejahatan dan meraih kebaikan, dan dalam semua sikap hanya satu yang diharapkan yaitu wajah Allah, bukan mengharapkan rasywah (uang suap). Maka dari itu, hendaklah yang mendapatlan syafa„at adalah perkara yang dibolehkan oleh Syara‟ dan bukan didalam usaha melanggar batas-batas ketentuan Allah, atau melangkahi batas-batas kebenaran. Dengan kata lain memberikan syafa„at dalam surat An-Nisa ayat 85, bertujuan supaya seseorang ataupun sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana dapat kembali memperoleh hak-haknya sebagai seorang warga negara, karena syafa„at diberikan supaya kembali untuk berbuat kebaikan. Dapatlah dijabarkan makna dari ayat tersebut, barangsiapa yang memberikan dari saat ke saat, untuk siapa dan kapan saja syafa„at yang baik, yakni menjadi perantara sehingga orang lain dapat melaksanakan tuntunan agama, baik dengan mengajak maupun memberikan sesuatu yang memungkinkan orang lain dapat mengerjakan kebajikan, niscaya ia akan memperoleh bagian pahala darinya yang disebabkan oleh upayanya menjadi perantara. Dan barang siapayang memberi syafa„at, yakni menjadi perantara untuk terjadinya suatu pekerjaan yang buruk bagi siapa dan kapanpun, niscaya ia akan memikul bagian dosa dari usahanya. Allah SWT. sejak dulu hingga kini dan seterusnya Maha kuasa atas segala sesuatu.
Surat Al-A‟raf ayat 199
Artinya: “Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
B. Hadits. Dalam beberapa hadits juga memberikan keterangan bahwa pengampunan dianjurkan dalam suatu perkara tindak pidana selama itu memang masih bisa dimungkinkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Arfajah Al-Asyja‟iz sebagai berikut: Artinya: “Siapa yg mendatangi kalian dlm keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dlm satu kepemimpinan kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian maka perangilah/bunuhlah orang tersebut.” Keterangan dari hadits di atas, merupakan sandaran hukum bagi seseorang yang mempunyai otoritas dalam memutuskan suatu perkara, baik oleh seorang hakim maupun penguasa, apabila menemukan keraguan dalam menilai suatu jarimah yang dilakukan dan dituduhkan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang akan diputuskannya. Sehingga seorang imam atau qadhi dituntut supaya lebih cermat dan penuh kehati-hatian dalam memutuskan suatu perkara. Akan tetapi seorang hakim atau imam juga tidak boleh sertamerta begitu saja memberikan pengampunan jika suatu perkaradari seorang pelaku jarimah tersebut telah diajukan kepadanya.
Daftar Pustaka:
- Abdul Wahab Khallaf, “Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh”, h. 36.
- Husain Hamid Hasan, Nadzariyyah al-Malahah fi al-Fiqh al-Islami. (Mesir: Dar anNahdhah al-„Arabiyah, 1971), hal. 50
- Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 15
- Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh. (Damaskus: al-Fikr, 1406/1986), hal. 858
- Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih. (Jakarta: Kencana Panamedia Group, 2010), hal.158
- Ahmad Sudirman Abbas, Qawa id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih. (Jakarta : Radar Jaya Offset, 2004), hal.164
- Barzah Latupono, Buku Ajar Hukum Islam. (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2007), hal.
- Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2. (Jakarta: Panamedia Group, 2011), hal. 416
- Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : LPPM Universitas Islam Bandung)101
- Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h.13.
- Maimun, Metode Penemuan Hukum Dan Implementasinya, (pada kasus-kasus hokum islam), (lampung: Aura, Cet Ke-III, 2015), h. 2.
- Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Hukum-huum Penyelengaraan Negara Dalam Syariat Islam), (Bekasi: PT Darul Falah, Cet Ke-VI, 2014), h. 3
- Abi Al-Husain Ahmad, Mujmal Al-Lughat, (Bairut: Dar A l-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 72
- Ahmad Rafiq, Perubahan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gema Media, 2001), h. 24.
- Team Pembukaan Manhaji Tamatan MHM 2003, Lirbayor, Peradigma Fiqih Masail Konteksualisasi Hasil (Bahsul: Basail Cet-ketiga, 2005), h. 204
Editor: Dedy TA