
Rasindo group.com – Oleh : Dedy Tisna Amijaya
Pengertian Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa yang dimaksud dengan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika yang terkenal di Indonesia sekarang ini berasal dari kata Narkoties, yang sama artinya dengan kata
narcosis yang berarti membius.
Dulu di Indonesia dikenal dengan sebutan madat. Penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih
luas tersebut selain didasarkan pada faktor-faktor diatas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Salah satu materi baru dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dibagi menjadi 3 (tiga) golongan, mengenai bagaimana penggolongan dimaksud dari masing-masing golongan telah dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang Undang Narkotika.
Sehubungan dengan adanya penggolongan tentang jenis-jenis narkotika sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) ditetapkan dalam penjelasan umum Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, seperti terurai di bawah ini.
Narkotika Golongan I
Dalam ketentuan ini yang dimaksud narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika Golongan II
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika Golongan III
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Tindak Pidana Narkotika
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah straftbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disanksikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan- kepentingan tersebut sudah merupakan
kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.
Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi kepetingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka dan ganja.19 Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat dilakukan dengan cara preventif, moralistik, abolisionistik dan juga kerjasama internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya usaha sebelum terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam keluarga, orang tua, sekolah, guru dengan memberikan penjelasan tentang bahaya narkotika. Selain itu juga dapat dengan cara mengobati korban, mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan dan mengadakan pengawasan terhadap eks pecandu narkotika.
Pengertian Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Secara umum dapat diartikan bahwa pecandu narkotika adalah pemakai narkoba secara tetap dan bukan untuk tujuan pengobatan atau digunakan tanpa mengikuti aturan takaran yang seharusnya atau dapat juga diartikan bahwa pengguna narkotika adalah individu yang menggunakan narkotika dalam jumlah berlebihan, secara berkala atau terus menerus berlangsung cukup lama sehingga dapat merugikan kesehatan jasmani, mental dan kehidupan sosial.
Korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi. Korban penyalahgunaan narkotika dianggap tidak menginginkan terlibat dalam penyalahgunaan narkotika sehingga korban penyalahgunaan narkotika ini harus disembuhkan.
Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dikatakan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Dalam hukum pidana, tanpa hak atau melawan hukum ini disebut juga dengan istilah wederrechtelijk. Menurut P.A.F. Lamintang.
wederrechtelijk ini meliputi pengertian-pengertian:
- Bertentangan dengan hukum objektif; atau
- Bertentangan dengan hak orang lain; atau
- Tanpa hak yang ada pada diri seseorang; atau
- Tanpa kewenangan.
penggunaan narkotika adalah pemakain obat-obatan atau zat-zat berbahaya dengan tujuan bukan untuk pengobatan dan penelitian serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar. Dalam kondisi yang cukup wajar/sesuai dosis yang dianjurkan dalam dunia kedokteran saja maka penggunaan narkotika secara terus-menerus akan mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi atau kecanduan.
Penggunaan narkotika juga berpengaruh pada tubuh dan mental emosional para pemakaianya. Jika semakin sering dikonsumsi, apalagi dalam jumlah berlebih maka akan merusak kesehatan tubuh, kejiwaan dan fungsi sosial didalam masyarakat. Pengaruh narkotika pada remaja bahkan dapat berakibat lebih fatal, karena menghambat perkembangan kepribadianya. Narkotika dapat merusak potensi diri, sebab dianggap sebagai cara yang wajar bagi seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup sehari-hari.
Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat patologik dan harus menjadi perhatian segenap pihak. Meskipun sudah terdapat banyak informasi yang menyatakan dampak negatif yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan dalam mengkonsumsi narkotika, tapi hal ini belum memberi angka yang cukup signifikan dalam mengurangi tingkat penyalahgunaan narkoba.
Terdapat tiga faktor (alasan) yang dapat dikatakan sebagai pemicu seseorang dalam menyalahgunakan narkotika. Ketiga faktor tersebut adalah faktor diri, faktor lingkungan, dan faktor kesediaan narkotika itu sendiri. Berikut beberapa contoh dari masing-masing, yaitu:
- Faktor Diri
- Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berfikir
- panjang tentang akibatnya di kemudian hari.
- Keinginan untuk mencoba-coba karena penasaran.
- Keinginan untuk bersenang-senang.
- Keinginan untuk dapat diterima dalam satu kelompok (komunitas) atau
- lingkungan tertentu.
- Workaholic agar terus beraktivitas maka menggunakan stimulant
- (perangsang).
- Faktor Lingkungan
- Keluarga bermasalah atau broken home.
- Ayah, ibu atau keduanya atau saudara menjadi pengguna atau
- penyalahguna atau bahkan pengedar gelap narkotika.
- Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salah satu atau beberapa atau
- bahkan semua anggotanya menjadi penyalahguna atau pengedar gelap
- narkotika.
- Sering berkunjung ke tempat hiburan (cafe, diskotik, karaoke, dll.).
- Mempunyai banyak waktu luang, putus sekolah atau menganggur.
- Faktor Ketersediaan Narkotika.
- Narkotika itu sendiri menjadi faktor pendorong bagi seseorang untuk memakai
- narkotika karena:
- Narkotika semakin mudah didapat dan dibeli.
- Harga narkotika semakin murah dan dijangkau oleh daya beli masyarakat.
- Narkotika semakin beragam dalam jenis, cara pemakaian, dan bentuk
- kemasan.
- Modus operandi tindak pidana narkoba makin sulit diungkap aparat
- hukum.
- Masih banyak laboratorium gelap narkotika yang belum terungkap.
“Sumber P.A.F. Lamintang. dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan. (Jakarta: Sinar Grafika. 2009)”