
Talak Dalam Hukum Islam
Rasindo group.com – Menurut Imam Syafi’I tidak jatuh talak jika untuk membela diri dalam kitab karangannya (Al-Umm), Imam Syafii berpendapat ada Empat orang yang talaknya tidak dapat dijatuhkan (diberlakukan), yaitu : anak kecil, orang gila, orang yang tidur, dan orang yang terpaksa. Menurut hukum islam perceraian yang diajukan oleh istri kepada suami dibolehkan, namun tetapi mengucapkan kepada syarat dan rukun cerai sesuai sariat islam, Kekerasan rumah tangga dan juga baik suami atau istri masuk penjara lebih dari 5 tahun dalam hukum islam cerai halal sesuai dengan undang undang No.1 Tahun 1974 tetang Perkawinan, Suami tidak dapat memenuhi tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga untuk memberikan nafkah lahir atau batin dibolehkan baik yang mengugat adalah istri atau suami namun dibenci allah SWT.
Secara etimologis, talak berarti melepas ikatan talak berasal dari kata iṭla’q yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam terminologi syariat, talak berarti memutuskan atau membatalkan ikatan pernikahan, baik pemutusan itu terjadi pada masa kini (jika talak itu berupa talak bain) maupun pada masa mendatang, yakni setelah iddah (jika talak berupa talak raj’i) dengan menggunakan lafadz tertentu. Di lihat dari konteks yang melatar belakanginya, hukum-hukum talak adalah sebagai berikut:
- Wajib jika terjadi konflik antar pasangan suami-istri, hakim menugaskan mediator dua orang mediator untuk menilai situasi konflik tersebut. Lalu, kedua mediator itu merekomendasikan bahwa sepasang suami-istri tersebut tidak harus bercerai. Maka suami harus tidak menceraikan istrinya.
- Sunnah seorang suami tidak dianjurkan untuk melakukan talak dalam kondisi ketika istrinya kerap tidak menjalankan ibadah-ibadah wajib, namun suami harus selalu mengingatkan istrinya untuk menjalankan ibadah, shalat wajib, serta ada kemungkinan memaksa istrinya itu melakukan kewajiban-kewajiban tersebut. Talak juga sunnah dilakukan ketika istri tidak bisa menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat.
- Mubah, talak boleh dilakukan dalam kondisi ketika suami memiliki istri yang buruk perangainya, kasar tingkah lakunya, atau tidak bisa diharapkan menjadi partner yang ideal guna mencapai tujuan-tujuan pernikahan. Makruh bila dilakukan tanpa alasan yang kuat serta tidak dapat dibuktikan atau ketika hubungan suami-istri baik-baik saja.
- Haram apabila seorang istri di ceraikan dalam keadaan haid, atau keadaan suci dalam keadaan ketika ia telah disetubuhi didalam masa suci tersebut. Dan juga atas keinginan, kehendak tekanan, intervensi, penindasan orang lain atau keturunan sedarah dengang bukti-bukti yang di buat-buat dan bukan Kejadian Kronologis yang sebenarnya kejadian tertulis Terpercaya.
Dari definisi yang telah penulis kemukakan diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud talak adalah melepas adanya tali perkawinan antara suami istri dengan mengunakan kata khusus yaitu kata talak di hadapan Istrinya atau semacamnya sehingga istri tidak halal baginya setelah ditalak secara langsung dan terdengar oleh istrinya. Putusnya perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat dibenarkan itu dapat terjadi dalam dua keadaan:
- Kematian salah satu pihak
- Putus akibat perceraian
Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami dan istri masih hidup (perceraian) dapat terjadi atas kehendak suami. Menurut hukum Islam, berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak suami dapat terjadi melalui apa yang disebut talak langsung di hadapan istrinya, dapat terjadi melalui apa yang disebut ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya selama masa tertentu.. Persi lain ila‘ adalah seseorang bersumpah untuk tidak akan menggauli istrinya dalam tempo lebih dari empat bulan atau empat bulan, secara mutlak(global) dan dapat pula terjadi melalui apa yang disebut li’an Menurut istilah Hukum Islam, lian adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu, serta dapat terjadi melalui apa yang disebut dhihar suatu ungkapan suami yang menyatakan kepada istrinya “Bagiku kamu seperti punggung ibuku”, ketika dia hendak mengharamkan istrinya itu bagi dirinya. Talak seperti ini telah berlaku di kalangan orang-orang jahiliyah terdahulu.
Berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak istri dapat terjadi melalui apa yang disebut khiyar aib adalah hak pilih karena adanya cacat pada barang. Hak tersebut untuk memilih, dapat membatalkan atau menerusan akad jual beli apabila ada sebuah kecacatan (aib) pada objek atau barang yang sedang diperjual belikan, dapat terjadi melalui apa yang disebut khulu’ adalah permintaan cerai yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia menceraikannya dan dapat terjadi melalui apa yang disebut rafa’ (pengaduan) “perceraian antara suami istri dengan ganti rugi, baik dengan lafal talak maupun dengan lafal khuluk”. Contohnya, suami mengatakan pada istrinya, “Saya talak engkau atau saya khuluk engkau dengan membayar ganti rugi kepada saya sebesar…,” lalu istri menerimanya. Berakhirnya perkawinan di luar kehendak suami dapat terjadi oleh sebab matinya suami atau istri.
Sejalan dengan keterangan diatas, Fuad Said mengemukakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan cara: talak, khulu, fasakh, li’an dan ila’. Oleh sebab itu menurut Mahmud Yunus Islam memberikan hak talak kepada suami untuk menceraikan istrinya dan hak khulu’ kepada istri untuk menceraikan suaminya dan hak fasakh untuk kedua suami-istri. Dengan demikian maka yang memutuskan perkawinan dan menyebabkan perceraian antara suami-istri ialah talak, khulu, fasakh. 8 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113, disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena:
- Kematian
- Perceraian
- Putusan Pengadilan dengan dasar bukti-bukti yang terpercaya
Dari pemaparan di atas mengenai pengertian talak telah banyak di atur namun didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur mengenai pengertian perceraian tetapi hal-hal mengenai perceraian telah diatur dalam pasal 113 sampai dengan pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan melihat isi pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa prosedur bercerai tidak mudah, karena harus memiliki alasan-alasan pembuktian yang kuat dan bukti tersebut harus benar-benar menurut hukum pidana. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam menegaskan, bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalak atau berdasarkan gugatan cerai.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 114 seperti yang termaktub diatas maka yang dimaksud dengan perceraian perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah proses pengucapan ikrar talak yang harus dilakukan didepan persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan Agama. Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan diluar persidangan maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dasar Hukum Talak
Permasalahan perceraian atau talak dalam hukum Islam dibolehkan dan diatur dalam dua sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Hadist. Hal ini dapat dilihat pada sumber-sumber dasar hukum berikut ini, seperti dalam surat Al- Baqarah ayat 231 disebutkan bahwa:
Artinya: ‚Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka (hanya) untuk memberi kemudlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa takut berbuat zalim pada dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum Allah suatu permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu yaitu hikmah Allah memberikan pelajaran padamu dengan apa yang di turunkan itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah maha mengetahui segala sesuatu‛
Hadist Rasulullah SAW bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah seperti hadis Nabi dibawah ini yang berbunyi.
Artinya: ‚Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‚Perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah talak‛.
Secara tidak langsung, Islam membolehkan perceraian namun di sisi lain juga mengharapkan agar proses perceraian tidak dilakukan oleh pasangan suami istri. Hal ini seperti tersirat dalam tata aturan Islam mengenai proses perceraian. Pada saat pasangan akan melakukan perceraian atau dalam proses perselisihan pasangan suami-istri, Islam mengajarkan agar dikirim hakam yang bertugas untuk mendamaikan keduanya. Dengan demikian, Islam lebih menganjurkan untuk melakukan perbaikan hubungan suami-istri dari pada memisahkan keduanya. Perihal anjuran penunjukan hakam untuk mendamaikan perselisihan antara suami-istri dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya surat an-Nisa ayat 35 berikut ini:
Artinya: ‚Dan jika kamu mengkhawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika dari kedua orang hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal‛.
Dalam hal ini ditunjukkan pula bahwa Islam sangat berkeinginan agar kehidupan rumah tangga itu tentram dan terhindar dari keretakan, bahkan diharapkan dapat mencapai suasana pergaulan yang baik dan saling mencintai. Dan wanita yang menuntut cerai dari suaminya hanya karena menginginkan kehidupan yang menurut anggapannya lebih baik, dia berdosa dan diharamkan mencium bau surga kelak di akhirat. Karena perkawinan pada hakikatnya merupakan salah satu anugerah Ilahi yang patut disyukuri. Dan dengan bercerai berarti tidak mensyukuri anugerah tersebut (kufur nikmat). Dan kufur itu tentu dilarang agama dan tidak halal dilakukan kecuali dengan sangat terpaksa (darurat).
Rukun Dan Syarat Talak
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat, sebagai berikut:
- Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. Oleh karena itu untuk sahnya talak suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
- Berakal, suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak, yang dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk kedalamnya (sakit pitam), hilang akal karena sakit panas atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya.
- Baligh, tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh yang belum dewasa.
- Atas kemauan sendiri, yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri bukan dipaksa intervensi orang lain.
- Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut:
- Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalani masa iddah talak raj’i yaitu talak yag dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila masa ‘iddah itu suami menjatuhkan talak lagi dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami.
- Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah bukan istri orang lain.
- Sighat Talak. Sighat talak ialah kata-kata yang di ucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak di hadapan istrinya, baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara.
- Sengaja artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Agar menjadi sah, talak harus memenuhi syarat-syarat tertentu, baik yang berhubungan dengan muṭalliq, suami yang mentalak, muṭallaqah istri yang ditalak yang diucapkan langsung di hadapan istri.
Macam-Macam dan Bentuk-Bentuk Talak
Perceraian dapat dilihat dalam beberapa bentuk, dalam Fiqih Islam bentuk perceraian ini akan menentukan proses dan prosedur perceraiannya. Adapun bentuk perceraian tersebut antara lain: Talak masih dapat dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya adalah:
- Talak Sunni. Talak sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:
- Istri yang ditalak sudah pernah digauli. Bila talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
- Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama’ Syafi’iyah, perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid.
- Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan di katakana langsung hadapan istrinya. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
- Mentalak istri harus secara bertahap (dimulai dengan talak satu, dua dan tiga) dan diselingi rujuk. Catatan Talak tidak ada campur tangan orang lain.
- Talak Bid’i. Talak bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni. Mengenai talak bid’i ini ada beberapa macam keadaan yang mana seluruh ulama’ telah sepakat menyatakan bahwa talak semacam ini hukumnya haram. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa talak ini tidak berlaku. Talak bid’i ini jelas bertentangan dengan syari’at yang bentuknya ada beberapa macam yaitu:
- Apabila seorang suami menceraikan istrinya ketika sedang dalam keadaan haid atau nifas serta ada hasutan, campur tangan dari orang lain yang membuat suami istri terpisah.
- Ketika dalam keadaan suci sedang ia telah menyetubuhinya pada masa suci tersebut, padahal kehamilannya belum jelas.
- Seorang suami mentalak tiga istrinya dengan satu kalimat dengan tiga kalimat dalam satu waktu (mentalak tiga sekaligus). Seperti dengan mengatakan ‚ia telah aku talak, lalu aku talak dan selanjutnya aku talak‛.
- Talak La Sunni Wala Bid’i
- Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
- Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau istri yang telah lepas haid
- Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
- Talak ṣariḥ. Talak ṣariḥ yaitu talak dimana suami tidak lagi membutuhkan adanya niat, akan tetapi cukup dengan mengucapkan kata talak secara ṣariḥ (tegas). Seperti dengan mengucapkan ‚aku cerai‛ atau ‚kamu telah aku cerai‛. Imam Syafi’i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak ṣariḥ ada tiga yaitu talak, firaq dan saraḥ, ketiga ayat itu disebutkan dalam al-qur’an dan hadits Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak ṣariḥ maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.
- Talak Kinayah. Talak kinayah yaitu lafadh yang maknanya bisa diartikan talak atau selainnya. Misalnya perkataan suami ‚saya melepas kamu, atau kamu saya lepas, atau saya meninggalkan kamu, atau kamu saya tinggalkan atau kamu pulang saja kerumah orang tuamu, kamu pergi dari rumah ini‛ (menurut sebagian ulama’). Apabila lafadh-lafadh ini keluar dari mulut seorang suami disertai niat talak maka jatuhlah talak bagi sang istri. Namun jika tidak disertai dengan niat maka tidak jatuh talak.
- Talak Raj’i. Talak raj’i yaitu talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istri dengan niat talak yang telah digauli tanpa ganti rugi. Dalam keadaan ini suami berhak rujuk dengan istrinya tanpa akad dan mahar baru selama rujuk itu dilakukan dalam masa iddah.
- Talak Ba’in. Talak ba’in yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dimana suami berhak kembali pada istrinya melalui akad dan mahar baru. Ulama’ fikih membagi talak ba’in menjadi talak ba’in kubra dan talak ba’in sughra. Talak ba’in sughra adalah talak raj’i yang telah habis masa iddahnya dan talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang belum pernah dicampuri dan talak dengan tebusan (khuluk). Dalam talak seperti ini suami tidak boleh kembali begitu saja kepada istrinya akan tetapi harus dengan akad nikah dan mahar baru. Catatan niat talak murni dari suami dan bukan putusan pengadilan ataupun intervensi dari orang lain.
- Talak Dengan Ucapan. Talak dengan ucapan yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan dihadapan istrinya dan istri mendengar secara langsung ucapan suaminya itu.
- Talak Dengan Tulisan. Talak dengan tulisan yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya kemudian istri membacanya dan memahami isi dan maksudnya. Talak yang dinyatakan secara tertulis dapat dipandang jatuh (sah) meski yang bersangkutan dapat mengucapkannya. Sebagaimana talak dengan ucapan ada talak ṣariḥ dan talak kinayah, maka talak dengan tulisanpun demikian pula. Talak ṣariḥ jatuh dengan semata-mata pernyataan talak sedangkan talak kinayah bergantung pada niat suami.
- Talak dengan isyarat. Talak dengan isyarat yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara. Isyarat bagi suami yang tuna wicara (bisu) dapat dipandang sebagai alat komunikasi untuk memberikan pengertian dan menyampaikan maksud dan isi hati. Oleh karena itu baginya isyarat sama dengan ucapan bagi yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan bermaksud talak atau mengakhiri perkawinan dan isyarat itulah satu-satunya jalan untuk menyampaikan maksud yang terkandung dalam hatinya.
- Talak dengan utusan. Talak dengan utusan yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada istrinya melalui perantaraan orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan maksud suami itu kepada istrinya yang tidak berada dihadapan suami bahwa suami mentalak istrinya, Namun bila mana suami tidak memiliki niat talak akan tetapi utusan tersebut menyampaikan talak dengan di dukung oleh istri dan keturunan sedarah nya itu di kategorikan utusan tersebut memiliki niat mentalak istrinya sendiri. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami untuk menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu dengan perintah langsung yang terucap langsung dari suami.
- Talak Munjaz dan Mu’allaq. Talak Munjaz adalah talak yang diberlakukan terhadap istri tanpa adanya penagguhan. Misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya ‚kamu telah dicerai‛ maka istri telah ditalak dengan apa yang diucapkan oleh suaminya. Sedangkan talak mu’allaq yaitu talak yang digantungkan oleh suami dengan suatu perbuatan yang akan dilakukan oleh istrinya pada masa mendatang. Seperti suami mengatakan kepada istrinya ‚jika kamu berangkat kerja berarti kamu telah ditalak‛ maka talak tersebut berlaku sah dengan keberangkatan istrinya untuk kerja.
- Talak Takhyir dan Tamlik. Talak Takhyir adalah dua pilihan yang diajukan oleh suami kepada istrinya yaitu melanjutkan rumah tangga atau bercerai, jika si istri memilih bercerai maka berarti ia telah ditalak bila mana tidak cukup alasan dan bukti-bukti maka istri tersebut hukumnya Haram. Sedangkan talak tamlik adalah talak dimana seorang suami mengatakan kepada istrinya ‚aku serahkan urusanmu kepadamu‛ atau ‚urusanmu berada ditanganmu sendiri‛. Jika dengan ucapan itu si istri mengatakan ‚berarti aku telah ditalak‛ maka berarti ia telah ditalak satu raj’i. imam malik dan sebagian ulama’ lainnya berpendapat bahwa apabila istri yang telah diserahi tersebut menjawab ‚aku memilih talak tiga‛ maka ia telah ditalak ba’in oleh suaminya, dengan talak tiga ini maka si suami tidak boleh rujuk kepadanya kecuali setelah mantan istrinya itu dinikahi oleh laki-laki lain serta istri tersebut hukum. Karena pada dasarnya wanita tidak menginginkan perceraian itu terjadi.
- Khulu‘ (talak tebus). Khulu‘ menurut bahasa diambil dari ‚khla’ats thauba‛ yang artinya melepaskan pakaian karena perempuan adalah pakaian bagi laki-laki secara majas. Secara syar’i artinya adalah seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan bayaran sebagai ganti dari pihak istri yang disebabkan karena buruknya pergaulan antara keduanya dengan alasan-alasan yang dapat dibuktikan dan terpercaya, baik karena akhlaq atau adanya cacat pada jasmani, sedangkan sang istri takut pada dirinya sendiri tidak mampu melaksanakan kewajibannya mentaati suaminya. Biasanya talak tebus ini dimanpaatkan pihak istri untuk melakukan pemerasan terhadap keluarga sang suami.
- Dhihar. Dhihar adalah perkataan seorang suami kepada istrinya yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, sehingga istrinya itu haram atasnya, seperti ungkapan ‚engkau tampak seperti punggug ibuku‛. Apabila seorang laki-laki mengatakan demikian dan tidak diteruskan pada talak maka ia wajib membayar kafarat dan haram bercampur dengan istrinya sebelum membayar kafarat itu.
- Ila’. Menurut bahasa, ila’ adalah sumpah. Sedangkan menurut syara’, ila’ adalah bersumpah tidak akan menggauli istri secara mutlak atau selama lebih dari empat bulan.
- Li’an. Li’an ialah ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (berzina) alasan suami untuk menolak anak. Suami melakukan li’an apabila ia telah menuduh istrinya berzina. Tuduhan berat ini pembuktiannya harus dilakukan dengan mengemukakan empat orang saksi laki-laki. Orang yang menuduh orang lain berzina dan ia dapat membuktikannya akan dihukum pukul dengan 80 kali. Hukuman ini berlaku pula terhadap suami yang menuduh istrinya berzina.
- Fasakh. Fasakh artinya rusak atau putus. Maksud fasakh ialah perceraian dengan merusak atau merombak hubungan nikah antara suami istri.
- Perombakan ini dilakukan oleh hakim dengan syarat-syarat dan sebabsebab yang tertentu tanpa ucapan talak. Perceraian dengan fasakh tidak dapat diruju’. Kalau suami hendak kembali kepada istrinya maka harus dengan akad baru. Perceraian dengan fasakh dilakukan dengan berulangulang lebih dari tiga kali, boleh kembali lagi dengan akad nikah yang baru.
Hikmah Talak
Walaupun talak itu dibenci terjadi dalam suatu rumah tangga, namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh dilakukan dengan catatan tidak ada intervensi campur tangan orang lain apalagi keturunan sedarah. Hikmah di perbolehkannya talak itu karena adanya dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu seperti kekerasan dalam rumah tangga, penghasutan dari keturunan sedarah dan orang lain. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga rumah tangga akan menimbulkan mudarat kepada dua belah pihak dan orang disekitarnya kecuali hilangkan campur tangan orang lain dan istri patuh dengan suaminya. Dalam rangka menolak terjadinya bentuk talak tersebut. Dengan demikian, talak dalam Islam hanyalah untuk tujuan maslahat adalah Ar n sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan dan sebagainya).
Daftar Pustaka
- Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, 73.
- Ibid., 73.
- Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, 2.
- Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidaya Karya Agung, 1990, 110.
- Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2005, 56.
- ABD. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2003), 201-205
- Op Cit. Yusuf Qaradhawi, Fikih wanita. 55-56
- ABD. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2003),193
- Tp, Ensiklopedi Hukum Islam. ( Cet. VI; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 1783
- ABD. Rahman Ghazaly, Op. Cit., 194
- Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi lengkap. (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998), 439
- ABD. Rahman Ghazaly, Op. Cit.,194
- Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Op. Cit.,440
- ABD. Rahman Ghazaly, Op. Cit.,195
- Kamal bin As-Sayyid Salim, Op. Cit.,629
- Tp, Ensiklopedi Hukum Islam, Op. Cit., 1784
- ABD. Rahman Ghazaly, Op. Cit.,199
- Ibid., 199
- Ibid.,200
- Ibid., 441-442
- Kamal bin As-Sayyid Salim, Op. Cit., 645
- Sulaiman Rasjid, Op. Cit, 411-412
- Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini. Terjemahan Kifayatul Akhyar, 1997, Surabaya : Bina Ilmu, 155
- Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT karya toha putra 1978), 496-498
- Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op.Cit.,541
- Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Undangundang Perkawinan. 201
Editor: Dedy Tisna Amijaya