
Rasindo group.com – Tanggungjawab BESAR Suami Selepas Sakral ”. Kalimat ”Saya terima nikahnya si…. binti si…. dengan mas kawin.. di bayar tunai….”. Singkat, padat dan jelas. Selepas Ijab Qabul terucap Bumi Bergetar Langitpun Berguncang “perjanjian atau ikrar” tersebut Itu tersurat dan tersirat.
Tersirat Artinya : ”Maka aku tanggung dosa-dosanya si dia (perempuan yang ia jadikan istri) dari ayah dan ibunya. Dosa apa saja yang telah dia lakukan. Dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat.
Semua yang berhubungan dengan perempuan yang ia jadikan istri, aku tanggung dan bukan lagi orang tuanya yang menanggung. Serta akan aku tanggung semua dosa calon anak-anakku”. Aku juga sadar, sekiranya aku gagal dan aku lepas tangan dalam menunaikan tanggung jawab, maka aku fasik, suami yang dayus dan aku tahu bahwa nerakalah tempatku kerana akhirnya isteri dan anak-anakku yang akan menarik aku masuk kedalam Neraka Jahanam. Oleh sebab itu janganlah sesekali melakukan Intervensi kepada Anak/Adik untuk memutuskan Sakral yang telah di laksanakan. Akad nikah ini bukan saja perjanjian aku dengan si isteri dan si ibu bapa isteri, tetapi ini adalah perjanjian terus kepada ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala “. Jika aku GAGAL (si Suami)? ”Maka aku adalah suami yang fasik, ingkar dan aku rela masuk neraka. Aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku”. (HR. Muslim) Duhai para istri… Begitu beratnya pengorbanan suamimu terhadapmu.
Karena saat Ijab terucap, Arsy-Nya berguncang karena beratnya perjanjian yang dibuat olehnya di depan ALLAH SWT, dengan disaksikan para MALAIKAT dan MANUSIA. Maka andai saja kau menghisap darah dan nanah dari hidung suamimu, maka itupun belum cukup untuk menebus semua pengorbanan suami terhadapmu…
SubhanAllah.. beratnya beban yang di tanggung suami. Bukankah untuk meringankan tanggung jawabnya itu berarti seorang istri harus patuh kepada suami, menjalankan perintah ALLAH SWT dan menjauhi larangan-Nya?
Juga mendidik putra-putri kita nanti agar mengerti tentang agama dan tanggung jawab.
Semoga kita semua menjadi orang tua yang dapat memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita kelak dengan agama dan cinta kasih sehingga tercipta keluarga kecil yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.

Merusak rumah tangga orang lain merupakan dosa besar, menyebabkan rumah tangga pasangan muslim menjadi hancur dan tercerai-berai. Perlu diketahui bahwa prestasi terbesar bagi Iblis adalah merusak rumah tangga seorang muslim dan berujung dengan perceraian, sehingga hal ini termasuk membantu mensukseskan program Iblis. Perhatikan hadits berikut, Dari Jabir radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُوْلُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ نِعْمَ أَنْتَ
“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut) kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis berkata, “Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian datang yang lain lagi dan berkata, “Aku tidak meninggalkannya (untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya. Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, “Sungguh hebat (setan) seperti engkau” (HR Muslim IV/2167 no 2813)
Rusaknya rumah tangga dan perceraian sangat disukai oleh Iblis. Hukum asal perceraian adalah dibenci, karenanya ulama menjelaskan hadits peringatan akan perceraian
Al-Munawi menjelaskan mengenai hadits ini,
إن هذا تهويل عظيم في ذم التفريق حيث كان أعظم مقاصد اللعين لما فيه من انقطاع النسل وانصرام بني آدم وتوقع وقوع الزنا الذي هو أعظم الكبائر
“Hadits ini menunjukan peringatan yang sangat menakutkan tentang celaan terhadap perceraian. Hal ini merupakan tujuan terbesar (Iblis) yang terlaknat karena perceraian mengakibatkan terputusnya keturunan. Bersendiriannya (tidak ada pasangan suami/istri) anak keturunan Nabi Adam akan menjerumuskan mereka ke perbuatan zina yang termasuk dosa-dosa besar yang paling besar menimbulkan kerusakan dan yang paling menyulitkan” (Faidhul Qadiir II/408)
Merusak rumah tangga seorang muslim disebut dengan “takhbib”. Hal ini merupakan dosa yang sangat besar, selain ada ancaman khusus, ia juga telah membantu Iblis untuk mensukseskan programnya menyesatkan manusia.
Bentuk “takhbib” bisa berupa:
Menggoda salah satu pasangan pasutri yang sah dengan mengajak berzina, baik zina mata, tangan maupun zina hati sehingga ia menjadi benci dengan pasangan sahnya. Mengompor-ngompori salah satu pasutri agar membenci pasangannya.
Semisalnya sering menyebut-nyebut kekurangan suaminya dengan membandingkan dengan dirinya atau suami orang lain. Padahal suaminya sangat baik dan bertanggung jawab, hanya saja pasti ada kekurangannya.
Ancaman dosa melakukan “takhbib” terdapat pada hadits berikut:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ ﻣَﻦْ ﺧَﺒَّﺐَ ﺍﻣﺮَﺃَﺓً ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭﺟِﻬَﺎ
”Bukan bagian dari kami, Orang yang melakukan takhbib terhadap seorang wanita, sehingga dia melawan suaminya.” (HR. Abu Daud 2175 dan dishahihkan al-Albani)
Ad-Dzahabi menjelaskan yaitu merusak hati wanita terhadap suaminya, beliau berkata,
ﺇﻓﺴﺎﺩ ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻋﻠﻰ ﺯﻭﺟﻬﺎ
”Merusak hati wanita terhadap suaminya.” (Al-Kabair, hal. 209).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻓْﺴَﺪَ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭْﺟِﻬَﺎ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ
”Barang siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dari kami.”( HR. Ahmad, shahih)
Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah dijelaskan bahwa merusak di sini adalah mengompor-ngimpori untuk minta cerai atau menyebabkannya (mengompor-ngompori secara tidak langsung).
ﻣَﻦْ ﺃَﻓْﺴَﺪَ ﺯَﻭْﺟَﺔَ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﺃَﻱْ : ﺃَﻏْﺮَﺍﻫَﺎ ﺑِﻄَﻠَﺐِ ﺍﻟﻄَّﻼَﻕِ ﺃَﻭِ ﺍﻟﺘَّﺴَﺒُّﺐِ ﻓِﻴﻪِ ، ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺗَﻰ ﺑَﺎﺑًﺎ ﻋَﻈِﻴﻤًﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﻜَﺒَﺎﺋِﺮِ ” ﺍﻧﺘﻬﻰ
“Maksud merusak istri orang lain yaitu mengompor-ngompori untuk meminta cerai atau menyebabkannya, maka ia telah melalukan dosa yang sangat besar.” (Mausu’ah Fiqhiyyah 5/291)
Setiap pertengkaran pastilah ada penyelesaiannya, namun apabila pertengkaran tersebut memicu sebuah keputusan yang besar seperti perceraian, maka proses melangkah ke tahap itupun bukan hal yang mudah dan singkat untuk dilakukan. Katakanlah seorang istri yang ingin mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya dengan dalih tidak bahagia, karena selalu berselisih paham dan lain sebagainya atau bisa juga istri meminta cerai atas permintaan kedua orang tuanya atau hasutan saudara-saudara kandungnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) beserta penjelasannya jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Pasal 114, Pasal 115 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, perceraian bisa terjadi atas kehendak kedua belah pihak suami dan istri.
Kehendak bercerai sebenarnya datang dari suami atau istri tampa ada hasutan-hasutan dari orang lain melainkan murni dari hati yang tidak bisa utuh lagi dalam membangun rumah tangga ini pula harus jelas permasalahannya seperti suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga KDRT, Berjudi, Pemakai Norkoba, Berselingkuh dengan Perempuan, ketidakcocokan antara suami dan istri ini pun harus jelas terkait ketidak cocokannya dan harus bisa di buktikan dan bisa juga dari hasutan pihak ketiga, termasuk saudara kandung yang mewakili orang tua salah satu pihak.
Apakah ada hak orang tua/saudara kandung untuk menyuruh anaknya untuk meminta cerai? Secara prinsip, tentu tidak ada hak orang tua untuk menyuruh anaknya bercerai dengan suami atau istrinya, karena kewenangan dan hak terhadap rumah tangga adalah pada suami istri. Akan tetapi, dalam kenyataannya orang tua yang diwakili saudara kandungnya dari salah satu pihak, baik suami atau istri bisa mempengaruhi anaknya untuk bercerai. Keputusan adanya keinginan untuk bercerai tetap berada di tangan suami atau istri (tergugat).
Dalam hal seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istri dan anaknya karena di-PHK serta sebagainya dan belum mendapat pekerjaan, mertua tidak dapat dapat menuntut ganti rugi kepada suami dari anaknya (menantunya).
Karena dalam rumah tangga, yang berhak menuntut suami adalah istri dan anaknya dengan catatan tidak ada intervensi dari pihak ke-3. Seorang suami kalau tidak memberikan nafkah yang dapat berakibat anggota keluarganya terlantar, bisa dituntut berdasarkan Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 49 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kalau sekiranya saudara-saudara kandungnya tetap menginginkan adik/kakak (istri) untuk tetap meminta cerai kepada suaminya, maka langkah pasti yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan secara pribadi dan memberikan keyakinan bahwa Anda sebagai suami adalah orang yang bisa bertanggung jawab. Karena memang tanggung jawab sebagai seorang suami adalah dunia akhirat. Katakan kepada mertua; rezeki kita, sepanjang kita masih berusaha Allah SWT akan memberi jalan untuk itu, Namun apabila masih juga tidak memahami bahwa rizki serta kematian itu adalah mutlak kekuasaan dari allah SWT itu berarti manusia tersebut Tidak Benar.
Oleh karena itu, sebagai seorang suami harus tetap berusaha dan bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Dasar hukum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Pelaku penghasutan Pengugat atau dengan sebutan lain Penggugat ialah Pelaku Intervensi bisa terkena tindak pidana penghasutan sesuai dengan Pasal 160 KUHP karena mengompori dan membiarkan terjadinya suatu tindakan pidana,
Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” KUHP menyebut Pasal 160 yang mengatur penghasutan sebagai delik formil. Artinya, perbuatan penghasutan itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya dampak dari penghasutan tersebut.
Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
Merusak Rumah Tangga Orang Sehingga Pasal 335 KUHP selengkapnya berbunyi: 1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah; Ke-1: Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman.
- Dihukum penjara selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,– :
- 1e. barangsiapa dengan melawan hak memaksa orang lain untuk melakukan, tiada melakukan atau membiarkan barang sesuatu apa dengan kekerasan, dengan sesuatu perbuatan lain ataupun dengan perbuatan yang ta’ menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan sesuatu perbuatan lain, ataupun ancaman dengan perbuatan yang tak menyenangkan, akan melakukan sesuatu itu, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain : (K.U.H.P. 37, 52, 89, 164 s, 170, 173, 175, 211 s, 285, 289, 300, 332, 336, 365, 368, 414, 421, 438 s, 459 s).
- 2e. barangsiapa memaksa orang lain dengan ancaman penistaan lisan atau penistaan tulisan supaya ia melakukan, tidak melakukan atau membiarkan barang sesuatu apa. (K.U.H.P. 37, 183, 310, 369).
- Dalam hal yang diterangkan pada 2e, maka kejahatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang yang dikenakan kejahatan itu.
Editor: Dedy TA