
Rasindo group.com – Oleh: Hidayati Fitri
Abstract:
Pengadilan Agama (Islamic Civil Court) is a special judicial institution for civil matters since it is the responsibility of this institution to receive, check and solve particular problems among Moslems as it clearly stated in UU No. 5 Tahun 2009. Furthermore, dynamicity of the society should be the prior concern for the readiness of the personnels of the court in order that the any legal decisions made should be able to satisfy the justice values and ensure the law enforcement certainty.
Kata kunci: hakim pengadilan agama, keadilan dan kepastian hukum, peran, putusan
PENDAHULUAN
Salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia adalah Peradilan Agama yang merupakan peradilan khusus, bertugas dan berwenang menerima, memutus, mempertimbangkan kronologis kejadian yang sebenarnya, bukti-bukti yang sebenarnya tampa di rekayasa dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah serta ekonomi.
Bidang perkawinan khususnya perceraian merupakan perkara yang paling tinggi grafiknya dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dibanding perkara lain yang menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Meskipun perkara yang paling banyak di ajukan ke pengadilan agama adalah perkara perceraian, untuk beberapa wilayah terlihat bahwa perkara-perkara yang lain juga telah banyak diselesaikan pengadilan agama, termasuk sengketa ekonomi.
Untuk melaksanakan perannya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, peradilan agama memerlukan kesiapan yang maksimal sehingga eksistensinya semakin diakui dan kesiapan tersebut meliputi
(1). Badan peradilan yang terorganisir,
(2). Sarana dan prasarana yang terdiri dari hukum formil dan materil,
(3). Aparat pelaksana dan,
(4). Kesadaran hukum masyarakat.
Sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang fungsinya menyelesaikan perselisihan, tentunya tujuan utama dari peradilan agama adalah memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi para pencari keadilan sehingga putusan yang dihasilkan dapat dilaksanakan dan sesuai dengan kebutuhan.
Hanya saja, keadilan dan kepastian hukum yang ideal, apabila dipersandingkan dengan kedinamisan masyarakat yang tentunya juga berpengaruh pada perkembangan masyarakat, lambat laun tidak akan dapat digapai apabila paradigma memahami hukum hanya pada tataran terpaku pada teks-teks redaksional yang dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan.
Peradilan agama hari ini telah sama dan sejajar dengan peradilan lain di Indonesia, kewenangan yang semakin bertambah tentunya harus diiringi dengan kesiapan yang maksimal baik secara intern maupun ekstern sehingga putusan peradilan agama menjadi semakin berkualitas dan memberi makna keadilan dan kepastian hukum yang aplikatif.
Artikel ini lebih lanjut akan mencoba memberikan kontribusi pemikiran untuk kemudian bisa menjadi bahan bagi hakim peradilan agama.
HAKIM DAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Pengadilan adalah sebuah institusi yang keberadaannya merupakan keniscayaan dalam sebuah Negara hukum. Melalui lembaga peradilan, persoalan yang tidak dapat diselesaikan secara damai di luar proses persidangan, diharapkan dapat diselesaikan melalui putusan hakim. Meskipun ada paradigma yang mengatakan bahwa menyelesaikan perkara melalui jalur pengadilan akan berakhir dengan kenyataan “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Untuk lembaga peradilan agama khususnya dan bidang perdata umumnya, melalui Perma No. 1 tahun 2008 yang diharapkan adalah munculnya win-win solution, berakhir dengan jalan damai dan tidak ada pihak yang kalah ataupun yang menang.
Secara historis, (Abdul Manan 2007; 254) peradilan agama merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, Khulafah Bani Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki Ustmani sampai sekarang oleh Negara-negara Islam atau Negaranegara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Peradilan Islam ini mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di berbagai kawasan dan Negara.
Sebagai milik bangsa Indonesia khususnya yang beragama Islam, peradilan agama lahir, tumbuh dan berkembang bersama tumbuh dan berkembangnya bangsa Indonesia, kehadirannya mutlak sangat diperlukan untuk menegakkan hukum dan keadilan bersama dengan lembaga peradilan lainnya. Peradilan Agama telah memberikan andil yang cukup besar kepada bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya bagi umat Islam yang ada di bumi Indonesia ini.
Pengakuan akan keberadaan peradilan agama ini telah dimulai pada zaman penjajahan Belanda dengan keluarnya staatsblad 1882 No. 152 yang mengatakan bahwa peradilan agama di Jawa dan Madura dilaksanakan di pengadilan agama yang dinamakan dengan Pristraad atau Majlis Perdata. Meskipun demikian, sebenarnya jauh sebelumnya di berbagai daerah telah ditemukan bentuk penyelesaian Adapun proses pembentukan lembaga peradilan itu sendiri pada dasarnya dapat terbagi dalam tiga tahapan yaitu (1989; 7):
- Tauliyah dari Imam; pada dasarnya peradilan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority dari kepala Negara atau orangorang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu.
- Tauliyah oleh ahlul hilli wal aqdi; bila tidak ada imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlul hilli wal aqdi; yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.
- Tahkim; dalam keadaan tertentu terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu pula, maka dua orang yang bersengketa dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat.
Dengan mengikuti kebalikan urutan ketiga wajah pembentukan peradilan di atas dapatlah diduga bahwa perkembangan qadha assyafi’I Indonesia telah dimulai dari periode tahkim, dan tentunya periode tauliyah dan imam merupakan cikal bakal kehadiran lembaga peradilan agama di Indonesia.
Pengakuan penjajahan Belanda terhadap keberadaan peradilan agama melalui Staatsblad 1882 No.152, diikuti dengan Staatsblad 1937 No. 116 dan 610 tentang kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Di luar Jawa dan Madura, khususnya untuk sebagian Residensi Kalimantan dan Timur Peradilan Agama diatur dalam ordonansi Hindia Belanda yaitu Staatsblad 1937 No. 638 dan 639 (cik hasan bisri, 1996; 113) .
Di sisi lain, meskipun keberadaan Peradilan Agama sebagai institusi kehakiman mengalami perkembangan dan kemajuan, namun dalam konteks sarana prasarananya keberadaan Peradilan Agama khususnya berhubungan dengan hukum materil dan formil tidak memperlihatkan pergerakan yang menggembirakan sebelum keluarnya Undang-undang no. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Hal ini terlihat dengan adanya usaha untuk meminimalisasi kewenangan Peradilan agama dalam menangani perkara-perkara sampai usaha untuk menghapuskan peradilan agama sebagai lembaga peradilan yang berdiri sendiri (dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 19 tahun 1948) (Taufiq Hamami, 2003; 24) .
Zaini Ahmad Nuh dalam Taufiq hamami (2003; 19) menyatakan meskipun peradilan agama telah diatur secara formal sebagai pengadilan Negara sebagaimana halnya pengadilan gubernemen, tetapi pada kenyataannya ia telah tidak didudukkan secara sama. Untuk pengadilan gubernemen disediakan anggaran secukupnya dan pegawai-pegawai pun digaji oleh Negara sedangkan peradilan agama tidak, kecuali ketuanya. Dan inipun ia dalam kedudukannya sebagai penghulu laandrad. Begitu pun teori Receptie yang dikeluarkan Snouck Hurgronje dan Staatsblad 1931 No. 53, merupakan bukti adanya keinginan untuk mengurangi kewenangan peradilan agama sehingga hanya berwenang memeriksa persengketaan di bidang nikah, talak, rujuk, perceraian, mahar dan nafkah. Sedangkan bidang hadhanah, waris, wakaf dicabut dan diserahkan kepada Laandrad.
Meskipun demikian, posisi peradilan agama tetap tidak bisa dihapuskan sehingga tetap terlihat dalam Undang-undang No. 14 tahun 1970 jo undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, dimana Peradilan Agama ditempatkan menjadi bagian kekuasaan kehakiman disamping Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kehadiran UU No. 7 tahun 1989 merupakan angin sejuk bagi umat Islam Indonesia karena dengan lahirnya undang-undang No. 7 tahun 1989 yang ditempatkan dalam LN No. 49 tahun 1989 dan tambahan LN No. 3400, terjadi perubahan besar terhadap eksistensi peradilan agama. Adapun perubahan mendasar tersebut diantaranya adalah (cik hasan, 2003; 119):
- Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama tidak lagi melalui staatsblad yang dikeluarkan penjajahan Belanda tapi dasar hukumnya adalah Undangundang kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia.
- Perubahan tentang kedudukan pengadilan yang sejajar dengan peradilan lain. Hal ini tercermin dengan adanya pranata pengukuhan putusan. Kemandirian untuk melaksanakan putusan sendiri yang dilaksanakan oleh juru sita, kejurusitaan merupakan pranata baru di dalam susunan organisasi peradilan agama dalam undang-undang No.7 tahun 1989.
- Kedudukan hakim langsung diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala Negara berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung, hal yang sama berlaku bagi hakim di lingkungan peradilan negeri dan peradilan tata usaha Negara.
- Wewenang peradilan agama yang termuat dalam pasal 49 yang menyatakan kompetensi absolut peradilan agama.
- Hukum acara yang sudah diatur secara jelas bahwa hukum acara yang berlaku di peradilan agama adalah hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan negeri kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang No. 7 tahun 1989.
- Penyelenggaraan administrasi peradilan di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdapat dua jenis administrasi yaitu administrasi peradilan dan administrasi umum.
- Perlindungan terhadap wanita dimana untuk melindungi pihak istri maka gugatan perceraian dalam undang-undang tersebut diadakan perubahan, tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
Perkembangan demi perkembangan ke arah yang lebih baik terus bergulir sehingga semakin memperkuat keberadaan peradilan agama sebagai peradilan khusus dalam menangani perselisihan antara umat Islam sekaligus memposisikan peradilan agama sama dan sejajar dengan peradilan lain.
Dalam hukum materil, lahirnya Kompilasi Hukum Islam yang merupakan rujukan bagi para hakim peradilan agama dalam menyelesaikan perkara telah menjadi ukuran dalam memberikan keadilan dan kepastian pada ukuran standarnya. Begitu juga adanya undang-undang No. 3 tahun 2006 yang merupakan perubahan terhadap undang-undang No. 7 tahun 1989 merupakan tanggapan terhadap kehadiran undangundang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, dimana inti dari undang-undang ini adalah terjadinya penyatuatapan badanbadan peradilan yang ada di Indonesia ke bawah satu atap yaitu mahkamah agung, baik bidang yustisial (perkara) maupun non yustisial (organisasi, administrasi dan finansial) yang terdapat dalam pasal 13 undang-undang No. 4 tahun 2004, yang diikuti dengan Keppres No. 21 tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha Negara dan peradilan agama ke Mahkamah Agung (pasal 2 ayat 2).
Di samping merupakan tindak lanjut dari adanya Undang-undang No. 4 tahun 2004, kehadiran Undang-undang No. 3 tahun 2006 juga membawa penambahan terhadap kewenangan peradilan agama dengan sengketa ekonomi.
Untuk melengkapinya disusun Kompilasi Hukum Ekonomi sehingga terdapat kesinambungan antara kewenangan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi dengan hukum materilnya yang tentunya merupakan kumpulan dari aturan-aturan ekonomi yang berasal dari Adat budaya syari’at Islam.
Undang-undang No. 50 tahun 2009 pun ikut memberi nilai tambah keberadaan peradilan agama sekaligus memberi tantangan kesiapan peradilan agama dengan dimasukkannya perkara permohonan pengangkatan anak antara orang Islam menjadi kewenangan peradilan agama, di mana sebelumnya hanya diberikan kepada peradilan umum.
Dengan melihat keberadaan peradilan agama pada hari ini dengan semua tugas dan tanggung jawabnya, maka tidaklah berlebihan apabila Masyarakat/Rakyat menaruh harapan yang besar kepada para hakim sebagai aparat pelaksana kekuasaan kehakiman yang secara langsung memiliki hubungan erat dengan keberadaan peradilan agama itu sendiri.
Hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 undang-undang No. 4 tahun 2004 adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, berpengalaman di bidang hukum. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Hakim juga adalah pejabat yang proses pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dengan undangundang, dan merupakan pejabat yang terikat dengan kode etik profesi hakim dan pedoman Tingkah Laku hakim.
Berlatar belakang sejarah panjang dan pasang surut peradilan agama di Indonesia, maka misi yang harus dilaksanakan peradilan agama adalah melaksanakan tugas-tugas peradilan dengan menerapkan hukum Islam dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Menurut abdul Manan (2007: 190), hakim peradilan agama harus membawa misi ke depan dengan ketentuan:
- Harus menempatkan diri sebagai hakim yang memutus perkara dalam tatanan system pemerintahan termasuk dalam kategori umara dan birokrat.
- Harus memahami dengan benar hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan terutama terhadap hukum yang harus diterapkan dalam keputusan peradilan agama dan hukum-hukum lain yang ada kaitannya dengan perkembangan yang diproses dalam persidangan.
- Hakim peradilan agama memutuskan perkara dalam masyarakat yang selalu berubah, sehingga banyak kandungan hukum Islam dimungkinkan kehilangan konteks dengan masalah baru yang sekarang memerlukan pemikiran yang akurat sehingga menuntut hukum Islam tetap eksis dan mampu memecahkan segala masalah yang dihadapinya. Untuk itu hakim peradilan agama dituntut tampil sebagai ulama yang berwawasan luas dan mampu melaksanakan ijtihad.
- Hakim peradilan agama harus memfungsikan dirinya sebagai seorang mujtahid yang berusaha memelihara dan melestarikan hukum Islam dalam masyarakat dan dalam lembaga peradilan agama.
- Hakim peradilan agama akan selalu berhadapan dengan perubahan hidup masyarakat, oleh karena itu harus mampu menfungsikan dirinya sebagai perubah cara berfikir umat dan juga masalah-masalah yang berhubungan dengan pemecahan syari’at baik saat ini maupun masa yang akan datang.
Melihat luasnya peran dan tantangan yang dihadapi peradilan agama, maka profil hakim peradilan agama yang diharapkan pada masa yang akan datang adalah hakim yang memiliki personalitas, meliputi pengetahuan hukum Islam, keterampilan menerapkan hukum dengan integritas pribadinya, seorang hakim harus learned in law dan juga skilled in law, artinya selain harus memahami substansi hukum dan arti hukum, ia juga harus terampil dalam penerapan hukum. Di tangan hakim ilmu hukum itu menjadi applied science. Para hakimlah yang memberinya nyawa dan kehidupan kepada pasal-pasal undang-undang dan peraturan yang terdiri dari huruf-huruf mati. (Bustanul arifin dalam Amrullah Ahmad, 1999;h. 42)
Menurut abdul manan, profil hakim peradilan agama yang diharapkan pada masa yang akan datang haruslah berorientasi pada: (2007; 192-198)
- Intelektual
Seorang hakim haruslah mempunyai kadar ilmu pengetahuan yang cukup, tidak hanya mengetahui ilmu hukum Islam saja tetapi juga harus mengetahui hukum umum dan perangkat hukum yang berlaku serta mampu mengimbangi perkembangan hukum itu sendiri dalam arus globalisasi sekarang ini, terlebih ilmu ekonomi sehubungan dengan bertambahnya kewenangan peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi. Terus mengikuti penataran, pendidikan dan pelatihan, seminar, studi banding dan kursus merupakan jalan untuk meningkatkan intelektualisme hakim peradilan agama.
- Profesionalisme
Profesionalisme merupakan suatu persyaratan yang diperlukan untuk ,menjabat suatu pekerjaan (profesi) tertentu yang melaksanakannya memerlukan ilmu pengetahuan, keterampilan, wawasan dan sikap yang mendukung (komitmen) sehingga pekerjaan profesi dapat dilaksanakan dengan baik. Seorang hakim peradilan agama juga harus mempunyai etika profesi dengan menetapkan pelayanan kepada pencari keadilan dan hendaknya mengacu kepada nilainilai hukum yang telah disepakati bersama.
Persaingan dalam melaksanakan profesi harus berlangsung secara sehat sehingga dapat terjamin mutu dari profesi yang diembannya. Oleh karena itu, dalam setiap gerak langkah hakim peradilan agama yang menuju kepada profesionalisme hendaknya harus berorientasi kepada kode etik hakim Indonesia.
- Integritas Moral
Seorang hakim peradilan agama diwajibkan memiliki integritas moral yang solid. Integritas adalah keutuhan pribadi dalam bentuk kejujuran dan kepribadian yang baku. Bagi seorang hakim peradilan agama integritas dapat terpelihara dengan cara berpegang teguh pada jabatan pegawai negeri sipil, sumpah jabatan sebagai hakim, kode etik dan janji prastya hakim Indonesia dan tetap berpegang teguh kepada ajaran agama Islam sepanjang hidupnya.
- Berkemampuan
Dalam etika profesi hakim, para profesional hukum (termasuk hakim) diharapkan mempunyai kemampuan individu tertentu yang kritis yaitu :
- Kemampuan untuk kesadaran etis yang merupakan landasan dasar watak, kepribadian dan tingkah laku para profesi hakim.
- Kemampuan untuk berpikir etis dalam hal yang terkait dengan alat-alat dan kerangka yang dianggap merupakan keseluruhan pendidikan etika profesi hakim.
- Kemampuan untuk bertindak secara etis yang merupakan manifestasi hati yang tulus, suci dan bersih.
- Kemampuan untuk memimpin secara etis yang tentunya mempunyai keterkaitan dengan tingkat ketulusan hati dalam bertindak dan bertingkah laku.
Kemampuan tersebut adalah kemampuan mendasar yang harus dimiliki dan terus ditingkatkan agar kewenangan dan eksistensi peradilan agama yang telah sama dengan peradilan lain tersebut dapat terus dipertahankan sehingga lembaga peradilan yang berwibawa dan berkualitas dapat diwujudkan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
HAKIKAT KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM DALAM PUTUSAN PERADILAN AGAMA
Socrates menyatakan bahwa hakikat hukum adalah keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat. Hukum menunjukkan pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita hidup bersama, yaitu keadilan. (Satya Arinanto, 2009; 10)
Pandangan tentang keadilan dari zaman klasik juga ditemukan oleh Aristoteles dimana keadilan hukum sama dengan keadilan umum. Konstitusi Negara kesatuan RI yang memuat cita Negara hukum Indonesia memuat konsep keadilan yang berbeda dengan konsep keadilan yang berkembang di Negara eropah. Filosofi keadilan yang tersurat dalam pembukaan undangundang dasar 1945 adalah keadilan sosial yang berakar pada kolektivisme, sedangkan konsep keadilan berdasarkan “rule of law” di Negara eropa lebih berakar pada perlindungan individual.
Tujuan hukum menurut beberapa teori, seperti dalam teori etis adalah untuk terciptanya “keadilan”, kemudian menurut teori utilites adalah untuk tercapainya kebahagiaan, sedangkan menurut teori campuran adalah untuk tercapainya ketertiban, kedamaian hidup dan kemakmuran (Varia peradilan, Oktober 2010; 77).
akan bergantung pada nilai manfaat (utility) yang dapat dilaksanakan dan memiliki hasil yang memuaskan. Aspek kemanfaatan merupakan implementasi dari keadilan dan kebenaran yang selalu dijunjung tinggi badan peradilan.
Pertanyaan besar yang senantiasa harus dijawab oleh putusan pengadilan mengenai keadilan, kebenaran dan kepuasan para pencari keasilan yang tentu jawaban mesti dilakukan dengan melakukan beberapa langkah konkret yang meliputi unsur kepastian lembaga, kepastian mekanisme dan berbagai keluaran yang dapat diperkirakan yang dikenal dengan kepastian hukum. Dalam sebuah ungkapan dapat dikatakan bahwa kepastian tidak sama dengan keadilan tetapi tanpa kepastian, pasti sulit ditemukan keadilan, di sisi lain keadilan dalam ketidak pastian akan sangat subjektif.
Putusan itu sendiri merupakan akhir dari proses pemeriksaan perkara dan merupakan ukuran dari keprofesionalan seorang hakim untuk mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir suatu perkara.
Hakim dalam mengkonstatir melakukan penilaian terhadap kebenaran suatu perkara yang diajukan kepadanya sehingga melalui unsur-unsur yang telah terpenuhi hakim dapat menilai bahwa perkara tersebut benar adanya. Kemudian hakim melakukan tahapan mengkualifisir, pada tahap ini peran hakim sangat dituntut untuk dapat memandang perkara tersebut secara objektif dan dapat menemukan fakta hukum dari adanya fakta kejadian yang terungkap dalam suatu proses pemeriksaan perkara. Akhirnya kinerja hakim akan terjawab pada saat mengkonstituir; karena pada saat itu hakim harus mengeluarkan produk hukum yang pas, bernilai keadilan sekaligus memiliki kepastian hukum.
Oleh karena itu putusan harus mencerminkan nilai keadilan dan kepastian hukum. Kepastian hukum juga erat kaitannya dengan hukum materil dan hukum formil termasuk dan yang tidak kalah pentingnya adalah proses pembuktian.
Prof Asikin, seorang praktisi hukum yang cara berpikirnya dapat disetarakan dengan filsuf agustinus memiliki makna yang mendalam tentang keadilan dan kepastian hukum yang menjadi tujuan penyelenggaraan peradilan oleh hakim sebagai pejabat pelaksana. (Varia Peradilan, Oktober 2010; 78)
Menurutnya, hakim memiliki peran yang sangat menentukan untuk mewujudkan putusan yang memiliki nilai keadilan dan kepastian hukum. Putusan yang mencantumkan kata-kata “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan Ynag Maha Esa”, mengisyaratakan bahwa hakim memiliki tanggung jawab berat. Hakim adalah sosok “filsuf/orang bijak” yang secara normatik ditegaskan bahwa hakim dalam meutuskan perkara wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat/rakyat.
Teks ini mengandung pesan:
(1). Hakim sejatinya adalah filsuf hermeneutik hukum,
(2). Dibalik teks hukum sejatinya masih terdapat pesan-pesan nilai luhur yang harus ikut di pertimbangkan dalam memahami teks hukum formil.
Menurut Asikin teks hukum memiliki kelemahan dan kekurangan, maka untuk memperkuat dan menyempurnakannya harus ditempuh upaya pemahaman terhadap makna yang tersembunyi dibalik teks hukum terutama teks hukum peninggalan colonial penjajahan Belanda.
Hukum jangan dipandang sebagai kaidah formal semata, karena hukum adalah ciptaan manusia yang sangat terbatas wawasan, pengetahuan dan jangkauannya sehingga pada suatu saat kaidah hukum formal akan berkonfrontasi dengan kenyataan riil dalam kehidupan masyarakatnya sendiri.
Ketika hakim diibaratkan sebagai corong undang-undang, maka penerapan hukum “progresif” dapat dijadikan suatu pilihan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.
Hukum progresif menurut satjipto (2000; 3) adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum, yang berbeda dengan cara berhukum positif-legalistis, yaitu menerapkan undang-undang atau mengeja undang-undang. Dimana orang hanya membaca teks dan logika penerapannya, ibarat menarik garis lurus antara 2 titik, titik yang satu adalah pasal, titik yang lain adalah fakta yang terjadi.
Adapun hukum progresif tidak berhenti sampai disitu, melainkan dilanjutkan dengan aksi dan usaha manusia yang menguras energi, baik pikiran maupun empati dan keberanian.
Cara berhukum demikian bersifat non-linear karena adanya keterlibatan aksi dan usaha manusia yang penuh dengan kreativitas dan pilihan-pilihan. Dengan demikian hukum bukan suatu proses logis semata. Seperti dikatakan Homes dalam Satjipto (2000; 4): ”the life of the law has not been logic; it has been experience”, “Pengalaman tersebut memberi isi kepada teks”. Seorang hakim misalnya, akan memutus berdasarkan keadaan, kendatipun bertolak dari teks hukum.
Berhukum progresif juga dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum karena terdapat perbedaan antara keadilan menurut hukum dengan keadilan yang sebanarnya dan berhukum secara progresif adalah usaha untuk memunculkan keadilan yang tersimpan dalam teks hukum yang telah pasti.
Meskipun terkesan terlalu berani dalam paradigma hukum, berhukum secara progresif sudah seharusnya mulai dikembangkan ketika permasalahan yang ada tersebut memang tidak ditemukan jawaban dalam aturan hukum normatif. Adalah suatu kekeliruan apabila seorang hakim tetap memaksakan memberi putusan yang tidak pas, apalagi menyimpang dari hakekat permasalahannya.
Dalam kaitan ini, hakim Pengadilan Agama berperan sebagai corong undang-undang. Mereka berperan menyuarakan dan menerapkan hukum terhadap kasus-kasus riil yang dihadapainya dengan berpedoman secara total kepada apa yang diatur dalam perundangundangan. Bila aturan yang disebutkan dalam peraturan perundangundangan merupakan hasil pembaharuan yang dilakukan oleh para perumus undang-undang, maka dalam konteks ini apa yang diterapkan oleh para hakim sekaligus juga telah bernuansa pembaharuan. Pada karakteristik pertama ini, hakim pengadilan Agama telah berupaya melakukan ijtihad tathbiqy, yaitu dengan menerapkan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan yang ada, yaitu undang-undang perkawinan dan kompilasi hukum Islam.
Adapun putusan-putusan yang masuk dalam karakteristik pertama ini diantaranya putusan bidang permohonan izin poligami, putusan tentang nafkah, cerai talak dan cerai gugat serta waris dan wakaf.
Pada karakteristik ini, hakim Pengadilan Agama beranjak meninggalkan ketentuan undang-undang dan berpaling pada ketentuan fikih.
Contoh yang berkaitan dengan karakteristik kedua ini adalah batas umur minimal untuk kawin atau masalah dispensasi nikah. Di dalam ketentuan fikih tidak dikemukakan aturan yang tegas mengenai batas umur minimal untuk kawin, dalam ketentuan undang-undang perkawinan dan kompilasi Hukum Islam diatur sebaliknya. Dalam kasus seperti ini, majlis hakim Pengadilan Agama di ewilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama memilih untuk menerapkan ketentuan fikih dengan menerima permohonan dispensasi nikah yang diajukan pemohon.
Pada karakteristik ketiga ini, hakim pengadilan agama di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama berupaya menjadi urf, dimana ketentuan adat yang masih berlaku, dijadikan sebagai penguat dalam putusan-putusan mereka, sikap aspiratif ini dapat dilihat dalam dua kasus, yaitu kasus dispensasi nikah dan ahli waris pengganti.
Dalam perkembangannya, Pengadilan Agama telah tumbuh menjadi sebuah institusi kehakiman yang memiliki kewenangan yang semakin luas dan menyentuh aspekaspek kehidupan riil masyarakat Indonesia. Keberadaannya yang telah sama dan sejajar dengan institusi lainnya menjadikan Pengadilan Agama harus terus berbenah diri sehingga produkproduk yang dihasilkannya melalui peran hakim menjadi produk yang memiliki nilai bagi para pencari keadilan.
Nilai keadilan dan kepastian hukum merupakan dua ukuran yang harus terus bergandengan dalam sebuh putusan. Meskipun kedua nilai tersebut berada pada sisi yang berbeda, namun apabila hakim berusaha secara maksimal dan mendalami setiap perkara secara proporsional, maka nilai kebenaran, keadilan dan kepatian hukum akan menyelimuti produk hukum.
Hakim bukanlah corong undang-undang yang harus menilai setiap perkara secara matematis, namun hakim adalah seorang mujtahid hukum yang perannya terus dibutuhkan para pencari keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Pen. Kencana, Jakarta, 2007
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, Gema Insani Pers, Jakarta, 1996
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan di Indoensia, Sinar, 1992, cet I
Bismar Siregar, Bunga Rampai Karangan Tersebar, C. Rajawali, 1989 cet I
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 1996, cet I
Himpunan peraturan perundangundangan tentang penyatuatapan peradilan agama ke Mahkamah Agung, Proyek Penyusunan rancangan undang-undang, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama
Kenang-kenangan seabad Peradilan Agama di Indoensia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Jakarta, 1989
Satya Arisanto dkk, Memahami Hukum dari Konstitusi sampai Implementasi, PT. Raja Grafindo Persada, 2009 cet I
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, PT. Alumni Bandung, 2003, cet IVaria Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVI No. 299 oktober 2010, IKAHI Jakarta.
Editor: Dedy TA