
Rasindo group.com – Sejumlah instrumen ketentuan internasional memberikan penegasan dan justifikasi pentingnya tegaknya peradilan independen dan imparsial. Ketentuan-ketentuan internasional mengenai hal itu dapat ditemukan dalam Universal Declaration of Human Rights (1948), International Covenant on Civil and Political Rights (1976), Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985), Vienna Declaration and Programme of Action (1993), Universal Declaration on the Independence of Justice (1983), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982), The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990), Beijing Statement of Principle of Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1995), The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), dan lain-lain.
Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan internasional tersebut memiliki semangat mendukung terciptanya peradilan yang independen dan imparsial. Universal Declaration of Human Rights (1948) (Pasal 10), International Covenant on Civil and Political Rights (1976) (Pasal 14), dan Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985) adalah ketentuan-ketentuan internasional yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Sebagai instrumen internasional dalam bidang hak asasi manusia, UDHR dan ICCPR memang tidak secara khusus dan detail mengatur peradilan independen dan imparsial. Namun, dengan memasukkan ketentuan mengenai peradilan independen dan imparsial dalam UDHR dan ICCPR, hal itu menunjukkan PBB berpandangan peradilan independen dan imparsial berhubungan erat dengan aspek perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Instrumen dari PBB yang secara komprehensif mengatur tentang peradilan yang independen dan imparsial adalah Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985).
Dari beberapa ketentuan internasional tentang pentingnya peradilan merdeka dan tidak memihak di atas, ketentuan yang menarik disoroti adalah Universal Declaration on the Independence of Justice (1983), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982), dan The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002). Ketiga ketentuan internasional itu menyebut bahwa independensi dan imparsialitas peradilan tidak hanya dilekatkan pada peradilan secara institusional, tetapi juga diberikan kepada hakim secara individual. Universal Declaration on the Independence of Justice (1983) menyebut ketentuan bahwa “Hakim harus bebas secara individual”, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982) juga menyebut bahwa “Individual judges should enjoy personal independence and substantive independence”.40 Dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), khususnya bagian tentang independensi kehakiman, juga terdapat ketentuan serupa yang menyebut bahwa “A judge shall therefore uphold and exemplify judicial independence in both its individual and institutional aspects”.
Ketiga ketentuan internasional tersebut menunjukkan independensi kekuasaan kehakiman seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai independensi kekuasaan kehakiman secara institusional, tetapi juga mencakup independensi kekuasaan kehakiman secara personal. Meskipun tidak ada intervensi eksternal dari kekuasaan lembaga negara lain terhadap peradilan, independensi dan imparsialitas peradilan sulit dapat diwujudkan jika hakim secara personal tidak memiliki ruang leluasa untuk melaksanakan tugasnya secara merdeka dan tidak memihak.
Catatan-Catatan
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa politik merupakan variabel yang mempengaruhi kekuasaan kehakiman. Itu terjadi dari sejak masa kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, hingga masa setelah kemerdekaan Indonesia. Kekuasaan kehakiman menjadi tidak independen ketika berada dalam sistem politik otoriter karena lembaga eksekutif lebih dominan terhadap lembaga yudikatif dan lembaga negara lain. Sebaliknya, kekuasaan kehakiman dapat menjadi independen ketika berada dalam sistem politik demokratis karena antar-lembaga-negara berlaku prinsip checks and balances.
Momentum penegakan kembali independensi kehakiman di Indonesia mulai dapat diwujudkan saat berlangsungnya era reformasi setelah 1998. Selama masa kekuasaan otoritarian Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, kekuasaan kehakiman tidak independen dan otonom. Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto secara eksplisit mengatur dan memberlakukan manajemen organisasi peradilan “dua atap” yang memberi justifikasi campur tangan pemerintah terhadap keuasaan kehakiman. Melalui manajemen organisasi peradilan “dua atap”, MA berwenang mengurusi aspek teknis yudisial lembaga pengadilan dan Departemen Kehakiman berwenang mengurusi aspek organisasi, adminsitratif, dan keuangan lembaga pengadilan. Pada Era Reformasi, mulai dilakukan pembaruan peradilan dengan melakukan pengalihan manajemen organisasi peradilan dari Departemen Kehakiman ke MA sepenuhnya yang kemudian disebut sebagai manajeman organisasi peradilan “satu atap”. Namun, pengalihan itu ternyata bukan panacea yang mampu menyelesaikan semua persoalan peradilan di Indonesia. Selain dituangkan dalam bentuk revisi berbagai peraturan perundang-undangan tentang pengadilan, pembaharuan peradilan juga dimantapkan melalui perubahan ketiga UUD NRI 1945. Perubahan ketiga itu telah memberi jaminan konstitusional bagi kemerdekaan kehakiman. Namun, perubahan ketiga UUD NRI 1945 berkaitan dengan kekuasaan kehakiman lebih menekankan pada kemerdekaan kehakiman secara institusional daripada personal. Alhasil, yang muncul saat ini adalah kemerdekaan kehakiman personal berada di bawah kekuasaan kehakiman institusional karena para hakim nonpimpinan yang kurang memiliki posisi tawar kuat berada dalam subordinasi para hakim pimpinan yang sangat berkuasa menentukan nasib karier para hakim nonpimpinan. “Sumber komisiyudisial.go.id”
Editor: Dedy TA