
Rasindo group.com – Dalam Sejarah peradilan Indonesia, potret pelaksanaan tugas kehakiman selalu dipengaruhi oleh politik yang berlaku pada zamannya. Mulai dari zaman kolonialisme Hindia Belanda hingga zaman kemerdekaan pada Era Reformasi, politik senantiasa mempengaruhi sistem peradilan Indonesia. Menurut Sudikno Mertokusumo, “sistem peradilan dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, ekonomi, dan politik” dan pembahasan tentang peradilan Indonesia “tidak dapat lepas dari perkembangan konstitusi atau konstelasi kenegaraan di Indonesia.”3
Jauh sebelum berdiri negara Republik Indonesia, pengaturan resmi sistem peradilan telah dilakukan sejak zaman kolonialisme Hindia Belanda. Pengaturan itu disesuaikan dengan kepentingan politik kolonialisme Hindia Belanda yang sedang menjajah Indonesia. Itulah sebabnya pengaturan lingkup kewenangan hakim, hukum acara, dan pembagian jenis pengadilan secara diskriminatif diatur sedemikian rupa oleh penguasa kolonialisme Hindia Belanda agar tetap bercokol di tanah jajahan. Pada masa pendudukan Jepang (1942—1945), menurut Sudikno Mertokusumo, sistem peradilan yang berlaku pada prinsipnya hanya merupakan penyederhanaan sistem peradilan yang berlaku pada masa Hindia Belanda.4
Sistem peradilan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dalam batas-batas tertentu, merupakan kelanjutan sistem peradilan warisan kolonialisme Hindia Belanda.
—————————-
3 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatnya Bagi Kita Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011), hlm. 259.
4 Sudikno Mertokusumo, ibid., hlm. 22.
Namun, kelanjutan itu tidak seratus persen sama dengan masa kolonialisme karena telah dibuat penyesuaian tertentu yang segaris dengan semangat kemerdekaan dan nilai-nilai dianut oleh bangsa Indonesia. Lembaga pengadilan, misalnya, tidak lagi didominasi oleh hakim berkebangsaan Belanda. Meskipun demikian, eksistensi sistem peradilan dan lembaga pengadilan dalam perjalanan sejarah Indonesia tetap tidak lepas dari pengaruh politik.
Ketika berada dalam sistem politik demokratis pada periode awal kemerdekaan Indonesia, yang sering disebut periode Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal, independensi pengadilan relatif terjaga dari pengaruh cabang kekuasaan lain. Menurut Daniel Lev, selama periode itu, lembaga pengadilan bekerja sangat bagus, meskipun dengan dukungan fasilitas seadanya dan menghadapi banyak hambatan.5 Sebaliknya, ketika praktik peradilan berdampingan dengan sistem politik yang otoriter, sebagaimana berlangsung pada Era Demokrasi Terpimpin di bawah kekuasaan Presiden Soekarno dan Era Demokrasi Pancasila di bawah kekuasaan Presiden Soeharto, independensi pengadilan tersubordinasi oleh lembaga eksekutif yang lebih berkuasa daripada lembaga yudisial. Sebagai akibat berlaku sistem peradilan terpimpin pada masa Demokrasi Terpimpin, hakim tidak memiliki kebebasan dan otonomi dalam melaksanakan tugas yudisialnya.6 Gigantisme kekuasaan Orde Baru di bawah Demokrasi Pancasila membuat peran pengadilan tidak lebih dari pelayan eksekutif untuk kepentingan mempertahankan dan mengokohkan status quo kekuasaan Orde Baru.7
Menurut Sebastian Pompe, selama 40 tahun periode kekuasaan Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila itu, “pemerintah
—————————-
5 Daniel Lev, Kata Pengantar dalam Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, terjemahan Noor Cholis (Jakarta: LeIP, 2012), hlm. 11.
6 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 252.
7 Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, terjemahan Noor Cholis (Jakarta: LeIP, 2012), hlm. 666. tidak pernah sekali pun kalah dalam persidangan di MA.”8 Pada era reformasi yang menerapkan sistem politik demokratis, independensi pengadilan mulai relatif terjaga karena antar-cabang-kekuasaan berlaku prinsip checks and balances sehingga tidak ada satu lembaga tinggi negara lebih dominan daripada lembaga tinggi negara lain. (Sumber rasindonews.wordpress.com)
Editor: Dedy TA