
Rasindo group.com – Oleh: PYM SPDB Pangeran Edwardsyah Pernong Sultan Sekala Brak Yang Dipertuan Ke-23
NAHDLATUL ULAMA (NU) adalah organisasi Islam yang pernah menjadi partai politik di Indonesia sejak kelahirannya merupakan wadah perjuangan untuk menentang segala bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan negara Republik Indonesia dari penjajah Belanda dan Jepang, sekaligus aktif melakukan dakwah-dakwahnya untuk senantiasa menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah NKRI.
Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan NKRI dapat dilihat atas latar belakang lahirnya salah satu ormas besar di indonesia Nahdlatul Ulama (NU).
Paling tidak ada tiga alasan besar yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926, yaitu :
- Motif agama.
- Motif mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wa ’l-Jamā’ah,
- Motif nasionalisme dengan tidak mengabaikan Adat dan kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing asalkan tidak melakukan peyimpangan dari ajaran–ajaran agama yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Sejak tanggal 20 Desember 1912 tahun Masehi.
Motif nasionalisme timbul karena NU lahir dengan niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni “Kebangkitan Para Ulama”. NU pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sangat nasionalis.
Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, sedangkan pada Muhammadiyah memiliki Pemuda Muhammadiyah dan lain sebagainya sebagainya, akan tetapi kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis.
Pada tahun 1924 para pemuda pesantren Muhammadiyah mendirikan Shubban al-Waṭān (Pemuda Tanah Air), Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah Kiai Muhammad Yusuf Hasyim, namun pemuda Muhammadiyah tetap ada dan berjalan hingga saat ini.
Selain itu dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) lahir laskar-laskar perjuangan fisik, di kalangan pemuda muncul laskar-laskar Ḥizbullāh (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatera Utara tahun 1909, dan di kalangan orang tua Sabīlillāh (Jalan menuju Allah) yang di komandoi KH. Masykur, laskar-laskar NU di atas siap berjuang jihad menegakkan agama dan bangsa, mengusir para penjajah Belanda dan Jepang untuk merebut kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia.
Pandangan keagamaan NU dianggap “tradisionalis” karena menoleransi adat dan budaya lokal selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam sama hal nya dengan Muhammadiayah sebuah organisasi non-pemerintah Islam terbesar di Indonesia.
Beberapa tokoh NU adalah pendukung konsep Islam begitupun dengan Perserikatan Muhammadiyah, sebuah ciri khas Islam yang telah mengalami interaksi, kontekstualisasi, pribumisasi, interpretasi, dan vernakularisasi sesuai dengan kondisi Adat Istiadat dan sosial budaya di Indonesia.
Islam mempromosikan moderasi, anti-fundamentalisme, pluralisme dan pada titik tertentu, sinkretisme.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Lampung, 22—24 Desember 2021, telah usai. Muktamar berlangsung sejuk dan khidmat sehingga berhasil membuat keputusan-keputusan penting dan strategis, untuk memasuki 100 tahun kedua bagi Nahdlatul Ulama.
Pada muktamar tersebut, Nahdlatul Ulama membuktikan diri sebagai organisasi keagamaan yang adaptif dan akomodatif. Sikap adaptif dan akomodatif itu dapat dilihat dari pergantian kepemimpinan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dari Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A. kepada juniornya K.H. Yahya Cholil Staquf dikenal juga dengan sapaan Gus Yahya adalah ulama yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmat 2022-2027. Peralihan pucuk pimpinan itu merupakan simbol peralihan dari abad sebelumnya menuju abad baru.
Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A. adalah mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU) masa khidmat 2010-2021 yang saat ini menjabat sebagai Mustasyar (penasehat) Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama masa khidmat 2022-2026. Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, M.A. telah berkali-kali tahun setiap tahun sejak 2010 selalu masuk ke dalam daftar 500 Muslim Paling Berpengaruh di Dunia. Begitu pula baru-baru ini, The Royal Islamic Strategic Studies Center yang berpusat di Yordania merilis Daftar 500 Muslim Paling Berpengaruh di Dunia untuk tahun 2022 (The World’s 500 Most Influential Muslims 2022, dan KH. Said Aqil Siroj menempati urutan ke-19 edisi tahun 2022. Dalam dasawarsa kepemimpinannya, NU telah mengalami kemajuan berarti, beliau sangat concern dengan pendidikan tinggi NU sehingga dalam masa 12 tahun itu banyak kampus NU berdiri. Beliau juga gigih merawat paham keagamaan NU yang moderat, toleran, dan terbuka, di tengah gempuran paham Islam transnasional.
Kini, masa depan NU berada di pundak generasi yang lebih muda, K.H. Yahya Cholil Staquf. Sebagai sesama alumni Yogyakarta, saya mengenal Gus Yahya Staquf sebagai seorang aktivis kemahasiswaan selama kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM. Beliau masuk UGM tahun 1985 dan memilih aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan pernah menjadi Ketua Komisariat HMI Fisipol UGM.
Pilihan aktif di HMI, bukan di PMII sebagaimana kebanyakan mahasiswa NU, jelas menunjukkan karakter pemikiran Gus Yahya yang inklusif, membuka selebar-lebarnya pintu dialog untuk membangun keberagaman. Dikenal sebagai aktivis dan pemikir yang idealis, Gus Yahya sejak awal sudah berusaha menerapkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Sebagai aktivis NU, Gus Yahya mengikuti jejak idolanya, Gus Dur, menyebarkan dakwah Islam di dunia internasional. Pilar utama yang ditawarkan dalam gerakan dakwah internasional itu adalah Islam rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, bagi Gus Yahya membangun dialog kultural dengan Israel untuk mewujudkan perdamaian dengan Palestina, merupakan dakwah yang harus ia tempuh, meski mendapat tentangan yang keras di Tanah Air.
Peran NU di Era Disruption
Revolusi digital melahirkan fenomena sosial, ketika tengah mengalami “guncangan besar”, akibat akumulasi perubahan dramatis tatanan sosial dan tajamnya persaingan global. Revolusi digital yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat “memaksa” organisasi beradaptasi untuk efektivitas dan efisiensi. Di sisi lain, kehadiran era revolusi digital telah membidani lahirnya era disrupsi. Era disrupsi dianggap telah memengaruhi relasi antarbangsa demi memenangkan persaingan global. Era disrupsi juga memengaruhi sistem negara dan resources yang dimiliki, menuju jalinan sistem yang saling terkoneksi.
Disrupsi secara generik bermakna tercabut dari akarnya atau perubahan fundamental, telah dan sedang dialami oleh rakyat Indonesia, setidaknya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Terjadi perubahan secara mendasar di tengah masyarakat sejak revolusi digital merasuki seluruh celah kehidupan manusia. Perubahan tersebut telah mengubah sistem lama dengan suatu sistem baru. Perubahan tersebut ada yang berjalan secara natural, tetapi ada juga yang berjalan dengan dipaksakan hingga menimbulkan konflik.
Revolusi digital akibat dari evolusi teknologi informasi telah mengubah hampir semua tatanan kehidupan, termasuk tatanan kehidupan sosial dan keagamaan. Dan, perubahan tersebut, ternyata tidak selalu positif, bisa juga negatif sehingga mengguncang sendi-sendi kehidupan masyarakat. Muncul dan berkembangnya paham Islam Transnasional merupakan contoh nyata dari era disrupsi. Dalam dunia pendidikan keagamaan, saat ini generasi muda lebih suka belajar agama melalui search engine daripada ke pesantren.
Kebenaran bukan dilihat dari hakikat atas peristiwa, melainkan dari seberapa kuat sebuah isu dimainkan oleh kelompok kepentingan, akibatnya terjadi polarisasi yang dalam di tengah masyarakat. Kepakaran juga sudah “mati” digantikan oleh mesin pencari. Dampaknya, ruang dialog menjadi sempit, lemahnya nalar dan generasi “sumbu pendek” yang mudah terhasut dan mudah marah.
Gus Yahya sebagai figur yang muda dan idealis, menjadi ketua PB NU di saat seluruh dunia-dan NU ada di dalamnya-sedang menapaki era disrupsi. Era disrupsi perlu dimaknai sebagai perubahan pola pikir, yang mengakibatkan perubahan sosial yang dipicu oleh pemanfaatan teknologi informasi, yang dapat memengaruhi kondisi sosial, termasuk kondisi organisasi keagamaan dan umatnya.
Di era disrupsi, hal utama yang perlu dilakukan adalah kemampuan beradaptasi, baik dilakukan oleh individu maupun kelompok, untuk pengembangan jammiyyah. Dan, NU sudah sejak lama memiliki kemampuan adaptif sehingga perubahan yang terjadi di NU berjalan tanpa gejolak.
Konsisten
NU yang sejak didirikannya tahun 1926 konsisten mengembangkan dakwah yang toleran, akomodatif, adaptif, dengan berpegang pada kaidah fiqh al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah, yang artinya melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik. Dengan paham tersebut, akan mudah bagi NU-dan hal itu sudah dibuktikan dengan keberhasilan NU menjaga organisasi tetap utuh, adem, dan menjadi rumah besar bagi segenap anak bangsa.
Keberhasilan NU-dan ini telah dimulai oleh KH Agil Siradj-dalam menghadapi era disrupsi karena NU memiliki strategi bertindak cepat, dengan tetap menjaga keseimbangan. Pola pendidikan NU juga mengalami transformasi dengan menekankan tiga aspek, yaitu inovasi, kreativitas, dan entrepreneurship.
Belajar dari pengalaman NU yang alih-alih bergejolak-justru menjadikan disrupsi sebagai kekuatan untuk mengubah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu, di era Gus Yahya NU perlu menjadi leader, inspirator, fasilitator, untuk membawa masyarakat Indonesia memanfaatkan potensi yang dimiliki menjadi bangsa yang maju dan berkeadaban.
NU perlu menginisiasi, mendorong kreasi dan inovasi bangsa Indonesia melakukan recovery dengan mengubah pendekatan, cara berpikir, cara bertindak seluruh anak bangsa. NU perlu berdiri di depan, mengajak rakyat Indonesia mencari model yang tepat bingkai NKRI di era disrupsi.
NKRI di era disruption tersebut, setidaknya memiliki nilai-nilai:
(1) Berlandaskan pada etika dan moral;
(2) Supremasi hukum;
(3) Menghormati hak asasi manusia;
(4) Relasi sosial yang “salam” yaitu setara dan berkeadilan.
Gus Yahya, dengan model kepemimpinan transformatif, yaitu kepemimpinan untuk perubahan Indonesia Sejahtera akan mampu memobilisasi seluruh potensi masyarakat Republik Indonesia (bukan hanya muslim), mengagendakan perubahan, dan memproyeksikan masa depan menuju kemajuan dan keunggulan. Bila peran tersebut dapat dijalankan oleh Gus Yahya serta didukung oleh seluruh komponen masyarakat, termasuk masyarakat adat Nusantara, Indonesia di masa mendatang akan menjadi negara demokrasi terbesar, negara toleran, dan berkeadaban. “m.lampost.co”
Editor: Dedy TA