
Rasindo group.com – Menurut Thomas Walker Arnold, sulit untuk menentukan bilakah masa tepatnya Islam masuk ke Indonesia. Hanya saja, sejak abad ke-2 Sebelum Masehi orang-orang Ceylon telah berdagang dan masuk abad ke-7 Masehi, orang Ceylon mengalami kemajuan pesat dalam hal perdagangan dengan orang Cina. Hinggalah, pada pertengahan abad ke-8 orang Arab telah sampai ke Kanton. Waktu masuknya Islam di Nusantara sudah berlangsung sejak abad ke-7 dan 8 Masehi. Namun, perkembangan dakwah baru betul dimulai kala abad ke-11 dan 12. Artinya dakwah di Indonesia sudah merentang selama beberapa abad pada masa-masa awal.
Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, tetapi pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu seluruh wilayah Nusantara dikuasainya termasuk Indonesia. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama.
Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya merupakan wadah perjuangan untuk menentang segala bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan negara Republik Indonesia dari penjajah Belanda dan Jepang, sekaligus aktif melakukan penyebaran agama Islam dengan salah satu cara berdakwah-dakwah. Dakwah diartikan bijaksana akal budi yang mulia dada yang lapang hati yang bersih dan menarik perhatian orang kepada agama atau tuhan, untuk senantiasa menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tidak mengabaikan Adat dan kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing, dan juga tidak melakukan peyimpangan dari ajaran–ajaran agama yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. .
Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan NKRI dapat dilihat atas latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul Ulama (NU).
Paling tidak ada tiga alasan besar yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 Hijriyah), yaitu Pertama, motif agama. Kedua, motif mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wa ’l-Jamā’ah, dan ketiga, motif nasionalisme.
Motif nasionalisme timbul karena NU lahir dengan niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni “Kebangkitan Para Ulama”. NU pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sangat nasionalis.
Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya, akan tetapi kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Pada tahun 1924 para pemuda pesantren mendirikan Shubban al-Waṭān (Pemuda Tanah Air).
Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah Kiai Muhammad Yusuf Hasyim. Selain itu dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) lahir laskar-laskar perjuangan fisik, di kalangan pemuda muncul laskar-laskar Ḥizbullāh (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatera Utara tahun 1909, dan di kalangan orang tua Sabīlillāh (Jalan menuju Allah) yang di komandoi KH. Masykur, laskar-laskar NU di atas siap berjuang jihad menegakkan agama dan bangsa, mengusir para penjajah Belanda dan Jepang untuk merebut kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia.
Perjuangan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan upaya yang kuat menggerakan para ulama, santri dan umatnya untuk bangkit menghimpun kekuatan melawan pemerintahan asing yang dianggap kafir, merupakan bukti sejarah yang tidak dapat dipungkiri.
Bahkan menurut hitungan rasional kemerdekaan negara Indonesia ini tidak akan pernah terwujud, mengingat rakyat Indoneisa pada saat itu merupakan rakyat yang miskin, serba kekurangan, untuk makan saja masih sulit akibat kejamnya penjajahan, demikian juga minimnya persenjataan yang dimiliki oleh pasukan dan relawan pejuang rakyat kita, apabila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh penjajah Belanda.
Akan tetapi berkat motivasi para ulama kita termasuknya adalah ulama NU yang berupaya mentranspormasi gerakan-gerakan yang bersifat spontanitas kepada mekanik atau organik dari doa dan wirid-wirid yang diberikan oleh ulama-ulama NU (bisa berupa asmā’, ḥizb, dhikir, ṣalawāt dan lain sebagainya) menjadi sebuah sugesti besar pensakralan dan kekuatan besar untuk melawan peperangan melawan penjajah, maka dengan sugesti yang kuat ini perjuangan para ulama bisa menghantarkan ke sebuah kemerdekaan berkat rahmat Allah.
Umat Islam di bawah komando para ulama telah memberikan warna dan sangat yang terang dalam sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan negara Indonesia, utamanya dalam perlawanan menetang penjajahan Belanda, merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik saat seluruh bangsa mempertaruhkan hidup dan mati untuk tetap tegaknya kemerdekaan Indonesia.
Begitu mendalamnya torehan sejarah yang dipahat umat Islam sepanjang masa Imperialisme di bumi Nusantara ini, sehingga kemanapun kita mencoba melacak jejak perjuangan dimasa penjajahan maka senantiasa pula akan kita temukan pijaran api semangat perjuangan Islam dimana-mana.
Mempelajari tentang sejarah perjuangan perlawanan umat Islam Indoneisa melawan penjajah Belanda, maka dalam perjalanannya akan kita temukan periode dimana bermunculan berbagai macam lembaga atau organisasi sosial dan keagamaan yang berjuang mewadahi kekuatan ummat sebagai salah satu potensi yang menopang untuk tegaknya kedaulatan negara. Perjuangan umat Islam dan organisasi yang mewadahinya dapat dilihat mulai dari lahirnya SDI (Serikat Dagang Indonesia) tahun 1911 M yang kemudian pada tanggal 10 September 1912 menjadi wadah Serikat Islam (SI),4 kemudian muncullah organisasi Muhamadiyyah tahun 1912, kemudian disusul NU pada tahun 1926 di bawah pimpinan oleh KH. Hasyim Asy’ari, dimana NU tampil sebagai pionir dan perintis kemerdekaan semenjak masa jauh sebelum Indonesia merdeka dan merekapun ikut menjadi bagian pendiri dari negara Republik Indonesia ini.
Pada masa penjajahan Jepang menguasai Indonesia, arena perjuangan NU justru semakin melebarkan sayapnya. Sikap anti penjajah yang memang sudah pembawaannya, menyebabkan antisipasi terhadap perkembangan keadaan yang menyangkut keselamatan negara semakin ditingkatkan, lebih-lebih lagi ketika kehadiran tentara sekutu dan NICA (Belanda) mendarat di Indonesia dan dimana-mana melakukan teror untuk merobohkan negara Republik Indonesia yang masih sangat mudah pada waktu itu. Kondisi yang sangat genting seperti ini menjadikan NU di bawah kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari (yang merasa mempunyai andil dalam proses-proses perumusan kemerdekaannya) terdorong untuk mengeluarkan sebuah fatwa terkenal dengan nama “Resolusi Jihad” pada tanggal 22 Oktober 1945. Sebuah kebulatan tekad yang isinya menwajibkan kepada seluruh umat Islam baik pria maupun wanita mengangkat senjata melawan kolonialisme dan imperialisme yang mengancam keselamatan negara Republik Indonesia.
Peran NU dan keterlibatannya yang besar hampir seluruh warga NU untuk menjalankan jihad mengusir penjajah ini, pada gilirannya bisa mendorong kehendak kuat bagi negara dan NU untuk menuntut peranannya yang lebih besar dalam perjuangan selanjutnya (mengisi kemerdekaan) yang tentunya berlandaskan pada semangat nilainilai Resolusi Jihad dengan bentuk aktualisasi yang lain.
Arti penting lain pembentukan NU sebagai sebuah organisasi adalah berkaitan dengan wawasan kebangsaan (nasionalisme) yang selalu dijadikan sebagai salah satu dasar perjuangannya selama ini. Wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh NU tersebut dapat dilihat pada setiap langkah dan kebijakan NU sejak dulu hingga sekarang yang selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Perjuangan NU ini berkobar terus mulai sejak penjajahan Belanda menyerbu Indonesia sampai penjajahan Jepang.7 Oleh karenanya tujuan NU membentuk sebuah perkumpulan adalah untuk membentuk organisasi perjuangan yang senantiasa menentang segala bentuk penjajahan untuk merebut kemerdekaan dan sekaligus menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah NKRI.
Dasar Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) dalam Mewujudkan Kemerdekaan Negara Indonesia

Nahdlatul Ulama (NU) dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan senantiasa dilandasi oleh dasar sharī’at Islam dan nilai-nilai ke-Islam-an, juga didasari atas nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi, hal ini dapat kita lihat bagaimana latar belakang Nahdlatul Ulama ini lahir, bagaimana peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan keutuhan NKRI. NU pimpinan KH. Hasyim Asy’ari sangat menjunjung tinggi nilainilai kebangsaan, nasionalisme yang berdasarkan atas syari’at Islam ‘alā Ahl alSunnah wal al-Jamā’ah.12 Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Banjarmasin pada tahun 1936, yang memutuskan bahwa kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dār al-Salām, yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa-bangsa.
Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas dan aman. Pandangan Nahdlatul Ulama bahwa perjuangan jihad ulama dalam mengusir penjajah Belanda sebenarnya adalah tuntunan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan setiap umat-Nya sebagai bentuk manivestasi rasa syukur terhadap Allah yang Mahakuasa. Jihad yang dilakukan oleh ulama dan santrinya ialah jihad membela tanah air, sebagai bentuk cinta tanah air (ḥubb al-waṭan) yang dimaknai sebagai jihād fī sabīlillāh.
Karena upaya mempertahankan dan menegakkan negara Republik Indonesia dalam pandangan hukum Islam merupakan bagian dari kewajiban agama yang harus dijalankan umat Islam.13 Menurut KH. Hasyim Asy’ari, jihad merupakan satu amalan besar dan penting dalam Islam dengan keutamaannya yang sangat banyak sekali, tentunya menjadi kewajiban seorang muslim untuk melaksanakanya bila suatu saat diserang oleh orang kafir. Oleh karena itu menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam konteks melawan penjajah Belanda, memberikan fatwa jihad mempertahankan tanah air Indonesia hukumnya wajib atas seluruh orang yang berada di wilayah negara Indonesia yang diserang musuh penjajah kafir Belanda, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah:
Artinya
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas.“
Dari dasar al-Qur’an ini maka Nahdlatul Ulama (NU) bersepakat bahwa jihad memerangi penjajah Belanda wajib hukumnya, disinilah pimpinan NU terutama KH. Hasyim Asyari sebagai komandan organisasi NU ikut mendukung upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad, Hasilnya pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama di kantor NU Jawa Timur mengeluarkan keputusan resolusi jihad itu. Karena itulah KH. Hasyim Asy’ari diancam hendak ditangkap Belandal, namun KH. Hasyim Asy’ari tidak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Ḥizbullāh dan Sabīlillāh melawan penjajah. Bahkan ketika Bung Tomo meminta KH. Hasyim mengungsi dari Jombang, Kiai Hasyim berkukuh bertahan hingga titik darah penghabisan, hingga muncul sebuah kaidah (rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional NU; ḥubbu al-waṭan min alimān (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).
Semangat dakwah anti kolonialisme sudah melekat pada diri KH. Hasyim sejak belajar di Makkah, ketika jatuhnya dinasti Ottoman di Turki. KH. Hasyim pernah mengumpulkan kawan-kawannya, lalu berdoa di depan Multazam, berjanji menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbagai bentuk penjajahan.16 Sikap anti penjajahan juga sempat membawa KH. Hasyim masuk bui ketika masa penjajahan Jepang. Waktu itu, kedatangan Jepang disertai kebudayaan Saikerei yaitu menghormati Kaisar Jepang Tenno Heika dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB. Budaya itu wajib dilakukan penduduk tanpa kecuali, baik anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. Namun KH. Hasyim Asyari menentang karena dia menganggapnya haram dan dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai rukū’ dalam shalat, hanya diperuntukkan menyembah Allah. Menurut KH. Hasyim Asy’ari, selain kepada Allah hukumnya haram, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu Dewa Langit. Akibat penolakannya itu, pada akhir April 1942, KH. Hasyim Asyari yang sudah berumur 70 tahun dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, lalu ke penjara Bubutan Surabaya. Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa hingga jari-jari kedua tangannya remuk tak lagi bisa digerakkan.
Itulah pemikiran NU yang sangat gigih menentang segala bentuk penjajahan hukumnya wajib karena perintah agama, hal ini sejalan dengan garis perjuangan ulama-ulama pendahulunya yang senantiasa memberikan hukum wajib jihad untuk mengusir Belanda, sebagaimana di kutib pendapat dari ulama Palembang yaitu Syekh Abd al-Shamad al-Palimbany,18 yang mengatakan bahwa perang melawan orang kafir hukumnya farḍu ‘ain berlaku apabila orang-orang kafir menginvasi wilayah kaum Muslimin. Seluruh penduduk berkewajiban mempertahankan wilayahnya semaksimal mungkin. Bahkan, bila terpaksa siapapun tanpa terkecuali baik anak-anak, perempuan, faqir miskin wajib ikut jihad sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Haram hukumnya bagi prajurit lari dari medan perang bila telah berjumpa dengan pasukan lawan. Beliau berpendapat bahwa seluruh masyarakat turut andil dalam jihad sesuai kemampuannya masing-masing, seperti memberikan akomodasi ataupun menjaga harta dan keluarga mujahiddin yang ditinggal perang.19 Sikapsikap seperti inilah yang ditunjukan oleh NU dan mayoritas ulama di Indonesia dalam memberikan fatwa jihad memerangi terhadap penjejajah Belanda.
Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam Mewujudkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

A. Keterlibatan Ulama NU dalam Mengusir Penjajah Belanda
Belanda sebagai bangsa yang paling lama menguasai bangsa Indonesia sudah melakukan banyak kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyat Indonesia.20 Sikap kolonial Belanda telah menumbuhkan benih-benih ketidak puasan bangsa Indonesia sehingga para pemuka agama menghimpun kekuatan melalui dunia pesantren diantaranya adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ditambah adanya beberapa program kristenisasi yang digalakkan oleh penjajah Belanda di bumi nusantara ini menjadikan Nahdlatul Ulama bangkit menghimpun laskar-laskar kekuatan (ḥizbullāh) untuk melawan penjahan Belanda yang dianggap kafir dan dhalim. NU dengan segala kekuatan yang ada pada tingkat komunitas masyarakatnya secara menyeluruh memberikan pengaruh yang mengakibatkan munculnya kelompok baru yang disebut ulama dan santri, yang kemudian karena kekuatan NU ini semakin lama semakin kuat, maka oleh penjajah Belanda ingin dijauhkan dari pengaruh politiknya.
Menurut Alamsyah Ratu Perwiranegara, pandangan dan cara hidup Islam yang memunculkan ulama dengan pesantrennya, dinyatakan tidak hanya dengan mengadakan perubahan sosial saja, tetapi lebih cenderung menumbuhkan revolusi sosial sebagai perubahan yang radikal dan meluas yang berdasar pada perubahan sikap mental.22 Arus perubahan seperti ini pada gilirannya mendapatkan tantangan baru, yakni adanya agresi perdagangan dan agama yang dilancarkan oleh imperialis Barat. Menjawab tantangan ini, para ulama bekerja keras untuk membina santri-santrinya agar memiliki sikap combative spirit (semangat siap tempur). Pesantren yang tadinya merupakan lembaga pendidikan, bertambah fungsinya sebagai tempat kegiatan membina pasukan sukarela yang akan disumbangkan untuk mempertahankan agama, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Thomas Stamford Raffles, peran kelompok ulama yang strategis ini bukanlah hasil dari voting (pemilihan suara) atau dari pengaruh karisma raja, tetapi lahir dari perkembangan Islam itu sendiri yang memandang ulama sebagai kelompok intelektual Islam, dan tampaknya telah menjadi watak dasar bangsa Indonesia yang selalu mengangkat kalangan berilmu sebagai pemimpinnya. Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharuan, dan pengaruh ulama pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren. Eksistensi ulama jangan dilihat hanya sekedar sebagai pembina pesantren saja, akan tetapi peranannya dalam sejarah perjuangan bangsa cukup militan. Sekalipun banyak penulis sejarah yang menyingkirkan peran para ulama dalam karyanya, namun Raffles menuliskan betapa besar peranan ulama dalam menunjang para Sultan melawan Belanda. Menurutnya, “ulama merupakan kelompok intelektual yang sangat kuat dan membahayakan di tangan penguasa-penguasa pribumi dalam rangka melawan penjajahan Belanda dan kelompok ulama senantiasa aktif menggerakkan perjuangan dan memberikan spirit untuk melakukan pemberontakan pada penjajah Belanda” Kelanjutan dari pengaruh ulama yang demikian luas tersebut tidak hanya terbatas di bidang politik dan militer saja, melainkan meluas juga terhadap ekonomi yang telah meninggalkan bekas-bekasnya baik berupa aktivitas perdagangan, tukar menukar barang ekonomi, kegiatan perniagaan lain yang produktivitasnya untuk menopang perekonomian keluarga dan perjuangan agama. Pasar tidak hanya merupakan kegiatan jual beli barang dagangan, tetapi juga dijadikan arena dakwah, sehingga kegiatan pasar sangat dipengaruhi oleh hari-hari besar Islam. Jadi, Islam sebagai agama yang disebarkan di Indonesia oleh para ulama, memiliki peran yang positif dalam menunjang kegiatan-kegiatan sosial, politik dan kegiatan perekonomian dan perdagangan Kalau kita perhatikan data di atas, jelaslah bahwa kepentingan Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama, terutama di bidang perdagangan dan kebijakan politik kolonial. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai dwi fungsi sebagai pedlar missionaries (da’i dan pedagang), mengakibatkan usaha perdagangan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam, maka tidaklah mengherankan kalau Islam dijadikan sebagai senjata politik dalam melawan Calvinisme VOC Belanda.26 Para ulama dan para kiai mempunyai pengaruh yang sangat besar, terlebih karena sifat pendidikan agama di pesantren, pondok yang mengarah pada orientasi vertikal kalangan santri kepada para gurunya —yang dalam filosofis diartikan harus di“gugu” dan di”tiru” — menyebabkan pengaruh kewibawaan para ulama dan kiai sangat besar. Karena itulah, dalam menjangkau perspektif pembangunan politik di Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya, para ulama sangat berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia tidak hanya sebagai pengobar semangat santri dan masyarakatnya, akan tetapi juga bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan negara Republik Indonesia.28 Jauh sebelumnya, yaitu masa pendudukan Jepang, kaum ulama dan santrinya sudah bersiap-siap menyusun kekuatan. Laskar Ḥizbullāh (Tentara Allah) dan Sabīlillāh (Jalan Allah) didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Laskar Ḥizbullāh berada di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar Sabīlillāh dipimpin oleh KH. Masykur, dia adalah pemuda pesantren dan anggota Ansor NU (ANU) sebagai pemasok paling besar dalam keanggotaan Ḥizbullāh.29 Peran kiai dan santri dalam perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar Ḥizbullāh dan Sabīlillāh saja, tetapi banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Menurut Martin van Bruinessen, lahirnya “Resolusi Jihad” tidak terlepas dari peran Ḥizbullāh, peran mereka nyata terlihat setelah berkumpulnya para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) pada tanggal 21 Oktober 1945. Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fī sabīlillāh yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad” ketika NU melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan proklamasi kemerdekaannya, dan sudah mempunyai konstitusinya sendiri (UUD 1945), maka pada tanggal 22 Oktober 1945, organisasi ini mengeluarkan sebuah “Resolusi Jihad”. Sedangkan tokoh ulama NU yang memprakarsai “Resolusi Jihad” ini adalah KH. Hasyim Asy’ari (1875-1947 M), KH. Wahab Hasbullah (1888-1971 M), Kiai Bisri Syansuri (1886-1980 M) dan Kiai Abbad Buntet (1879-1946 M).32 Ketika NU melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan proklamasi kemerdekaannya, dan sudah mempunyai konstitusinya sendiri (UUD 1945), maka pada tanggal 22 Oktober 1945, organisasi ini mengeluarkan sebuah “Resolusi Jihad”. Namun, sebelumnya NU mengirim surat resmi kepada pemerintah yang berbunyi: ”Memohon dengan sangat kepada pemerintah Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan perjuangan yang bersifat fī sabīlillāh untuk tegaknya Negara Republik Indonesia yang merdeka dan beragama Islam.”
Adapun resolusi yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa itu berbunyi:
- Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
- Republik Indonesia (RI) sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan
- Musuh negara Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
- Umat Islam, terutama NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
- Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap Muslim yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan shalat jamā’ dan qaṣr).
Resolusi jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat arekarek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah. Dengan semangat takbir yang dipekikkan oleh Bung Tomo, maka terjadilah perang rakyat yang heroik pada 10 November 1945 di Surabaya. Dari sejarah ini, warga NU dan para elitnya, tidak menjadi alergi ketika akhir-akhir ini ada upaya untuk mengebiri dan mengaburkan makna jihad. Resolusi Jihad yang diserukan KH. Hasyim Asy’ari, sebaiknya diingat kembali untuk memberikan motivasi kepada generasi muda dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan Negara.
B. Keterlibatan NU sebagai Panitia Persiapan Kemerdekaan RI
Keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai arti penting dalam perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam Panitia Sembilan dalam BPUPKI (Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 yang menghasilkan dokumen sejarah penting, yaitu “Piagam Jakarta” Syukurlah rumusan “Atas berkat rahmat Allah… “ itu tidak dituntut untuk dicoret sebagaimana rumusan tujuh kata “(Ketuhanan)… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya….”, seperti kita pahami “tujuh kata” itu kemudian dicoret dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945. Bung Hatta mengaku, ia mendapat telepon dari seorang perwira Jepang yang mengaku menyampaikan aspirasi kaum Kristen Indonesia Timur, bahwa mereka tidak mau bergabung dengan NKRI jika “tujuh kata” itu tidak dihapus37. Hingga kini, peristiwa seputar pencoretan “tujuh kata” itu masih misterius, sebab sampai meninggalnya Bung Hatta tidak membuka siapa sebenarnya perwira Jepang yang meneleponnya tersebut.
Menurut KH. Wahid Hasyim, bahwa toleransi yang dilakukan oleh NU dan tokoh-tokoh pejuang Muslim lain yang menerima untuk menghapus “tujuh kata” dan menerima tuntutan kaum Kristen Indonesia Timur, itu semua merupakan pengorbanan dan perjuangan para ulama NU demi terpeliharanya kemerdekaan dan juga demi persatuan dan kesatuan NKRI.
Kita perlu meng ingat kembali, bahwa setelah “Piagam Jakarta” ditetapkan, masih ada sebagian anggota BPUPKI yang menggugatnya. Akhirnya, Bung Karno sendiri menegaskan: “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah jelas bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya….” sudah diterima oleh Panitia ini”.40 Inilah debat panjang yang akhirnya menelorkan sikap kompromis yang sebaik-baiknya antara kaum muslimin dan kristen. Sehingga panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin dengan nama “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan anggota Soekiman, gentlemen agreement, hal ini supaya dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.”
Piagam Jakarta adalah cikal bakal materi Pembukaan UUD 1945 oleh karena materi Piagam Jakarta kemudian dijadikan materi pembukaan (preambule) UUD 1945. Piagam Jakarta berisi pula kalimat proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada 17 Agustus 1945. Persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa termasuk salah satu perumus Pancasila yaitu KH. Abdul Wahid Hasyim dari kalangan tokoh agama,42 beliau melakukan langkah dengan menggelar rapat di Taman Raden Saleh Jakarta pada tanggal 13-14 September 1944. Sebulan kemudian, Masyumi mengadakan rapat khusus dengan kesepakatan untuk mengajukan resolusi kepada Jepang agar segera mempersiapkan umat Islam Indonesia untuk siap menerima kemerdekaan. Di saat tentara Negara belum efektif terutama jalur komandonya, Laskar ulama dan santrinya telah sigap menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi. Bahkan konsolidasi dan jalur komando laskar Ḥizbullāh dengan dukungan struktur Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyumi begitu massif hingga ke pedesaan. Sebagai bentuk dukungan, laskar tetap loyal terhadap negara, ini ditandai dengan meleburnya laskar Ḥizbullāh dan Sabīlillāh NU ke dalam TNI dan terus aktif terlibat dalam berbagai serangan umum terhadap markas Belanda. Kegigihan para pejuang TNI dan laskar Ḥizbullāh, Sabīlillāh NU menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tetap eksis meskipun ibukota sudah diluluhlantahkan oleh kolonial Belanda.43 Perjuangan ini akhirnya membuahkan hasil dengan diakuinya kedaulatan negara Republik Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB),44 yang hasil keputusannya adalah Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan negara Indonesia dan kemerdekaanya secara penuh dengan tidak bersyarat dan tidak dicabut lagi.
Kontribusi Nahdlatul Ulama (NU) dalam Mempertahankan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Di tengah era globalisasi yang melahirkan ideologi kapitalisme, kedaulatan wilayah KRI menghadapi tantangan dari upaya-upaya pencaplokan pulaupulau terpencil oleh karena itu negara dituntut ekstra sensitif untuk menjamin keamanan negaranya dari ancaman kedaulatan bangsanya. Dengan segala dampak yang menguntungkan dan merugikan dari globalisasi, negara diwajib kan untuk lebih memperhatikan keamanan dari perspektif non-konvensional. Dimana aspek-aspek ideologi, ekonomi, budaya, sosial-politik, teknologi, militer, dan pertahanan negara sebagai dimensi yang bisa terancam sewaktu-waktu oleh siapapun dan negara manapun. Ancaman yang harus kita tanggulangi dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa harus segera ditangani secara serius, dikarenakan wilayah Indonesia baik darat maupun perairan memiliki kekayaan alam yang melimpah sehingga menjadi sasaran negara lain untuk memiliki dan menguasainya.
Bahaya pencaplokan pulau-pulau terpencil yang dilakukan oleh negara lain, dalam perspektif Nahdlatul Ulama (NU), bahwa hubungan antara bangsa baik di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan harus dilakukan berdasarkan atas prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan serta membuang segala bentuk eksploitasi dan penjajahan. Karena itu segala bentuk investasi dan bantuan asing haruslah diletakkan sebagai upaya emansipasi rakyat bukan sebaliknya untuk menciptakan ketergantungan dan mematikan kreativitas bangsa45. Nahdlatul Ulama (NU) menolak liberalisme dan imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya yang sangat gencar menjajah bangsa lain atas nama pasar bebas dan globalisasi, karena prinsip ini telah digunakan untuk menguasai bangsa lain, sehingga merusak tatanan sosial bangsa lain. Selain itu kehidupan negara dan rakyat menjadi sangat tergantung pada negara besar sehingga mengakibatkan kehidupan rakyat makin sengsara. Nahdlatul Ulama (NU) menolak segala bentuk pengambil alihan aset strategis negara baik sektor ekonomi atau sektor pendidikan dan kebudayaan oleh pihak asing, dengan alasan privatisasi, divestasi atau pun komersialisasi. Demikian juga pengambil alihan aset strategis yang bersifat geografis seperti pencaplokan pulau terpencil sampai soal penggeseran tapal batas Negara Republik Indonesia yang marak belakangan ini adalah merupakan bentuk kolonialisme yang harus ditolak dan segera dihentikan operasinya, karena tindakan tersebut benar-benar telah melanggar kedaulatan Negara dan menghina martabat rakyat Indonesia secara keseluruhan sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat Perspektif Nahdlatul Ulama (NU) terkait dengan menjaga kedaulatan bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NU menganjurkan untuk senantiasa memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural dengan cara menanamkan sikap menghargai perbedaan lewat komunikasi dialog dalam konteks mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Merespons berkembangnya upaya disintegrasi dan perpecahan antara bangsa kita sendiri yang mengakibatkan hilangnya komitmen kebangsaan terhadap integritas dan kesatuan bangsa yang disebabkan oleh dampak negatif globalisasi, kebebasan berpendapat dan ekspresi tanpa batas, yang mengakibatkan munculnya gerakan separatism, radikalisme, konflik ras dan agama yang mengancam kesatuan negara Republik Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) merasa perlu untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan Indonesia dengan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan di negara ini. Menurut NU disintegritas bangsa, gerakan separatisme, radikalisme, konflik ras dan agama ini akan menghancurkan tertib dan struktur sosial yang sudah mapan, sehingga merusak relasi sosial, yang kemudian memunculkan rasa saling curiga dan saling membenci yang berujung pada konflik sosial. Dalam situasi sekarang penguatan komitmen kebangsaan tidak bisa dijalankan dengan cara paksaan apalagi kekerasan tetapi perlu strategi kebudayaan baru untuk menata hubungan sosial dan hubungan antar bangsa berdasarkan kesetaraan dan kesukarelaan, sehingga solidaritas sosial dan solidaritas kebangsaan bisa diwujudkan dengan baik penuh kedamaian, oleh karenanya bagi warga Nandliyin bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan.
Menanggapi bahaya pencaplokan pulau-pulau terpencil oleh negara lain, menurut KH. Chalid Mawardi (mantan Ketua PBNU yang juga mantan Dubes RI untuk Syria) berpendapat bahwa Nahdlatul Ulama (NU) akan berusaha secara maksimal untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dari pencaplokan negara lain, seperti kasus pencaplokan pulau Natuna oleh China, kasus kawasan blok Ambalat yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, menurut Chalid Mawardi untuk menyelesaikan masalah pulau Natuna, blok Ambalat dan Ambalat Timur yang diklaim Malaysia, pemerintah Indonesia sebaiknya menempuh jalur diplomasi bilateral.48 Sedangkan menurut Rozi Munir (mantan Ketua PBNU bagian hubungan luar negeri yang juga mantan Menteri BUMN), bahwa Nahdlatul Ulama (NU) mengharapkan agar diutamakan penyelesaian diplomasi atas masalah tersebut. NU telah terbukti sejak dahulu berupaya mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti yang dilakukan oleh para sesepuh Nahdlatul Ulama (NU) seperti KH. Wahab Hasbullah, KH Munasir, KH. Sullam, dan lainnya. Dalam hal ini, masih menurut Rozy Munir bahwa Nahdlatul Ulama (NU) akan berusaha secara maksimal berperan aktif untuk mempertahankan kedaulatan bangsa ini dari pencaplokan negara lain, seperti kasus kawasan Ambalat yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, maka menurut Nahdlatul Ulama (NU) kawasan blok Ambalat harus dipertahankan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan cara menjalin komunikasi antar ormas dan ulama, baik di Indonesia maupun dari Malaysia. Namun demikian, juga mengingatkan bahwa.
konflik ini sudah melibatkan pihak ketiga, yaitu para perusahaan minyak yang mengeksplorasi kawasan tersebut, oleh karena itulah kedua belah pihak harus berhati-hati agar tidak dimanfaatkan oleh pihak ketiga demi kepentingan mereka untuk memperkaya diri. Berbeda menurut Maksum Zuber mantan Koordinator Barisan Muda Nahdlatul Ulama (BMNU) bahwa dia siap mengamankan kepulauan Indonesia walaupun harus mengerahkan massa, dan dia menghimbau agar pemerintah dan DPR mengambil langkah tegas dengan melayangkan sikap protes ke Kedubes Malaysia di Jakarta untuk menghentikan pencaplokan kawasan blok Ambalat ini.
Prinsip NU (Nahdlatul Ulama) tentang mempertahankan kedaulatan dan keutuhan NKRI adalah prinsip utama bagi umat Islam untuk menjaga keutuhan negara Indonesia pada saat ini. Hal ini semakin penting karena Indonesia tengah menghadapi persoalan serius yaitu kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional, dimana muncul adanya keinginan dari beberapa daerah untuk memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menurut KH. Syaifuddin (Wakil Katib Syuri’ah NU Jawa Timur) pemerintah perlu berupaya untuk penyempurnaan Undang-Undang Otonomi Daerah sehingga aturan tersebut nantinya tidak mengilhami suatu daerah untuk memisahkan diri dari negara nasional dan aturan tersebut dibuat harus didasari atas semangat menjaga kedaulatan, keutuhan NKRI serta untuk memajukan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karenanya menurut NU bahwa konsistensi menjaga persatuan untuk memperkokoh integritas bangsa, keutuhan NKRI dan Pancasila adalah hal yang mendasar bagi rakyat Indonesia secara umum dan bagi warga nahdliyyin secara husus. Karena keutuhan NKRI dan falsafah bangsa “Pancasila” selain telah terbukti mampu menjadi perekat bangsa sejak kemerdekaan hingga sekarang, juga mampu menjadi wadah dakwah Islam Nusantara secara luas. Pertumbuhan muslim di kawasan-kawasan mayoritas non muslim juga semakin meningkat. Namun demikian, di tengah perjalanan sejarah tantangan disintegrasi bangsa terkadang bermunculan, bahkan wacana mendirikan negara di dalam negara terus mengemuka. Sebab itu, internalisasi nilai-nilai kebangsaan, khususnya terkait NKRI dan Pancasila sebagai upaya final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan keharusan.
Berkenaan dengan itu perlu disadari, bahwa penerimaan Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara telah sesuai dengan spirit “Piagam Madinah” yang digagas oleh Rasulullah, yang berhasil menyatukan masyarakat yang plural dalam satu kesatuan negeri Madinah Dari Piagam Madinah dapat diambil spirit, bahwa Nabi Muhammad menyatukan warga yang multi etnis dan multi agama menjadi ummah wāḥidah (satu kesatuan bangsa). Semua warga punya kedudukan yang sederajat, sama-sama berhak mendapatkan jaminan keamanan, melakukan aktivitas ekonomi, mengaktualisasikan agama, sama-sama berkewajiban untuk saling memberi nasehat dan berbuat kebaikan, menjaga keamanan serta integritas Madinah sebagai satu kesatuan negeri menghadapi ancaman dari luar. Oleh karenanya sebagaimana dalam keputusan Keputusan Baḥth al-Masāil Mawḍu’iyyah PWNU Jawa Timur Tentang “Islam Nusantara” di Universitas Negeri Malang pada tanggal 13 Februari 2016, selain anjuran untuk menjaga kedaulatan bangsa dalam bingkai NKRI juga menganjurkan untuk memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural perlu ditanamkan sikap menghargai perbedaan dan menjaga hak antar sesama, di antaranya dengan:
- Menghargai ajaran agama lain.
- Melestarikan budaya dari suku dan agama apa pun selama tidak bertentangan dengan syariat.
- Mengapresiasi kebaikan/kelebihan orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri.
- Menghindari caci-maki terhadap orang lain karena alasan perbedaan.
- Menghindari anggapan menjadi orang yang paling baik dan menganggap orang lain tidak baik, sehingga mengabaikan kewajiban berbuat baik.
- Membiasakan berbuat kebajikan terhadap siapapun.
- Memprioritaskan penanaman nilai-nilai agama secara utuh dan mendalam di lingkungan internal Ahl al-Sunnah wa’l-Jamā’ah.
Nahdlatul Ulama (NU) pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme yang berdasar atas syaria’at Islam alā Ahlu al-sunnah wal al-jamā’ah. Sebelum negara Republik Indonesia merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya, akan tetapi Kiai-Kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Dari rahim NU juga lahir laskar-laskar perjuangan fisik, di kalangan pemuda muncul laskar-laskar ḥizbullāh (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatera Utara 1909, dan di kalangan orang tua sabīlillāh (Jalan menuju Allah) yang di komandoi oleh KH. Masykur. Perjuangan jihad laskar-laskar Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengusir penjajah Belanda sebenarnya adalah tuntunan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan setiap umat-Nya sebagai bentuk manivestasi rasa syukur terhadap Allah SWT yang maha kuasa. Jihad yang dilakukan oleh laskar-laskar Nahdlatul Ulama (NU) ialah jihad membela tanah air, sebagai bentuk cinta tanah air (ḥubb alwaṭan) yang dimaknai sebagai jihad fī sabīlillāh. Karena upaya mempertahankan dan menegakkan negara Republik Indonesia dalam pandangan hukum Islam merupakan bagian dari kewajiban agama yang harus dijalankan umat Islam. Jihad sebagai satu amalan besar dan penting dalam Islam dengan keutamaannya yang sangat banyak sekali tentunya menjadi kewajiban seorang muslim untuk melaksanakanya bila suatu saat diserang oleh orang kafir.
Perjuangan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dengan upaya yang kuat menggerakan para ulama, santri dan umatnya untuk bangkit menghimpun kekuatan melawan pemerintahan asing yang dianggap kafir, merupakan bukti sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan menurut hitungan rasional kemerdekaan negara Indonesia ini tidak akan pernah terwujud, mengingat rakyat Indoneisa pada saat itu merupakan rakyat yang miskin, serba kekurangan, untuk makan saja masih sulit akibat kejamnya penjajahan, demikian juga minimnya persenjataan yang dimiliki oleh pasukan dan relawan pejuang rakyat kita, apabila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh penjajah Belanda. Akan tetapi berkat motivasi para ulama kita termasuknya adalah ulama-ulama NU yang berupaya mentranspormasi gerakan-gerakan yang bersifat spontanitas kepada mekanik atau organik dari doa dan wiridwirid yang diberikan oleh ulama-ulama NU (bisa berupa asmā’, ḥizb, dhikir, ṣalawat dan lain sebagainya) menjadi sebuah sugesti besar pensakralan dan kekuatan besar untuk melawan peperangan melawan penjajah, maka dengan sugesti yang kuat ini perjuangan para ulama bisa menghantarkan kesebuah kemerdekaan berkat rahmat Allah SWT. Prinsip Nahdlatul Ulama (NU) terkait dengan menjaga kedaulatan bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NU menganjurkan untuk senantiasa memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural dengan cara menanamkan sikap menghargai perbedaan lewat komunikasi dialog dalam konteks mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Merespon berkembangnya upaya disintegrasi dan perpecahan antara bangsa kita sendiri yang mengakibatkan hilangnya komitmen kebangsaan terhadap integritas dan kesatuan bangsa yang disebabkan oleh dampak negatif globalisasi, kebebasan berpendapat dan ekspresi tanpa batas, yang mengakibatkan munculnya gerakan separatism, radikalisme, konflik ras dan agama yang mengancam kesatuan negara Republik Indonesia, NU merasa perlu untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan Indonesia dengan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan di negara ini. “Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 No. 2, November 2016, 251-284”
Editor: Dedy TA