
Rasindo group.com – Pembangunan dan pemeliharaan akhlak tadi berpondasi pada hubungan suami istri. Frekuensi kualitas, dan intensitas berkomunikasi antara suamiistri dapat membuka cakrawala yang lebih luas tentang siapa sebenarnya pasangan hidupnya. Suami atau istri haruslah tetap saling mengingatkan pasangan hidupnya agar rumah tangga tetap berjalan pada rel yang benar. Dengan saling terbuka, jujur akan terpupuk sikap saling percaya dan mengenal lebih jauh pasangannya.
Proses komunikasi antar persona antara suami istri dalam suasana dan waktu yang tepat dapat menumbuhkan perasaan aman bagi mereka.
Kominiasi antara suami istri bukanlah sebuah ungkapan kata-kata hanya untuk basa-basi komunikasi yang terjadi juga hendaknya menumbuhkan rasa sayang, perhatian yang mendalam dari kedua pihak sehingga mereka merasa aman dan menyenangi sebuah pertemuan atau komunikasi.
Sulit dipercaya bahwa seorang ibu muda, cantik, berkarir, dan sadar bahwa suaminya sangat mencintainya, masih berselingkuh dengan teman sekantornya, seorang duda. Ibu muda yang berjabatan Kepala Bagian sebuah perusahaan swasta ini berselingkuh dari awal perilaku yang tidak terpikirkan olehnya bahwa kelak akan terjadi selingkuh. Hampir tidak ada kekurangan dari suaminya. Suaminya, sangat mencintai ibu muda itu, secara materi rumah tangganya termasuk dalam kelas menengah ke atas. Suaminya berjabatan direktur sebuah BUMN. Tapi, kenapa sang istri cantik itu berselingkuh? Adakah kelebihan yang dimiliki teman gelapnya yang justru tidak dimiliki sang suami tercintanya? Menurut pengakuan sang ibu, dirinya berselingkuh karena ketidaksengajaan. Dia, di kantor sering menghadapi masalah berkaitan dengan tugasnya sebagai Kepala Bagian. Tatkala masalah ini dia coba diskusikan dengan suaminya di rumah, ternyata suami tercinta menanggapi dengan jawaban sederhana.
Pada sisi lain, kesibukan mereka di kantor mengakibatkan frekuensi dan intensitas berkomunikasi rendah. Dengan jawaban suami yang hampir selalu sama ketika diminta pendapatnya oleh sang istri, membuat ibu cantik ini merasa kesal dan menilai suaminya bukanlah tipe pria yang enak diajak bicara.
Sementara itu, di tempat kerja ibu cantik ini ada seorang pria yang merupakan karyawan bawahannya yang selalu bersedia dan sabar mendengarkan keluhan dan masalah ibu cantik ini. Berawal dari sini, frekuensi dan intensitas komunikasi mereka semakin tinggi, mereka saling merasakan manfaat berkomunikasi yang pada akhirnya saling terbuka dengan masalah privasinya.
Langkah lebih jauh adalah terjalin perselingkuhan sampai pada tahap pergaulan layaknya suami istri. Kita cut cerita ini sampai di sini, perselingkuhan mereka tidak perlu diuraikan lebih jauh (Percikan Iman, Nomor I, Tahun I, 2000).
Contoh di atas beda masalah yang dihadapinya, namun substansinya jelas, bahwa di sana tidak ada keharmonisan rumah tangga. Kasus gugatan cerai atau cerai dan selingkuh banyak kita jumpai di masyarakat. Penyebabnya tentu saja beragam, dan dari keberagaman itu bisa jadi salah satunya karena akhlaq yang tidak baik. Data hasil sensus (saying tahunnya tidak disebutkan) yang menggambarkan angka perceraian di Amerika 48 %, Jerman 35 %, Eropa secara keseluruhan 62 %, dan di negaranegara Islam 20 % (Nasir, 1991: 13).
Membangun dan membina akhlaq mulia berawal dari keluarga. Jika ditarik lebih kecil lagi, maka pembangunan dan pemeliharaan akhlaq tadi berpondasi pada pergaulan suami – istri. Hubungan buruk antara suami – istri dapat berakibat pada lahirnya generasi lemah. Sebab di rumah tangga anakanak ditempa dan dididik oleh orang tuanya. Dapat dibayangkan jika orang tua mereka sering bertengkar, apalagi jika itu terjadi di hadapan anak-anak.
Pertengkaran suami – istri bisa dipersepsi oleh anak sebagai cerminan ketidakharmonisan rumah tangga. Kalau peristiwa ini sering terjadi dan bahkan dijadikan teladan bagi anak, maka entahlah apa jadinya anak tersebut kelak. Jadi, keharmonisan hubungan (pergaulan) suami – istri merupakan salah satu faktor penting dalam membangun dan membina rumah tangga.
Sebagai manusia beragama tentu saja perselingkuhan dan perceraian sangat tidak diinginkan, namun apabila ada seseorang oknum yang mendukung serta merencanakan perceraian tersebut itu di kategorikan sebagai manusia tidak beragama bahkan bisa di nyatakan gangguan jiwa berat. Perselingkuhan adalah perbuatan dosa, sedangkan cerai perbuatan halal untuk manusia yang tidak beragama jika dikaitkan dengan oknum dan juga dibenci Allah SWT. Kita tentu saja tidak ingin dibenci-Nya.
Ketidakharmonisan rumah tangga bisa menghancurkan hubungan suami ± istri, bahkan dengan anak-anak tatkala kasus itu terungkap. Ayah tidak lagi dijadikan teladan oleh istri dan anaknya. Posisi seperti ini tentunya sangat merugikan sang ayah. Begitu pula istri, maka dirinya akan sulit diterima suami dan anaknya.
Dari dua ilustrasi kasus di atas unsur komunikasi turut memberikan kontribusi sebagai penyebabnya. Frekuensi komunikasi yang rendah, intensitasnya yang juga rendah, serta kualitas (menyangkut isi) yang rendah (kasus Alya) dapat menyebabkan kualitas interaksi mereka juga rendah (sempat pisah ranjang 11 bulan). Kesibukan suami dan istri mencari nafkah sangat berpeluang rendahnya frekuensi komunikasi di antara mereka.
Kondisi ini akan lebih parah jika disertai dengan kualitasnya yang juga rendah. Artinya, pembicaraan suami – istri tidak mengarah pada upaya memesrakan hubungan mereka yang harus selalu dijaga. Frekuensi, kualitas, dan intensitas berkomunikasi antara suami – istri dapat membuka cakrawala yang lebih luas tentang siapa sebenarnya pasangan hidupnya. Kesediaan suami istri untuk saling terbuka, membicarakan persoalan dengan kepala dingin, dan saling mengingatkan jika pasangan hidupnya terlihat berbicara, bersikap, dan atau berperilaku mencurigakan adalah upaya positif dalam rangka memelihara akhlaq mereka. Bukankah saling mengingatkan merupakan kewajiban setiap muslim? Ingat surat Al-Ashr, ayat 3.
“Kutip Herman” saya ingin berandai-andai. Seandainya seluruh pasangan suami – istri memahami dan mengerjakan kewajibannya yang berarti pula menerima haknya sesuai ajaran Islam, saya berkeyakinan kehidupan rumah tangga mereka selamat, sakinah. Jika hal ini dapat menjadi kenyataan, maka kehidupan bermasyarakat bahkan bernegara akan tentram.
Persoalannya adalah bagaimana jika salah satu dari pasangan tersebut tidak memahami kewajibannya, apalagi melaksanakannya, sehingga berakibat terjadinya perselingkuhan atau perilaku lainnya yang tidak sesuai ajaran Islam. Ilustrasi ibu cantik pada awal tulisan ini adalah contohnya. Sulitnya suami diajak bicara (berkomunikasi) membawa sang istri mencari teman (orang lain) untuk membicarakan masalah yang dihadapinya.
Sikap suami seperti ini mempersempit bidang terbuka (Johari Window) sekaligus memperlebar bidang yang tidak dikenal.
Suami atau istri yang arif haruslah tetap saling mengingatkan pasangan hidupnya agar rumah tangga tetap berjalan pada rel yang benar. Diskusikan segala persoalan, baik menyangkut urusan pribadi atau pun rumah tangga dengan tidak menonjolkan ke egoisan apa lagi perdebatan, karena orang pintar belum tentu bijak dan juga orang bijak belum tentu memiliki akhlak.
Dengan saling terbuka, jujur akan terpupuk sikap saling percaya dan mengenal lebih jauh pasangannya. Untuk itu diperlukan jiwa besar untuk mengungkapkan siapa sebenarnya diri mereka kepada pasangan hidupnya lewat aktivitas komunikasi.
Proses komunikasi antarpersona antara suami – istri dalam suasana dan waktu yang tepat dapat menumbuhkan perasaan aman bagi mereka.
Komunikasi antara suami – istri bukanlah sebuah ungkapan kata-kata hanya untuk basa-basi. Komunikasi yang terjadi juga hendaknya menumbuhkan rasa sayang, perhatian yang mendalam dari kedua pihak sehingga mereka merasa aman dan menyenangi sebuah pertemuan atau komunikasi.
Pasangan suami – istri haruslah menyadari bahwa di antara mereka banyak perbedaan. Proses timbal balik akan meningkatkan pemahaman masing-masing. Paham bahwa suami – istri memang berbeda, sadar bahwa salah satu tidak bisa menjadi diri yang lainnya, dan teruslah berupaya mencari kompromi-kompromi untuk menemukan peluang atau titik di mana mereka dapat bersinerji guna menyatukan perbedaan tadi agar menjadi kekuatan guna mewujudkan cita-cita suci sebuah pernikahan.
Keterbukaan suami – istri memang penting. Tapi hal itu perlu dukungan suasana di mana komunikasi mereka berlangsung. Pemrakarsa komunikasi hendaklah cermat dan bijak ketika hendak menyampaikan sesuatu yang sifatnya agak sensitif kepada pasangan hidupnya. Perhatikan suasana sekitar, terutama anak-anak. Jangan sampai anak mendengarkan percakapan orang tua yang tidak seharusnya mereka tahu. Apalagi sebuah petengkaran.
Suasana ketika makan malam adalah salah satu waktu yang baik untuk berbincang dengan anggota keluarga. Khususnya, menyangkut materi yang bersifat umum dan ringan, dan bukan membincangkan problem orang tua.
Jagalah perasaan orang lain yang bermasalah. Untuk membahas atau menyampaikan nasihat kepada anggota keluarga, pilihlah waktu dan tempat yang kondusif bagi kedua pihak.
Persoalan suami – istri masuk kategori sangat pribadi. Maka agar persoalan mereka tidak tersebar ke luar rumah, upayakan membahasnya tidak didengar pihak ketiga.
Waktu yang dinilai baik dalam membicarakan masalah suami – istri adalah di tempat yang memiliki tingkat privasi tinggi yaitu kamar tidur dalam waktu di mana anak-anak tidak ada di rumah atau telah terlelap tidur.
Suasana hening di waktu malam akan menumbuhkan sikap kehati-hatian dalam mengeluarkan suara. Di kamar tidur, mereka dapat berbicara dalam jarak yang sangat dekat, intim, dan mesra sebagai ungkapan bahwa sesungguhnya mereka masih saling membutuhkan dalam membina rumah tangga dan masa depan anak-anak. Mulailah perbincangan dengan hati yang lembut penuh kasih sayang. Tunjukkan sikap empati dan simpati kepada pasangan hidup yang pada saat itu bermasalah. Usapan tangan sebagai ungkapan kasih sayang secara nonverbal merupakan awal diskusi yang baik. Hilangkan rasa canggung untuk berperilaku mesra meskipun tengah bermasalah. Suami – istri bukanlah dua manusia yang harus menjaga jarak dalam bergaul di rumah. Dalam suasana mesra seperti itu, mereka akan saling menjaga perkataan yang mungkin dapat mempertajam masalah. Berbesar hatilah untuk meminta maaf pada pasangan hidup, dan berikanlah maaf kepadanya.”kutip maman s”
Editor: Dedy TA