
Rasindo group.com – Sumber dari : JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES VOL. 1 NO. 2 JULI-DESEMBER 2017.
Mayoritas penduduk Muslim di Indonesia sejak lama menganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama’ah atau lebih sering disingkat Ahlus-Sunnah, atau sama saja dengan Sunni adalah firkah Muslim terbesar yang disebut dengan Ahlus-Sunnah wal Jama’ah atau golongan yang menjalankan sunah Nabi Muhammad dengan penekanan pada peneladanan peri kehidupan Muhammad, meskipun ada pendapat sejarawan bahwa kaum Syiah ikut berperan dalam pengembangkan Islam di Nusantara. Ulama-ulama yang mengembangkan Islam di kawasan ini merupakan ulama-sufi yang berafiliasi dengan mazhab Sunni Sebagian masyarakat Muslim Indonesia merupakan pengikut organisasi Al Jam’iyatul Washliyah Muhammadiyah.
Indonesia sebagai negara Pancasila yang menjamin kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinan umat beragama memungkinkan berbagai mazhab, kepercayaan, dan agama yang diakui di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang. Keberadaan aliran-aliran minoritas terus tumbuh dan berkembang di tengah kelompok Sunni yang merupakan kelompok mayoritas di Indonesia.
Menurut media massa, aliran yang dinilai sesat telah lebih dari 250 aliran, dan 50 aliran diantaranya berkembang di Jawa.
Berbagai organisasi Islam seperti Al Washliyah, Muhammadiyah , NU, dan MUI ditambah para ulama secara individu telah banyak menghabiskan waktu untuk meluruskan dan mengatasi masalah ini. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama telah turun tangan mengatasinya. SBY telah menyatakan dukungannya terhadap fatwa-fatwa MUI dan menyatakan bahwa fatwa agama hanya dapat dikeluarkan oleh MUI. Karena itu, tanggung jawab MUI dan para ulama khususnya serta pemerintah dan masyarakat umumnya semakin besar dalam masalah ini.
Jika selama ini, MUI dan para ulama mengurusi dan mengeluarkan fatwa terhadap berbagai aliran sesat berdasarkan tanggung jawab sebagai ulama memelihara dan menjaga kesucian agama dan memelihara akidah umat, maka ke depan, MUI dan para ulama mengurusi aliran dan paham sempalan juga menjadi tanggung jawab membangun bangsa.
Artikel ini akan mengkaji keberadaan aliran minoritas di kalangan mayoritas Sunni di Indonesia. Secara khusus, artikel ini mengkaji aliran minoritas yang dinilai menyimpang di Indonesia, baik dalam sekala lokal, nasional, dan internasional, dan respons MUI terhadap aliran menyimpang di Indonesia.
MUI dan Aliran Sesat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Pendirian MUI adalah sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu‘ama di Indonesia. Mereka terdiri atas dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia. Sepuluh orang diantaranya mewakili unsur dari ormasormas Islam tingkat nasional seperti Al Washliyah, NU, Syarikat Islam, Perti, Mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al-Ittihadiyyah. Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia, dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI. Pertama, sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (warasat al-anbiyâ’), sebagai pemberi fatwa (mufti), sebagai pembimbing dan pelayan umat (riwâyat wa khadim al-ummah), sebagai gerakan islah wa altajdîd, dan sebagai penegak amar makruf dan nahi mungkar. Di antara Ketua Umum MUI adalah Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie, KH. M. Sahal Mahfudh, Prof. Dien Syamsuddin, dan KH. Ma’ruf Amien. Mereka merupakan ulama yang berasal dari Muhammadiyah Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si. Ketua Umum Muhammadiyah periode 2015-2020. Di internal Muhammadiyah, dan terutama di kalangan aktivis IMM, nama Haedar Nashir sudah sangat dikenal. Ia pernah menjadi sekretaris ketika Ahmad Syafii Maarif menjabat ketua umum dan Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi non-pemerintah Islam terbesar di Indonesia. MUI didukung dan diwakili oleh organisasi-organisasi Islam lainnya seperti Al Washliyah, Persis, Perti, dan Nahdlatul Wathan. 4 Dalam konteks aliran sesat, MUI Pusat mengeluarkan Pedoman Identifikasi Aliran Sesat pada tanggal 6 Nopember 2007. Dalam pedoman ini ditetapkan 10 kriteria aliran sesat. Pertama, mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam. Kedua, meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar‘i. Ketiga, meyakini turunnya wahyu sesudah Alquran. Kempat, mengingkari kebenaran dan kebenaran isi Alquran. Kelima, melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Keenam, mengingkari kedudukan Hadis Nabi Muhammad SAW sebagai sumber ajaran Islam. Ketujuh, menghina, melecehkan dan merendahkan para Nabi dan Rasul. Kedelapan, mengingkari Nabi Muhammad SAW. sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Kesembilan, mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti haji tidak ke Baitullah, salat fardu tidak lima waktu. Kesepuluh, mengkafirkan sesame Muslim tanpa dalil syar‘i, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Adapun kriteria kufur sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Hushûn al-Hamidiyah li al-Muhâfazah ‘ala al-‘Aqâ‘id al-Islâmiyyah, karya Husein Ibn Muhammad al-Jasr at-Tharablusy pada halaman 9 dan 10 adalah seperti sujud kepada berhala dengan kehendak sendiri, menghina sesuatu yang dimuliakan agama seperti Alquran, Hadis Rasul, hukum syariat, para Rasul, nama-nama Allah yang mulia, sifat-sifat-Nya, perintah dan larangan-Nya, kewajibankewajiban Agama, seperti salat dan haji, memaki salah satu dari hal tersebut, mengucapkan kalimat kufur, dan hal-hal yang menyerupainya.
Sesungguhnya hal ini dan sesuatu yang menyerupainya bertentangan dengan iman dan pelakunya dihukum kafir. Demikian juga apabila seseorang mendustakan nas-nas syariat yang benar datangnya dari Rasul secara yakin, seperti ayat-ayat Alquran dan hadishadis mutawatir. Demikian juga menghalalkan sesuatu yang haram, yang keharamannya dalam syariat secara qath‘i, seperti membunuh, zina, dan hal-hal seumpamanya. Orang yang melakukan hal demikian, telah mencederai kebenaran imannya dan kepatuhan Islamnya dan telah berbuat sesuatu yang membatalkan keduanya.
Ia dihukum kafir secara syariat dan setiap orang yang kafir, wajib segera memperbaharui iman dan Islamnya dan bertaubat dari perbuatannya. Jika ia tidak bertaubat, dia pantas dihukum mati di dunia dan kekal di dalam neraka di akhirat.
MUI Pusat telah mengeluarkan fatwa tentang sejumlah aliran yang dinilai sesat di Indonesia. Di antaranya adalah fatwa aliran al-Qiyadah al-Islamiyah, fatwa aliran Ahmadiyah, fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, fatwa tentang Darul Arqam, fatwa paham Syiah, fatwa tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia, dan fatwa Islam Jama’ah.6 Tidak bisa disangkal, fatwa-fatwa MUI mendapatkan tantangan dan kritikan dari penggiat hak asasi manusia (HAM) dan kelompok-kelompok liberal di Indonesia. Di antara aliran-aliran tersebut berskala lokal, nasional, dan internasional.
Aliran Minoritas Muslim Berskala Lokal
Masyarakat Muslim Indonesia tersebar di berbagai pulau yang ada di Indonesia, antara lain pulau Sumatera dan Jawa. Dalam konteks ini, aliran sesat ditemukan di kedua wilayah. Di antara aliran sesat berskala lokal adalah paham Yusman Roy dari Pesantren itikaf dari Malang yang mengajarkan dan mempraktikkan bersama santrinya sejak beberapa tahun bahwa bacaan salat harus disertai dengan terjemah bahasa Indonesia, Ia mengklaim paham ini diterimanya dari Tuhan. Ia bersikukuh agar pahamnya ini diterima Departemen Agama Republik Indonesia.
Selain itu, di Tangerang, ada Pengajian Nurul Yaqin yang gurunya mengaku berjumpa langsung dengan Tuhan lewat mikraj. Rumahnya dibakar massa. Di Sulawesi pernah muncul seorang yang mengatakan bacaan salat dengan bersiul. Beberapa waktu lalu pernah muncul paham bahwa salat harus langsung ke tanah, tidak boleh berlapis, seperti papan dan tegel. Anehnya, menurut penganjur paham ini, boleh salat dengan memakai sandal dan sepatu.
Ada juga yang mengatakan bahwa salat tidak wajib dalam Alquran, Salat menurutnya diwajibkan Imam Syâfi‘i melalui kaedah usul fikihnya.
Di Sumatera Selatan, sejumlah aliran menyimpang telah tumbuh dan berkembang, di antaranya, seorang oknum Kepala SD di Kabupaten Bungo, Jambi mengaku nabi dan rasul terakhir diutus Allah sesudah Nabi Muhammad SAW, Anehnya dani yang oleh keluarganya disebut sakit jiwa menyampaikan pengakuannya kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sekaligus meminta pengesahan keberadaannya secara yuridis formal, Menurutnya manusia pada umumnya menunggu kehadirannya, bahkan umat internasional, Sedangkan wahyu yang didapatnya semua berasal dari Alquran.
Di Sumatera Utara, cukup banyak aliran menyimpang yang tumbuh, di antaranya adalah Soul Training, sebuah kelompok yang mengklaim telah melakukan penelitian, Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak meninggalkan apapun kecuali Alquran, Mereka mengklaim tidak ada salat tarawih/qiyam al-lail, Paham ini termasuk Inkar Sunnah, Karena itu, MUI Kabupaten Deli Serdang menfatwakannya sebagai paham sesat, Soul Taraining sudah dilarang oleh Pemerintah Serdang Bedagai.
Selain itu, ada juga aliran yang bernama aliran al-Haq di Pematangsiantar, Sumatera Utara, aliran ini merupakan aliran yang mengajarkan kepada pengikutnya secara rahasia, Begitu rahasianya sehingga antara sesama anggota pun tidak boleh saling mengenal, Alquran tidak diajarkan secara menyeluruh melainkan hanya bagian-bagian saja dan tidak ditafsirkan secara tekstual, tetapi secara umum dan tidak memakai Hadis, aliran ini menekankan pengorbanan, orang yang tidak ikut dalam aliran ini adalah musuh sekalipun keluarga, karena ajaran ini bertentangan dengan ajaran Islam, MUI Pematangsiantar menfatwakan aliran ini sebagai aliran sesat dan menyesatkan.
Satu pengajian di Langkat mengajarkan perubahan bacaan ayat-ayat Alquran, misalnya, Iyyâka na‘budu wa iyyâka nasta‘în menjadi iyyâka a‘budu wa iyyâka asta‘in, Qulwuwallâhu ahad menjadi huwallâhu ahad saja, Karena mengajarkan hal aneh dan mengubah-ubah nas Alquran, MUI Kabupaten Langkat menfatwakan paham ini sebagai paham sesat.
Selain itu, Pengajian Ismayani dan pengikutnya di Sentang, Kisaran difatwakan sesat oleh MUI Asahan, Di antara ajarannya adalah salat dan puasa waktu haid boleh dikerjakan, mendapat petunjuk atau ilham, jin tidak punya agama (kafir) tetapi selalu berzikir, bidadari adalah perempuan, sedang malaikat adalah laki-laki.
Kemudian, ajaran H. Mahmuddin Rangkuti di Mandailing Natal mengenai adanya nama Tuhan sebelum Allah, adanya keyakinan bahwa gambar seseorang dapat memberikan manfaat atau mudrat, adanya lukisan Nabi Muhammad, dan adanya amalan yang disebut qulhuwallâh sungsang, Karena ajarannya yang menyimpang ini, MUI Kabupaten Mandailing Natal memfatwakannya sesat dan menyesatkan.
Selain itu, ajaran yang menggantungkan sahnya syahadat seseorang kepada kesaksian orang tertentu. Tanpa kesaksiannya dan jabatan tangan dengannya, seorang yang bersyahadat belum Islam. Orang yang diajaknya menyaksikan syahadatnya kepada orang tersebut menolak sampai tiga kali, orang itu dianggap musuh. Walaupun ini belum difatwakan sesat, akan tetapi kesesatannya jelas.
Kemudian, ajaran Rudi Chairuddin di Desa Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai difatwakan sesat oleh MUI Kabupaten Sergei pada tanggal 21 Mei 2013, di antara ajarannya adalah mengubah syahadat menjadi “asyhadu an lâ ilâha illallâh wa asyhadu anna Chairuddin rasûlullah”, selain itu, aliran ini merubah bahasa Alquran dengan bahasa Indonesia. Aliran ini juga merubah tatacara salat (salat hanya berdiri, lalu sujud, tanpa gerakan lainnya, salat dengan bahasa Indonesia tetapi bukan terjemahan dari bacaanbacaan salat, dan salat dilakukan tanpa takbir dan salam).
Pengajian Ar-Rahman di Desa Sambirejo Timur, Kabupaten Deli Serdang difatwakan sesat oleh MUI Sumatera Utara, di antara ajarannya yang termuat dalam diktat pedoman pengajiannya. Pertama, menyatakan bahwa al-Fâtihah diturunkan Allah Ta‘ala kepada nabi-nabi. Kedua, al-Fâtihah menjadi anggota tubuh, Ketiga, menafsirkan qalam dengan zakar (kemaluan laki-laki) dan Pintu Kakbah dengan faraj (kemaluan perempuan) serta dengan air mani disebut manikam. Keempat, Tuhan = manusia secara syariat yang mendapat risalah rasul dan kewalian.
Pengajian tarekat Syaikh Muda Ahmad Arifin di Pangkalan Masyhur, Medan, Sumatera Utara, Syekh Muda Ahmad Arifin membangsakan dirinya kepada tarekat Sammaniah, Ia mengajarkan bahwa zakat harta harus diserahkan kepada guru yang memperkenalkan Allah kepadanya, Menurutnya boleh melakukan nikah mut‘ah/ sirri tanpa wali dan saksi. Menurutnya, pencipta tubuh manusia adalah malaikat atas perintah Allah, karena tidak mungkin Allah memegang tanah sehingga tangannya akan menjadi kotor, Karena itu pahamnya ini difatwakan oleh MUI Sumatera Utara sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam.
Ajaran yang terdapat di Dokumen Surah Buya yang diajarkan oleh Isfan Tarman Zuhri di Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Pengajian ini mengajarkan bahwa kiamat hanya terjadi pada diri dan tidak terjadi pada alam semesta, Kata Allah terbagi kepada alif, lam, lam, dan ha. “Alif” adalah batang tubuh manusia, “lam” hati manusia, “lam” (kedua) ruh manusia dan ha Tuhan. Untuk mengenal Zat Tuhan adalah dengan zat diri (ruh) manusia sendiri, Karen zat diri manusia adalah bagian dari Zat Tuhan, doa anak saleh adalah doa para nabi dan wali, jasad sudah Islam sejak dalam rahim ibu, tapi ruh masih kafir, tugas malaikat maut hanya mencabut ruh yang kafir, dan seluruh dosa yang ada disetujui Tuhan untuk dihapuskan ruhnya itu sendiri, Ajaran ini difatwakan oleh MUI Kabupaten Batu Bara pada tanggal 24 Februari 2014 M sebagai ajaran sesat dan menyesatkan.
Beberapa aliran menyimpang lainnya adalah ajaran N. Yunus AS yang berdomisili di Tembung, Deli Serdang. Ia mengaku dibedah dadanya, lalu israk mikraj untuk berjumpa dengan Tuhan, dan menerima 70 ayat suci dan dihimpun dalam sebuah kitab suci bernama Stanbol. Ia salat hanya pagi dan sore.
Di Langkat, Suhedi memimpin jemaahnya zikir dari jam 19.00 sampai jam 04.00 pagi. Ia juga meminta jemaahnya agar membacakan surah al-Fâtihah 3 kali dihadiahkan baginya sebelum tidur.
Di Medan, ada yang mengajarkan bahwa syahadah tidak sah sebelum disaksikannya. Ajaran ini adalah sesat, baik yang mengajarkannya atas nama tarekat atau tidak. Syahadah yang diucapkan seseorang tanpa didengar atau dilihat siapa pun adalah sah, cukup Allah yang menyaksikannya. Demikian juga tidak sedikit buku yang beredar sekarang ini sebenarnya mengemukakan paham sesat. Misalnya, buku yang berjudul Ternyata Akhirat tidak Kekal oleh Agus Mustafa dan buku Indahnya Kawin Sesama Jenis karya enam orang mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi Islam. Di Medan juga pengajian salafi paham Ibn Taimiyah meresahkan, terutama orang tua. Sebab, pengajian ini memandang semua paham adalah salah, selain paham Ibn Taimiyah sehingga terjadi keretakan hubungan antara anak yang masuk pengajian ini dengan orang tuanya.
Aliran Minoritas Muslim Berskala Nasional
Dalam skala nasional, ditemukan beberapa aliran sesat yang difatwakan oleh MUI Pusat, antara lain Islam Jama’ah, Darul Arqam, Inkar Sunnah, paham Lia Eden, dan al-Qiyadah al-Islamiyah.
Pertama, aliran Islam Jama‘ah. MUI Pusat menyatakan bahwa ajaran Islam Jama‘ah, Darul Hadits (atau apa pun nama yang dipakainya) adalah ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan penyiarannya itu memancingmancing timbulnya keresahan yang akan mengganggu kestabilan negara. MUI menyerukan agar umat Islam berusaha mengajak mereka yang tersesat untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang murni dengan dasar niat dan keinginan menyelamatkan sesama hamba Allah yang telah memilih Islam sebagai agamanya dari kemurkaan Allah SWT. Dalam Fikih Indonesia: Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, fatwa nomor: 07 /Fatwa/MUI-DKI/II/2000 ini merupakan penyempurnaan atas fatwa MUI DKI Jakarta tanggal 16 Juli 1975 M, bahwa LDII adalah sebuah organisasi yang meneruskan dan mengembangkan ajaran-ajaran Islam Jama‘ah yang telah dilarang oleh pemerintah (Kejaksaan Agung RI) melalui surat keputusan No. Kep. 089/DA/10/1971 tanggal 29 Oktober 1971, karena ajaran dan doktrin-doktrinnya yang dapat menyesatkan umat.
Kedua, aliran al-Qiyadah al-Islamiyah. Aliran ini dipimpin oleh Ahmad Mushaddeq yang mengajarkan adanya nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Ahmad Mushaddeq memproklamirkan diri menjadi nabi pada tanggal 23 Juli 2006 di Bogor. Untuk maksud ini, dua kalimah syahadah diubah menjadi, Asyhadu allâ ilâha illallâh wa asyhadu ana Masihal Mau‘udar rasûlullah. Karena penyimpangan ini, al-Qiyadah al-Islamiyah difatwakan MUI Pusat sebagai aliran sesat. Putusan MUI tersebut adalah:
Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang mengajarkan ajaran, antara lain adanya syahadat baru, yang berbunyi: “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih al- Mau’ud Rasul Allah”; adanya nabi/rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW.; belum mewajibkan salat, puasa dan haji, adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah tersebut adalah sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam, dan orang yang mengikuti ajaran tersebut adalah murtad (keluar dari Islam). Bagi mereka yang terlanjur mengikuti ajaran alQiyadah al-Islamiyah supaya bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al-ruju’ ila alhaq). Ajaran aliran al-Qiyadah al-Islamiyah telah terbukti menodai dan mencemari agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dengan mengatasnamakan Islam. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham dan ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah, menutup semua tempat kegiatan serta menindak tegas pimpinan aliran tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah juga mengajarkan tidak wajib salat lima waktu, zakat, puasa, dan haji. Menurut mereka, buruknya keadaan sekarang ini menunjukkan bahwa Islam sedang berada pada periode Makkah. Menurut Ahmad Mushaddeq, manusia harus meneladani Nabi Muhammad. Nabi Muhammad – katanya – hanya melakukan salat pagi dan sore serta qiyam al-lail. Qiyam al-lail dan salat pagi dan sore wajib. Siapa yang tidak melaksanakannya, wajib bayar kaffarat (tebusan) dengan terlebih dahulu mengisi formulir. Kemudian, wajib menyerahkan uang tebusan sejumlah yang ditentukan oleh petugas. Orang yang tidak melakukan mitsaq (bai‘at) tidak Islam. Orang yang tidak masuk ke dalam al-Qiyadah adalah orang Jahiliyah. Karena meneladani Nabi Muhammad SAW., dakwah al-Qiyadah juga melalui tahapan, yaitu fasesirrun (sembunyi-sembunyi), fasejahrun (terang-terangan), fase qital (perang), fase futuh (kemenangan), dan fase khilafah (mendirikan negara Islam). Aliran ini juga mengajarkan bahwa Nabi Adam bukan manusia pertama. Dosa besar adalah zina akidah.Rûh al-Qudus yang turun kepada Musa, Isa, dan Muhammad, itu jugalah yang turun kepada Ahmad Mushaddeq. Rûh al-Qudus artinya firman Allah. Nabi Isa dalam arti jasad dan darah tidak naik ke langit. Yang naik adalah Rûh al-Qudus. Sekarang turun kembali kepada Nabi yang baru. Ahmad Mushaddeq berkata, “Tugas Saudara sekarang mencari kepada siapa ûh al-Qudus turun hari ini, maka kepada dialah hari ini seharusnya bersyahadat, yaitu al-Masih Al-Mau‘ud. Kalau hari ini Saudara percaya kepada aku, berarti akulah hari ini al-Masih al-Mau‘ud yang dijanjikan itu.” Menurutnya, ada empat tanda pada al-Masih. Pertama, mendapat Rûh al-Qudus (Yohanes 14: 25). Kedua, mendapat mimpi (Yoel 2: 28-29). Ketiga, menjadikan terang dunia (Wahyu 18: 1, Yesaya 60: 1, 10). Keempat, menjadi utusan Allah =(Amos 3: 7). Dengan demikian, Rûh al-Qudus telah berkali-kali turun, yaitu kepada Musa, Zadekiah, Yesus, Muhammad, dan al-Masih.
Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah kemudian menjelma menjadi aliran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Inti aliran ini adalah meyakini keberadaan pembawa risalah dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagai mesias dan juru selamat, yaitu Ahmad Musadeq alias Abdus Salam Messi; mengingkari kewajiban salat lima waktu, puasa Ramadan, dan haji; mencampuradukkan (sinkretisme) antara ajaran Islam, Yahudi dan Nasrani dengan menafsirkan ayat-ayat al-Quran tidak sesuai dengan kaidah tafsir. MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 6 Tahun 2016 tentang Aliran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) bahwa “aliran Gafatar adalah sesat dan menyesatkan.” MUI juga mengeluarkan empat rekomendasi terkait aliran Gafatar ini. “Pertama, para ulama diminta memberikan pembinaan dan pembimbingan terhadap para pengurus, pengikut, dan simpatisan eks Gafatar. Kedua, pemerintah diminta untuk tetap menjamin hak keperdataan dari para pengikut, anggota dan pengurus Gafatar.Ketiga, umat Islam dihimbau dapat menerima kembali para pengikut, anggota dan pengurus Gafatar yang mau bertaubat.Keempat,masyarakat diminta senantiasa mengawasi penyebaran ajaran menyimpang dan melaporkan kepada yang berwenang, serta tidak melakukan langkah-langkah anarkis.”
Ketiga, paham Lia Eden yang mengaku berteman dengan Jibril dan membangun agama Salamullah. Karena klaim berteman dengan Jibril, sedang tugas Jibril menyampaikan wahyu kepada para rasul, maka ia difatwakan sesat. Ia juga mengaku menerima berita langit yang termuat dalam buku sucinya, al-Hira dalam bahasa Indonesia. Ia mengaku Mahdi wanita di Indonesia dan mengaku Nabi. Menurutnya, membakar semua bulu adalah taubat yang membuat seseorang bersih menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan. Namun ia tetap mengaku Islam. Perbuatan ini adalah penistaan terhadap Islam. Karena itu, Lia Eden dihukum penjara dua tahun.
Pada tanggal 22 Desember 1997, MUI telah mengeluarkan fatwa tentang ajaran Salamullah. MUI memutuskan:
Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada keterangan atau penjelasan dari wahyu (Alquran dan Hadis). Tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaiakt Jibril bertentangan dengan Alquran. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang sesat dan meyesatkan.
Keempat,paham Inkar Sunnah yang berarti menolak keberadaan Hadis sebagai sumber ajaran Islam. Kelompok Inkar Sunnah hanya berpegang kepada Alquran. Karena tidak percaya kepada Hadis, mereka menafsirkan ayat-ayat Alquran menurut kehendaknya. Di Jakarta, kelompok ini memutuskan salat lima kali sehari semalam dua-dua rakaat tanpa azan dan iqamat. Mereka juga difatwakan oleh MUI Pusat sebagai aliran sesat. MUI memfatwakan bahwa “aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum syariat Islam, adalah sesat menyesatkan dan berada di luar agama Islam. Kepada rnereka yang secara sadar atau tidak, telah mengikuti aliran tersebut agar segera bertaubat.” MUI menyerukan bahwa “menyerukan kepada umat Islam untuk tidak terpengaruh dengan aliran yang sesat itu. Mengharapkan kepada para Ulama untuk memberikan bimbingan dan petunjuk bagi mereka yang ingin bertobat. Meminta dengan sangat kepada pemerintah agar mengambil tindakan tegas berupa larangan terhadap aliran yang tidak mempercayai Hadis Nabi Muhammad SAW. sebagai sumber syariat Islam.”
Kelima, paham Jaringan Islam Liberal (JIL) yang inti ajarannya adalah semua agama sama, tidak ada hukum dalam Islam, yang ada hanyalah ijtihad (pendapat) ulama, dan Nabi Muhammad manusia biasa. MUI Pusat telah mengeluarkan fatwa tentang pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama. Pluralisme agama memandang semua agama sama dan penganutnya semua masuk surga. Sekularisme agama adalah paham yang memisahkan antara urusan dunia dari agama. Liberalisme agama memahami nasnas Alquran dan Hadis berdasarkan pikiran bebas. Ketiga isme ini difatwakan MUI Pusat sebagai paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam dan haram mengikutinya. Pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426, bertepatan dengan tanggal 28 Juli 2005, MUI Pusat telah mengeluarkan fatwa tentang pluralisme, sekularisme dan liberalisme sebagai berikut:
Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama..adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalism agama. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Bagi masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Meskipun MUI telah mengeluarkan fatwa tentang pluralisme, sekularisme, dan liberalisme, namun pemikiran kelompok JIL terus berkembang dan meraih dukungan dari perguruan tinggi agama Islam di Indonesia. Di antara tokoh yang mengembangkan paham Islam Liberal adalah Nurcholish Madjid, Gus Dur, M. Dawam Rahardjo, Ulil Abshar Abdalla, Zainun Kamal, dan Siti Musdah Mulia. Mereka telah menghasilkan banyak karya yang memang memberikan pengaruh terhadap generasi muda di Indonesia.
Keenam, aliran Darul Arqam yang didirikan oleh Ashari Muhammad yang merupakan alumi Ma‘had Hishamuddin di Klang, Selangor, Malaysia. Ajaran ini menyatakan bahwa aurad Muhammadiyah Darul Arqam diterima secara langsung oleh Syekh Suhaemi, tokoh Darul Arqam, dari Rasulullah SAW. Di Kakbah dalam keadaan terjaga. Inti dari aliran Darul Arqam adalah aurad Muhammadiyah. MUI memutuskan “ajaran Darul Arqam adalah ajaran yang menyimpang dari akidah Islam.”
Aliran Minoritas Muslim Berskala Internasional
Selain aliran yang bersifat lokal dan nasional, beberapa aliran yang berskala internasional, karena tumbuh dan berkembang di luar negeri, muncul di Indonesia. Di antaranya adalah Ahmadiyah dan Syiah. Ketimbang aliran yang bersifat lokal dan nasional, kedua aliran tersebut mendapatkan dukungan dari luar negeri, baik moril dan materil, yang akhirnya membuat pertumbuhan dan perkembangannya di Indonesia semakin terasa.
Pertama, Ahmadiyah Qadian yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di Qadian, India. Ia menulis sejumlah buku, di antaranya adalah al-Istifta’, Maktub Ahmad, dan Mawahib al-Rahman. Dalam buku-buku ini, ia mengaku Mujaddid, Mahdi, Nabi, dan Rasul. Ia mengaku bahwa Jibril datang kepadanya dan ia menerima wahyu dari Tuhan. Kumpulan wahyunya adalah kitab Tazkirah yang jauh lebih tebal dari Alquran. Ia mengaku satu kali tiga ratus ribu mukjizah dan kali yang lain lebih satu juta. Di antara mukjizatnya adalah bahwa siapa yang memusuhinya akan mati, ia akan hidup lebih 80 tahun, ia akan kawin dengan seorang perempuan cantik, Muhammadi Begam, dan kepandaiannya menulis buku dalam bahasa Arab, sedangkan ia bukan orang Arab. Ternyata ia meninggal dalam usia 70 tahun, tidak jadi kawin dengan Muhammadi Begam, dan orang-orang yang memusuhinya dari dulu sampai sekarang tidak mati. Kemampuannya menulis dalam bahasa Arab benar, tetapi tidaklah ini dapat dipandang sebagai mukjizat, karena ini adalah hal biasa. Orang yang mengaku Nabi di zaman Nabi dan sahabat hukumnya dibunuh karena dihukum sebagai murtad.
MUI dalam Munas II yang berlangsung tanggal 26 Mei sampai 1 Juni 1980 di Jakarta menfatwakan tentang jamaah Ahmadiyah, sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalam sembilan buku tentang Ahmadiyah sebagai jamaah di luar Islam, sesat dan meyesatkan. Fatwa ini diperkuat lagi dengan Fatwa Munas VII MUI tanggal 28 Juli 2005 di Jakarta bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya murtad (keluar dari Islam). Pertama, menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan,serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Kedua, bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju‘ ila al-haqq), yang sejalan dengan Alqruan dan Hadis. Ketiga, pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
Sejak masuk ke Indonesia pada tahun 1926, Ahmadiyah menuai protes dari umat Islam di Indonesia di tahun 1930. Pasca Reformasi, beberapa kasus penyerangan umat Islam ke komunitas Ahmadiyah terus terjadi. Misalnya, kasus penyerangan warga Ahmadiyah di Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Jumat 13 Juli 2012. Sebagai akibat dari konflik antara masyarakat Muslim dan jamaah Ahmadiyah di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 3/2008 No. Kep 033/a/ja/2008 dan No. 199 Tahun 2008 yang diharapkan dapat terciptanya kerukunan antara umat beragama. Akibat tidak mematuhi SKB 3 Menteri terkait jamaah Ahmadiyah, Menteri Agama RI Surya Dharma Ali meminta jamaah Ahmadiyah membentuk agama sendiri. Pada tahun 2016, kembali terjadi kekerasan dan pengusiran terhadap warga Ahmadiyah di Kabupaten Bangka. Pada tahun 2017, sejumlah organisasi Islam di Kota Depok menolak keberadaan masjid Ahmadiyah yang bernama Masjid al-Hidayah yang terlatak di Sawangan Baru, Sawangan, Depok. Pemerintah Kota Depok diminta membubarkan kegiatan Ahmadiyah di Depok.
Kedua, Syiah Imamiyah yang merupakan aliran Syiah yang masih eksis dan berkembang sampat saat ini. Pusat aliran ini berada di Republik Islam Iran, dan memiliki banyak pengikut di Irak, Suriah, dan Libanon.
Majelis Ulama Indonesia telah memberikan rekomendasi mengenai status mazhab Syiah di Indonesia. Dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 M, MUI menghimbau “kepada umat Islam Indonesia yang berpaham Ahlussunnahwaljamaah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya paham yang didasarkan atas ajaran Syiah.” MUI menyatakan bahwa “paham Syiah sebagai salah satu paham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaanperbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlussunnahwaljamaah) yang dianut oleh umat Islam Indonesia.” Menurut MUI, perbedaan antara Sunni dan Syiah adalah:
Syiah memandang “Imam” ituma ‘sum (orang suci), sedangkan ahlussunnah wal jamaah adalah komunitas atau sekelompok orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan). Syiah tidak mengakui ijmak tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlussunnahwaljamaah (Sunni) mengakui ijmak tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”. Syiah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imâmah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlussunnahwaljamaah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan ke-imâmah-an adalah untuk menjamin dan melindungi dakwah dan kepentingan umat, termasuk juga imam di dalam keluarga ialah kepala keluarga. Syiah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar al-Siddîq, ‘Umar Ibn al-Khaththâb, dan ‘Utsmân bin ‘Affân, sedangkan Ahlussunnahwaljamaah mengakui keempat Khulafâ’ Rasyîdîn (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Ali bin Abi Thâlib).
Keberadaan pemeluk mazhab Sunni memang mulai memunculkan reaksi dari komunitas Sunni di Indonesia. Di Sampang, Madura, konflik Sunni-Syiah terjadi sejak tahun 2004 yang berujung pada kekerasan. Konflik sesungguhnya terjadi pada hari Minggu, tanggal 26 Agustus 2012 dimana kelompok Sunni membakar 37 rumah pengikut Syiah, dan perkelahian fisik yang mengakibatkan satu korban tewas dan belasan luka-luka. Kasus ini naik menjadi kasus nasional. Akan tetapi, kasus serupa belum terjadi di wilayah lain seperti Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. MUI juga telah menerbitkan buku yang berjudulMengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia yang ditulis oleh KH. Ma’ruf Amin, Prof. Yunahar Ilyas, H. Ichwan Sam, dan Dr. Amirsyah. Buku tersebut diharapkan dapat menjadi buku panduan bagi Pada tanggal 25 Oktober 1997.
MUI Jawa Timur sesuai surat keputusannya No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 tentang kesesatan ajaran Syiah memutuskan bahwa “…ajaran Syiah…serta ajaran-ajaran yang mempunyai kesamaan dengan paham Syiah Imamiyah Itsna Asy‘ariyah adalah sesat dan menyesatkan. Menyatakan bahwa penggunaan istilah Ahlul Bait untuk pengikut Syiah adalah bentuk pembajakan kepadaAhlul Bait Rasulullah SAW.” Ketimbang MUI Pusat dan MUI di daerah lain, MUI Jawa Timur lebih berani menyatakan kesesatan ajaran Syiah.
Dapat disimpulkan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia menganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama’ah (Bahasa Arab: أهل السنة والجماعة) atau lebih sering disingkat Ahlus-Sunnah (bahasa Arab: أهل السنة), atau sama saja dengan Sunni adalah firkah Muslim terbesar yang disebut dengan Ahlus-Sunnah wal Jama’ah atau golongan yang menjalankan sunah Nabi Muhammad SAW dengan penekanan pada peneladanan peri kehidupan Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul terakhir bagi umat Muslim. Muhammad memulai penyebaran ajaran Islam untuk seluruh umat manusia dan mewariskan pemerintahan tunggal Islam. Muhammad sama-sama menegakkan ajaran tauhid untuk mengesakan Allah SWT sebagaimana yang dibawa nabi dan rasul sebelumnya. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum sunni.
Pustaka Acuan
As’ad, Muhammad. “Ahmadiyah and the Freedom of Religion in Indonesia,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 3, No. 2, 2009.
Hamzah, Muhammad Maulana. “Peran dan Pengaruh Fatwa MUI dalam Arus Transformasi Sosial Budaya di Indonesia,” dalam Millah: Jurnal Studi Agama, Vol. 17, No. 1, 2017.
Hilmy, Masdar. “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 11, No. 2, 2017.
Ismail, Faisal. “The Nahdlatul Ulama: Its Early History and Contribution to the Establishment of Indonesian State,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 5, No. 2, 2011.
Ja’far. “Respons Dewan Fatwa Al Jam’iyatul Washliyah terhadap Isu Akidah dan Syariah di Era Global,” dalam al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 11, No. 1, 2016.
Ja’far. Tradisi Intelektual Al Washliyah: Biografi Ulama Kharismatik dan Tradisi Keulamaan. Medan: Perdana Publishing, 2015.
Niam, Khoirun. “Nahdlatul Ulama and the Production of Muslim Intellectuals in the Beginning of 21st Century Indonesia,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 11, No. 2, 2017.
Sajari, Dimyati. “Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010),” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 39, No. 1, 2013.
Siddik, Dja’far dan Rosnita,.”Gerakan Pendidikan Al Washliyah di Sumatera Utara,” dalam Ulumuna: Journal of Islamic Studies, Vol. 18, No. 1 2014.
Syafei, Zakaria. “Tracing Maqasid al-Shari‘ah in the Fatwas of Indonesian Council of Ulama (MUI),” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 11, No. 2, 2017.
Zuldin, Muhammad. “Konflik Agama dan Penyelesaiaannya:
Kasus Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat,” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 37, No. 2, 2013.
Catatan Akhir:
- Lihat Ja’far, Tradisi Intelektual Al Washliyah: Biografi Ulama Kharismatik dan Tradisi Keulamaan (Medan: Perdana Publishing, 2015); Dja’far Siddik dan Rosnita, “Gerakan Pendidikan Al Washliyah di Sumatera Utara,” dalam Ulumuna: Journal of Islamic Studies, Vol. 18, No. 1 2014; Ja’far, “Respons Dewan Fatwa Al Jam’iyatul Washliyah terhadap Isu Akidah dan Syariah di Era Global,” dalam al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 11, No. 1, 2016.
- Faisal Ismail, “The Nahdlatul Ulama: Its Early History and Contribution to the Establishment of Indonesian State,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 5, No. 2, 2011; Khoirun Niam, “Nahdlatul Ulama and the Production of Muslim Intellectuals in the Beginning of 21st Century Indonesia,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 11, No. 2, 2017.
- Masdar Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 11, No. 2, 2017.
- Muhammad Maulana Hamzah, “Peran dan Pengaruh Fatwa MUI dalam Arus Transformasi Sosial Budaya di Indonesia,” dalam Millah: Jurnal Studi Agama, Vol. 17, No. 1, 2017; Zakaria Syafei, “Tracing Maqasid al-Shari‘ah in the Fatwas of Indonesian Council of Ulama (MUI),” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 11, No. 2, 2017.
- Lihat Dimyati Sajari, “Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976- 2010),” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 39, No. 1, 2013.
6Muhammad As’ad, “Ahmadiyah and the Freedom of Religion in Indonesia,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 3, No. 2, 2009; Muhammad Zuldin, “Konflik Agama dan Penyelesaiaannya: Kasus Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat,” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 37, No. 2, 2013.
Editor: Dedy TA