
Rasindo group. com – Komunitas adat Kepaksian Paksi Pak Sekala Brak adalah entitas masyarakat yang masih ketat mempertahankan tradisi kebesaran-kebesaran warisan budaya, tradisi, adat istiadat serta tata cara berkehidupan sosial oleh masyarakat yang merupakan warisan leluhur secara turun-temurun dari generasi ke generasi, tetapi cukup terbuka dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Kondisi tersebut tercermin dari sikap akomodatif mereka terhadap segala perubahan sosial yang terjadi akibat modernisasi. Namun demikian, kondisi ini tidak membuat mereka kehilangan identitas kulturalnya sebagai masyarakat kepaksian yang dicirikan oleh ketaatannya terhadap aturan adat. Dalam interaksi sosialnya, identitas kultural itu senantiasa melekat dalam diri mereka, baik dalam cara bersikap, bertindak, maupun yang disimbolkan melalui pakaian dan asesoris yang dikenakan. Kondisi ini terjadi tidak lepas dari keberadaan perangkat-perangkat adat yang memiliki peran yang begitu sentral dalam menegakkan aturan adat, sehingga seluruh perangkat adat masyarakat paksi pak memiliki ikatan begitu kuat terhadap identitas kulturalnya.
Karena itu pula, meskipun dalam situasi sosial yang terus berubah, mereka mampu beradaptasi dengan tidak kehilangan identitas kulturalnya sebagai masyarakat adat yang tetap tunduk dan patuh terhadap petuah maupun pikukuh adat (norma dan aturan adat).
Pergantian sosial merupakan bagian dari dinamika yang terjadi di masyarakat. Karena itu tidak ada komunitas masyarakat yang tidak mengalami Pergantian.
Terkait dengan hal tersebut, sedikitnya terdapat dua klasifikasi masyarakat, yakni masyarakat statis dan masyarakat dinamis.
Masyarakat statis adalah masyarakat yang sedikit sekali mengalami transisi dan cenderung berjalan lambat. Sedangkan masyarakat dinamis adalah masyarakat yang mengalami berbagai transisi yang cepat.
Dalam konteks ini, berbagai Pergantian yang terjadi di masyarakat itu bisa berbentuk kemajuan (progress) dan dapat pula berarti kemunduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu (Soekanto, 2009: 260). Samuel Koenig (dalam Soekanto, 2009: 263) menyatakan bahwa Pergantian sosial menunjuk pada modifikasimodifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.
Berdasarkan definisi tersebut, maka Pergantian sosial merupakan sesuatu yang tak bisa ditolak, termasuk pula oleh masyarakat adat. Demikian halnya dengan masyarakat adat Kapaksian Paksi Pak tinggal dan tersebar di wilayah Kabupaten Lampung Barat di Provinsi Lampung, Pesisir Barat, Pringsewu, Pesawaran, Lampung Selatan, Tanggamus dan Bandar Lampung di Provinsi Lampung. Mereka adalah sebagian komunitas adat yang menamakan diri Kesatuan Adat yang berasal dari Sekala Brak. Mereka memiliki kesamaan, antara lain pada aspek kesejarahan, berasal dari suku dan budaya yang sama, yakni suku dan budaya asal Paksi Pak Sekala Brak, termasuk keturunan yang sama. Komunitas adat Kepaksian Paksi Pak juga memiliki budaya sendiri, meliputi seluruh perangkat tata nilai dan perilaku yang unik. Mereka memiliki atribut dan identitasnya yang khas baik melalui bahasa verbal maupun nonverbal serta tulisan aksara, termasuk simbol-simbol tertentu, bahkan memiliki ritual seperti upacara adat, dan sebagainya.
Istilah ‘kepaksian’ berasal dari kata Paksi dengan berawalan ke dan berakhiran an. Paksi artinya tinggi Sedangkan Paksi Pak Sekala Brak adalah empat pemegang tertinggi di Kepaksian Sekala Brak nama ini mulai digunakan sejak Kedatangan AL-Mujahid dari Pasai pesisir pantai utara Sumatra, Sampainya-n di Pagaruyung, kemudia setelah berdirinya salah satu Kerajaan di Pagaruyung, dari Pagaruyung Empat Umpu beranjak ke Muko-Muko untuk menyebarkan agama Islam. Maka sebutan kepaksian merujuk pada sistem kepemimpinan dari suatu komunitas masyarakat adat atau kelompok sosial di mana semua aktivitas masyarakat nya barasaskan kepada adat kebiasaan kebesaran-kebesaran warisan budaya, tradisi, adat istiadat serta tata cara berkehidupan sosial oleh masyarakat disana yang merupakan warisan leluhur secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Adat kebiasaan inilah yang melandasi mereka untuk tetap memperkuat ikatan kekerabatan dengan (Firman dan Arif: 17).
Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) mendefinisikan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya (http://yancearizona.net/tag/masyarakatadat/ ).
Sedangkan berdasarkan realitas sosial-budaya di Indonesia, entitas masyarakat adat dapat dikelompokkan ke dalam empat tipologi.
Pertama, kelompok masyarakat lokal yang masih kukuh berpegang pada prinsip dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani serta berbisnis, pemerintahan, TNI, Polri, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Mereka tetap eksis namun tetap berhubungan transaksional dengan pihak luar. Mereka juga menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan lokalnya.
Kedua, kelompok masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan transaksional dengan pihak luar.
Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang unik, namun tetap mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat pada kelompok pertama dan kedua tadi.
Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang ratusan tahun ( dalam Siradjudin, 2010).
Komunitas adat Kepaksian Paksi Pak termasuk dalam tipologi kelompok entitas masyarakat adat yang pertama, yakni sebagai komunitas masyarakat yang masih ketat mempertahankan tradisi kebesaran-kebesaran warisan budaya, tradisi, adat istiadat serta tata cara berkehidupan sosial oleh masyarakat disana yang merupakan warisan leluhur secara turun-temurun dari generasi ke generasi, tetapi mereka cukup terbuka dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Sesuai tipologi tersebut, maka pergantian sosial pada masyarakat kepaksian Paksi Pak berlangsung cukup dinamis, dan karenanya, dalam berbagai aktivitas kehidupan sosialnya persentuhan mereka dengan hal-hal berbau modernisasi tidak bisa terhindarkan.
Dalam penggunaan alat pertanian, masyarakat adat kepaksian paksi pak kini telah terbiasa menggunakan traktor. Demikian pula dalam aktivitas kehidupan sosial, mereka terbiasa memanfaatkan berbagai teknologi. Sebagai contoh, hampir di tiap rumah di wilayah kepaksian terdapat parabola yang memungkinkan mereka mengakses berbagai siaran televisi dalam maupun luar negeri.
Demikian juga dalam hal interaksi sosial, mereka terbiasa memanfaatkan teknologi komunikasi seperti telepon genggam untuk kepentingan berkomunikasi. Termasuk dalam hal berpakaian dan pergaulan sosial, mereka dikenal sebagai masyarakat adat yang fashionable karena biasa mengenakan pakaian yang dikenakan oleh masyarakat urban atau perkotaan. Dalam konteks ini modernisasi merupakan bentuk dari pergantian sosial yang dimaknai sebagai perubahan pergantian masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau pra-modern menuju masyarakat modern.
Namun demikian, kondisi ini tidak membuat mereka kehilangan identitas kulturalnya sebagai masyarakat Adat Kepaksian yang dicirikan oleh ketaatannya terhadap berbagai kebiasaan adat. Mereka juga masih memelihara berbagai tradisi dan ritual adat yang telah berlangsung sejak berabad-abad silam.
Demikian pula dalam interaksi sosial yang mereka jalin, identitas kultural itu senantiasa melekat dalam diri mereka, baik dalam cara bersikap, bertindak, maupun yang disimbolkan melalui pakaian dan asesoris yang dikenakan. Padahal, pergantian sosial akibat modernisasi kerap berimplikasi terhadap tergerusnya identitas kultural suatu masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Wega Dwi Rafika dan Bambang Samsu tentang Perubahan pergantian Sosial dalam Masyarakat Adat Tenganan Pegringsingan (2013), misalnya, menunjukkan bahwa akibat arus deras pembangunan pariwisata di Bali, masyarakat adat mulai kehilangan nilai-nilai kulturalnya yang dicirikan dengan perubahan gaya hidup, pola pikir, dan migrasi pekerjaan dari masyarakat yang bekerja bidang di pertanian menjadi masyarakat yang bekerja di bidang pariwisata.
Terkait dengan persoalan tersebut, penelitian telah di lakukan difokuskan untuk mengkaji;
Pertama, bagaimana masyarakat kepaksian memelihara identitas kulturalnya di tengah arus deras perubahan sosial akibat modernisasi.
Kedua, bagaimana masyarakat kepaksian menjalin interaksi dengan masyarakat luar kepaksian paksi pak sekala brak.
Identitas Kultural
Identitas kultural atau identitas budaya dapat didefinisikan sebagai rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya (bonded), tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain (Liliweri, 2005: 41-42). Dengan demikian, ketika kita hendak mengetahui dan memahami, bahkan menetapkan identitas budaya seseorang, kita tidak dapat sekadar menentukan karakteristik atau ciri-ciri fisik/biologis orang dimaksud, melainkan perlu mengkaji identitas kebudayaan orang tersebut melalui tatanan berpikir, perasaan, dan cara bertindak. Sedangkan Kenneth Burke (dalam Liliweri, 2005: 42) secara simpel mengatakan bahwa untuk menentukan identitas budaya seseorang sangat bergantung pada bahasa. Sebab, representasi bahasa dapat menjelaskan sebuah kenyataan atas semua identitas yang dirinci kemudian dibandingkan.
Terkait dengan persoalan identitas budaya ini, Marry Jane Collier berhasil mengembangkan sebuah teori bernama Teori Identitas Budaya atau Cultural Identity Theory. Teori ini dikembangkan untuk memahami bagaimana proses komunikasi dilakukan untuk membangun dan menegosiasikan identitas kelompok budaya dan hubungan dalam konteks tertentu.
Menurut Collier, identitas dibentuk berdasarkan interaksi komunikatif dengan orang lain dan pesan yang disampaikan oleh seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain dapat berisi berbagai identitas budaya seperti ras, etnik, suku bangsa, kelas sosial, dan berbagai hal lainnya.
Collier dengan Milt Thomas (dalam Gudykunst, 2005: 239–240) selanjutnya merumuskan tujuh sifat dasar dari identitas budaya.
- Individu memiliki berbagai identitas budaya yang mungkin muncul dalam perilaku, termasuk kewarganegaraan, ras, etnis, kelas sosial, jenis kelamin, pilihan politik, agama, dan lainnya. Identitas budaya ada ketika pola perilaku seluruh individu menunjukkan identitas keanggotaannya dalam kelompok atau kelompok–kelompok.
- Dari perspektif individu, identitas budaya yang beragam ini berbeda sesuai situasi dan juga bervariasi dari waktu ke waktu dan interaksi.
- Identitas budaya bervariasi dalam lingkup tertentu, mengacu pada seberapa luas “diadakan” dan digeneralisasikan mereka.
- Identitas budaya terbentuk melalui proses pengakuan (konsep diri) dan anggapan (pandangan oleh orang lain).
- Intensitas dimana identitas tertentu diakui dan dianggap berbeda tergantung pada situasi, konteks, topik, dan hubungan yang ada.
- Identitas budaya bertahan melalui waktu dan ruang, serta berubah secara signifikan.
- Identitas budaya memiliki dua aspek baik konten dan maupun relasional.
Dengan demikian, ketika seseorang menilai atau melihat seseorang atau kelompok berdasarkan identitas budayanya, ia harus memahami bahwa yang menjadi identitas kelompok tersebut pada dasarnya merupakan hasil pemikiran dari individu–individu dalam kelompok tersebut.
Selain itu, seseorang yang berinteraksi juga harus memahami bahwa setiap individu bisa memiliki lebih dari satu identitas.
Hal ini bergantung pada peran yang sedang dilakoninya. Karena adanya identitas budaya yang kompleks ini, ada potensi konflik yang dapat terjadi, sehingga jika seseorang ingin terhindar dari sebuah masalah dalam berinteraksi, sebaiknya ia meningkatkan kemampuannya dalam komunikasi antarbudaya.
Interaksi Sosial
Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa dilepaskan dari hubungan relasional dengan manusia lainnya yang mewujud dalam interaksi sosial. Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2009: 55) menyebut interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan orang per orang, antar kelompok manusia, maupun antara orang per orang dengan kelompok manusia.
Atas dasar pengertian tersebut, maka interaksi sosial hanya akan terjalin jika memenuhi dua syarat, yakni adanya kontak sosial dan komunikasi. Yang dimaksud dengan kontak sosial tindakan awal yang mengakibatkan terjadinya komunikasi, baik melalui kontak secara fisik
maupun kontak yang termediasi dengan teknologi komunikasi dan yang lainnya. Dengan terjalinnya kontak sosial ini maka komunikasi dimungkinkan akan berlangsung.
Dalam perspektif interaksi sosial, komunikasi yang dapat terjalin begitu rupa hingga membawa konsekuensi terjadinya upaya saling memengaruhi satu sama lain. Hakekat komunikasi sendiri adalah antara pihak yang menjalin interaksi akan saling bereaksi dengan memberi tafsir atas apa yang mereka komunikasikan (bicarakan). Dengan adanya komunikasi, maka sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok manusia atau orang perseorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain atau-orang-orang lainnya.
Dalam perspektif perubahan sosial, komunikasi yang terjalin sebagi bentuk dari interaksi sosial, akan membawa pengaruh terhadap perubahan sosial di masyarakat, baik dampak yang bersifat positif maupun negatif. Sebab, di dalam proses komunikasi itu dimungkinkan terjadinya tindakan-tindakan bersifat asosiatif maupun disosiatif (Soekanto, 2009: 65-97).
Interaksi bersifat asosiatif berbentuk:
- Kerjasama (cooperation), yakni usaha bersama antar orang per orangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama;
- Akomodasi (accomodation), yakni suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Bisa pula berarti pada tindakan untuk meredakan suatu pertentangan, yakni usaha-usaha untuk mencapai kestabilan
Sedangkan interaksi bersifat disosiatif berbentuk:
- Persaingan (competition), yakni proses sosial di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui berbagai bidang kehidupan;
- Kontravensi (contravention), yakni bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian.
METODOLOGI
Metode yang digunakan adalah metode studi kasus dalam bentuk desain kasus tunggal, yakni peneliti mengumpulkan data terarah berdasarkan pertanyaan yang terlebih dahulu ditentukan (Yin, 2006). Dalam pendekatan rumpun kualitatif, langkah-langkah studi kasus untuk pengumpulan data tidak terlepas dari ciri umum yang ditampilkan dalam penelitian kualitatif. Data dalam konteks penelitian ini terbagi atas sumber data primer dan sekunder. Sumber primer adalah suatu objek ataupun dokumen asli yang berupa material mentah dari pelaku utamanya yang disebut sebagai first-hand information. Data-data yang dikumpulkan di sumber primer ini berasal dari situasi langsung yang aktual ketika suatu peristiwa itu terjadi (Silalahi, 2006:266), baik berdasarkan hasil wawancara maupun observasi.
Sumber data yang kedua adalah sumber data sekunder dimana data yang dikumpulkan ini berasal dari tangan kedua atau sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan (Silalahi, 2006:266). Untuk penentuan informan dalam penelitian ini maka teknik yang digunakan adalah purposive sampling, yakni berdasarkan tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti. Kemudian, untuk memperoleh data dalam penelitian ini dimulai dengan menentukan informan kunci, yang memahami betul permasalahan yang akan diteliti serta dapat memberikan berbagai informasi maupun data yang dibutuhkan. Informan yang baik adalah informan yang mampu menangkap, memahami, dan memenuhi permintaan peneliti. Karena itu, ia harus memiliki kemampuan reflektif, meluangkan waktu untuk wawancara, bersemangat untuk berperan serta dalam penelitian, dan sekaligus memiliki pengetahuan yang luas terhadap berbagai persoalan yang diteliti (Sudikan, 2001: 91).
Upaya Adat Memelihara Identitas Budaya
Masyarakat adat Kepaksian Paksi Pak menganut agama Islam dengan masih mempraktikkan tradisi atau kebiasaan karuhun, yaitu menjalankan tradisi kebesaran-kebesaran warisan budaya, tradisi, adat istiadat serta tata cara berkehidupan sosial oleh masyarakat disana yang merupakan warisan leluhur secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Namun demikian, mereka juga mengakui hukum negara seperti undang-undang maupun peraturan pemerintah lainnya. Karena itu, masyarakat adat Paksi Pak terbilang sebagai masyarakat yang khas, karena mampu memadukan aturan adat, agama, dan aturan pemerintah dalam laku hidupnya.
Walaupun terdapat banyak keinginan dan bermacam–macam sifat, sikap pada hakekatnya manusia berasal dari satu asal yang hakiki, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ungkapan tersebut dapat pula diartikan sebagai agama, tradisi, dan pemerintahan yang harus berjalan beriringan. Tradisi dan agama harus berjalan sejajar. Semuanya harus mengacu pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ungkapan inilah kemudian yang mengajarkan masyarakat adat akan konsep keseimbangan atau harmoni dalam menjalani hidup, yaitu antara agama, tradisi, dan kewajiban sebagai warga negara.
Mempertahankan identitas kultural sebagai masyarakat yang masih memegang teguh tradisi leluhur bukanlah tanpa tantangan. Terlebih di tengah arus deras perubahan sosial, yang memungkinkan tergerusnya identitas mereka. Sebagai masyarakat adat yang hidup dinamis dan adaptif dengan perkembangan zaman, mereka juga berinteraksi dengan masyarakat di luar komunitas mereka sehingga memungkinkan masuknya pengaruh negatif dari modernisasi ke komunitasnya. Penggunaan berbagai alat elektronik dan teknologi komunikasi, adalah sesuatu yang tidak bisa mereka tolak sebagai konsekuensi dari interaksi yang terbuka.
Kondisi demikian, cukup disadari oleh masyarakat kepaksian. Mereka sadar bahwa arus deras modernisasi jika tidak diantisipasi dapat mengancam identitas kulturalnya sebagai masyarakat adat. Dalam kaitan itu, masyarakat kepaksian memiliki kampung batin (pengapungan batin) jujjokh adat (struktur perangkat adat) yang berfungsi untuk mengingatkan, meneguhkan, sekaligus memelihara identitas kultural mereka. Pranata adat itu adalah kearifan lokal (local wisdom) berupa petuah dan pikukuh adat (norma dan aturan adat), baik berbentuk larangan atau pantangan yang tidak boleh dilanggar, upacara adat, serta ketaatan dan ketundukan kepada dudungan, junjungan nya yaitu Sultan Saibatin raja adat dikepaksian.
Karena itu, dalam kehidupan sehari–hari masyarakat adat Kepaksian Paksi Pak berpegang teguh pada tradisi yang diturunkan melalui sultan saibatin raja adat dikepaksian. Dalam tradisi mereka, misalnya, ada beberapa hak dan kewajiban yang tidak harus dipatuhi oleh incu putu (anak cucu) jika berhalangan, seperti kewajiban pulang kampung saat lebaran. Ketetapan tentang kewajiban pulang kampung pada kegiatan adat ini dibuat sebagai upaya adat untuk mempererat silaturahmi antar keluarga komunitas sekaligus meneguhkan kembali identitas kulturalnya.
Melalui kegiatan upacara adat itulah mereka diingatkan kembali tentang hakikat kedirian sebagai masyarakat adat kepaksian paksi pak sekala brak yang meyakini bahwa kehidupan merupakan sebuah proses lahir-hidup-mati yang kemudian pada akhirnya menuju pada sebuah fase yang abadi.
Orang harus sadar akan kemustahilan dalam kehidupan yang fana. Maksudnya bahwa pada dasarnya kehidupan manusia tidak terlepas dari pemenuhan kebutuhan duniawi, yang walaupun pada akhirnya akan ditinggalkan ketika mati. Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud di sini tidak jauh dari pemenuhan akan sandang, pangan dan papan, yang kesemuanya berasal dari bumi/tanah. Karenanya, mereka sangat menghormati tanah, sebagai tempat tumbuhnya padi, sumber makanan manusia. Bersumber pada hal ini pula, masyarakat adat selalu berusaha menjaga harmoni antara manusia, alam dan Tuhan yang diungkapkan dalam berbagai bentuk acara atau yang disebut upacara adat sebagai bentuk rasa syukur.
Di sisi lain, sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada adat dan tradisi Lampung masa lalu, mereka juga harus senantiasa tunduk dan patuh terhadap segala Dudungan junjungan nya. Dalam kosmologi masyarakat kepaksian, Sultan Saibatin raja adat dikepaksian jabatan yang dianggap sakral karena hanya diturunkan berdasarkan hubungan turun-temurun tertua dari garis ratu. Karena itu, sosok saibatin dalam konsep masyarakat setempat adalah sosok manusia pilihan dengan segala kelebihannya, baik secara kasat mata maupun di luar akal pikiran orang kebanyakan.
Di tengah arus deras perubahan sosial akibat modernisasi, masyarakat adat Kepaksian Paksi Pak masih mampu mempertahankan dan memelihara identitas kulturalnya. Kondisi ini terjadi tidak lepas dari keberadaan Kepala Jukkuan dan Perangkat Adat Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak yang memiliki peran yang begitu sentral dalam menegakkan aturan adat, sehingga seluruh anggota masyarakat kepaksian sekala brak memiliki ikatan begitu kuat terhadap identitas kulturalnya. Karena itu pula, meskipun dalam situasi sosial yang terus berubah, mereka mampu beradaptasi bahkan mengadopsi perubahan pergantian tersebut dengan tidak kehilangan identitas kulturalnya sebagai masyarakat adat yang tetap tunduk dan patuh terhadap petuah maupun pikukuh adat (norma dan aturan adat). Bahkan dalam menjalin interaksi sosial dengan masyarakat di luar kepaksian pun mereka mampu menjaga identitas kulturalnya.
Daftar Pustaka:
Gudykunst, William B. 2003. Cross-Cultural and Intercultural Communication. London: Sage Publications.
Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS.
Silalahi, U. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press. 2006.
Siradjudin, Azmi. 2010. Pengakuan Masyarakat Adat dalam Instrumen Hukum Nasional. Sulawesi Tengah: Yayasan Merah Putih.
Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana.
Suwarsono, Alvin Y.SO. 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES Wega Dwi Rafika dan Bambang Samsu. 2013. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Adat Tenganan Pegringsingan. Wega Dwi Rafika dan Bambang Samsu. 2013. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Adat Tenganan Pegringsingan. Diakses dari repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/…/Wega%20Dwi%20Rafika.pdf?. pada 10 Agustus 2017.
Yusanto, Yoki, dkk. 2014. Kasepuhan Cisungsang, Komunikasi Intrabudaya. Serang: Pustaka Getok Tular. 2014.
http://yancearizona.net/tag/masyarakat-adat/. Diakses pada 5 Agustus 2017 pukul 09.10
Editor: Dedy TA