
Rasindo group.com – Para peneliti menemukan bahwa sekitar 1 dari 50 kematian di awal peradaban manusia dan pada zaman batu atau Neandethar Band 50.000 tahun lalu, diakibatkan oleh kelicikan dan kekerasan yang hampir sama dengan kera dan monyet.
Sebuah penelitian mengklaim bahwa manusia adalah ‘mesin’ pembunuh alami yang secara biologi diprogram untuk menggunakan kekuatan mematikan dan berbahaya kepada sesama.
Informasi mengenai manusia diambil dari data 600 populasi orang yang hidup dari 5.000 tahun lalu hingga saat ini. Penelitian tersebut menemukan ada dua persen manusia meninggal akibat kekerasan.
Sementara itu sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa 40 persen mamalia memiliki keinginan atau kecenderungan untuk membunuh yang tinggi.
Mengkutip dari Daily Mail, Kamis (29/9/2016), angka kematian itu juga diakibatkan oleh adanya kanibalisme, eksekusi, pembunuhan terhadap anak-anak, dan perang.
Namun walaupun begitu, tingkat pembunuhan antar manusia di dunia kini berbanding 1 dari 10.000 di seluruh dunia.
Pembunuhan biasanya umum dilakukan dalam kehidupan binatang. Menghabisi nyawa lawan atau saingan dapat meningkatkan kemungkinan mendapatkan lebih banyak betina dan menaikkan status dalam kelompok.
Angka itu masih merupakan hitungan terendah, karena adanya perbedaan antara kematian yang diakibatkan oleh benda tajam dan tumpul.
Senjata tajam dapat mengidentifikasikan bahwa seseorang mendapatkan kekerasan yang berakibat pada kematiannya. Namun pada benda tumpul kemungkinannya ada dua, kecelakaan alami atau dibunuh.
Beberapa hewan, seperti kelelawar dan paus termasuk ke dalam golongan pencinta damai. Mereka sangat berbeda dengan kera dan monyet yang ‘menyukai’ pertumpahan darah.
Walaupun begitu, pertumpahan darah pada hewan biasanya hanya terjadi akibat status sosial atau kekuasaan.Sementara manusia ‘berperang’ untuk dua hal tersebut sekaligus.
Penelitian menunjukkan bahwa status dan kekuasaan meningkatkan keinginan untuk membunuh pada manusia.
kata seorang peneliti, Dr Jose Gomez, dari Spanish National Research Council di Madrid. “Kita — dulunya– sangat barbar seperti binatang yang ada di sekitar kita zaman itu,”
Menurut penelitian yang dilakukan Gomez, kadar kekerasan manusia berkurang dan berubah sepanjang sejarah. Sebagian besar berubah menjadi hubungan diplomasi politik dan sosial.
Hasil penelitian terhadap sifat alami itu juga menunjukkan adanya pengaruh perubahan adat dan budaya dalam komunitas masyarakat yang tidak sesuai dengan sebagai mana mestinya.
“Tingkat kekerasan pada zaman prasejarah ini memang belum berubah sepenuhnya, tapi setidaknya mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan sejarah yang terkait dengan perubahan dalam organisasi sosial-politik manusia,” kata Gomez. “Hal ini membuktikan bahwa sejarah dapat ‘mengatur’ filogenetis (evolusi) yang dapat mewarisi kebrutalan pada manusia”.
Guru besar Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Muhammad Mustofa mengatakan, banyak kasus pembunuhan terjadi karena ada kedekatan antara pelaku dan korban.
Konflik itu tercipta dari hubungan kedekatan, yang bisa jadi pemantik kekejaman yang dilakukan.
“Banyak pembunuhan itu terjadi dalam kondisi situasional. Pada situasi yang amat sangat khusus, saling mengenal, terus terjadi konflik. Kemudian karena lepas kendali melakukan pembunuhan,”
Lebih lanjut, Mustofa menuturkan, setiap manusia punya kemampuan untuk meniadakan manusia lainnya. Akan tetapi, norma-norma yang tertanam di dalam diri manusia untuk menghargai jiwa orang lain dapat menjadi tali kekang dari sifat ego pribadi itu.
“Jika norma penghargaan terhadap manusia lainnya itu tidak berjalan dengan efektif, biasanya pembunuhan itu adalah salah satu cara yang dipakai untuk menyelesaikan masalah,”
Sementara itu, staf pengajar di Fakultas Psikologi UI Rose Mini Adi Prianto mengatakan, untuk kasus kekerasan termasuk pembunuhan, hal sepele kerap jadi pemantiknya. Namun, pemantik sepele itu tak bisa dianggap sebagai penyebab tunggal, tetapi harus dilihat secara keseluruhan dari rangkaian peristiwa sebelum terjadi.
“Orang dapat membunuh bukan karena satu hal saja, tetapi karena sudah numpuk. Ada satu yang memantik itu bisa marahnya jadi luar biasa,”
Kemarahan tersebut menghilangkan kontrol diri yang dimiliki seseorang. Wilayah kognisi sebagai ruang kontrol tindakan manusia, kata dia, tidak bekerja dengan baik. Nalarnya pun jadi hilang.
Rose menjelaskan, setiap orang harus bisa mengutarakan pikiran, perasaan, dan pendapatnya. Bila tidak, seseorang akan mengalami tekanan, stres, dan depresi. Oleh karena itu, harus ada katarsisnya (kelegaan emosi).
Konflik seringkali terjadi karena tak ada saluran komunikasi yang dapat menjembatani pendapat atau pikiran seseorang kepada orang lain. “Lawan berseteru itu tidak bisa diajak berbicara misalnya, sehingga dia enggak tahu caranya mengutarakan dengan baik gimana. Akhirnya ambil jalan pintas melampiaskan marah dan dendamnya dengan cara yang seperti itu (membunuh),” elinia.id
Editor: DTA