
MAHKAMAH AGUNG. (UU. NO. 14/1985) DEP. KEHAKIMAN. DEP. AGAMA. PANGLIMA ABRI. DEP. HANKAM. LINGKUNGAN PERADILAN UMUM. LINGKUNGAN PERADILAN TUN. LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA. LINGKUNGAN PERADILAN MILITER. PENGADILAN TINGGI. PENGADILAN TINGGI TUN. PENGADILAN TINGGI AGAMA. LAKSA MAHMILGUNG. MAHMILTI. PENGADILAN NEGERI. PENGADILAN NEGERI. PENGADILAN NEGERI. MAHKAMAH MILITER. UU. NO. 2/1986. UU. NO. 5/1986. UU. NO. 7/1989. UU. NO. 28/1997. Kel. 2.
Rasindo group.com – Dalam UUD 1945, pengaturan kekuasaan kehakiman ditempatkan pada Bab IX berjudul Kekuasaan Kehakiman dan terdiri dari dua pasal, yaitu Pasal 24 yang memiliki dua ayat dan Pasal 25. Pasal 24 Ayat (1) mengatur bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Selanjutnya, Pasal 24 Ayat (2) mengatur bahwa “Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.” Sementara itu, pengaturan mengenai rekrutmen dan pemberhentian hakim diatur dalam Pasal 25 yang menyebutkan bahwa “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.”
Jaminan kemerdekaan kehakiman terdapat pada Penjelasan UUD 1945 atas Pasal 24 dan Pasal 25 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.”9
Dengan demikian, sebenarnya, UUD 1945 telah menyebutkan jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Konstruksi jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu dilekatkan pada jaminan kemerdekaan individu hakim yang kedudukannya harus diadakan
————————
8 Sebastian Pompe, ibid., hlm. 667. 9
Redaksi Sinar Grafika, Tiga Undang-Undang Dasar (Jakarta: Sinar Grafika, 1990), hlm. 29
jaminan dalam UU. Pada masa berlakunya UUD 1945, Penjelasan UUD 1945 merupakan satu-kesatuan dengan Batang Tubuh UUD 1945.
Sehubungan dengan itu, peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman harus menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Namun, sebagaimana dibahas pada alineaalinea berikutnya, peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto justru menafikan jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945. Pada masa itu, belum ada lembaga negara berwenang melakukan judicial review atau constitutional review UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Akibatnya, penafikan kemerdekaan kekuasaan kehakiman oleh UU tidak disebut inkonstitusional dan dapat dibatalkan.
Selama masa berlakunya Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 praperubahan, baik pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, yang terjadi adalah besarnya dominasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif. Kekuasaan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang otoriter mempengaruhi dan mencederai independensi kekuasaan kehakiman. Pengaruh sistem politik otoriter kedua presiden itu mendominasi ke berbagai aspek kekuasaan kehakiman, mulai dari proses peradilan hingga pengaturan finansial, organisasi, dan adminstrasi kekuasaan kehakiman.10
Tergerusnya independensi kekuasaan kehakiman dimulai ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar atas pembubaran Dewan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Pasca dekrit itu, kekuasaan mengalami personalisasi hampir sepenuhnya berada dalam genggaman Presiden Soekarno yang disebut periode Demokrasi Terpimpin.
————————
10 A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto (Jakarta: ELSAM, 2004), hlm. 1.
Presiden Soekarno mulai terang-terangan mengintervensi kekuasaan kehakiman. Presiden memerintahkan para hakim mengganti pakaian dinas resmi toga hitam mereka yang dinilai kurang revolusioner dengan seragam model militer, seperti yang digunakan oleh jaksa beserta atribut kepangkatan yang dinilai lebih tampak revolusioner.11 Intervensi Presiden Soekarno terhadap kekuasaan kehakiman juga dilakukan dengan cara menyertakan Ketua MA Wirjono Prodjodikoro dalam anggota Kabinet dengan status Menteri pada 1960.12 Kebebasan peradilan menjadi hilang sejak pengangkatan itu.13
Intervensi Presiden Soekarno terhadap kekuasaan kehakiman diperkuat melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 19/1964). Intervensi itu dijustifikasi melalui retorika politik revolusioner atas nama kepentingan nasional dan kepentingan revolusi yang tengah terancam. Alhasil, Presiden Soekarno memposisikan kekuasaan kehakiman di bawah kendali kekuasaan eksekutif.14 Menurut Daniel Lev, upaya Presiden Soekarno melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman merupakan ekspresi kegusarannya terhadap beberapa hakim yang menolak didikte dan adanya dukungan tidak sepenuh hati dari kalangan ahli hukum dan advokat.15 Melalui ketentuan Pasal 19 UU No. 19/1964, Demokrasi Terpimpin membungkam para hakim. Presiden memiliki justifikasi mengintervensi setiap proses peradilan demi kelangsungan revolusi dan kepentingan nasional.16
Penguatan intervensi Presiden Soekarno terhadap independensi kekuasaan kehakiman dilakukan dengan pengesahan
————————
11 A. Muhammad Asrun, ibid., hlm. 4; Sebastian Pompe, op.cit., hlm. 94.
12 Sebastian Pompe, op.cit., hlm. 86 & 93.
13 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm217.
14 A. Muhammad Asrun, op.cit., hlm. 2.
15 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 391—392
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Agama Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung (UU No. 13 Tahun 1965). Intervensi itu secara eksplisit mengubur asas pemisahan kekuasaan dan mengakhiri independensi peradilan demi berpihak pada Pancasila dan Manipol/Usdek (Manifesto Politik/Undang-Undang ’45, sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) yang merupakan ajaran dari Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Presiden Soekarno. Dengan demikian, para hakim dijadikan sebagai “alat revolusi” semata.17 Akibatnya, fungsi peradilan tidak lagi menjadi peradilan yang bebas dari pengaruh pihak mana pun, melainkan menjelma menjadi peradilan terpimpin sesuai dengan garis politik dan ideologi pemerintah.18
Suksesi kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto sempat memberi harapan terwujud kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri. Pada masa awal tampilnya kekuasaan Orde Baru, Presiden Soeharto menjanjikan mengembalikan supremasi hukum dan independensi kekuasaan kehakiman.19 Sejalan dengan itu Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) juga gencar memperjuangkan independensi kekuasan kehakiman. IKAHI menolak keterlibatan Departemen Kehakiman dalam pengaturan urusan keuangan dan pengawasan peradilan.20
Namun, setelah tahun 1967 dan memasuki dekade 1970-an, janji itu diingkari oleh penguasa Orde Baru. Pemerintah mulai campur tangan terhadap hakim. Melalui dinas rahasia Operasi Khusus (Opsus), pemerintah mengkooptasi IKAHI agar mau menerima Rancangan Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memberi ruang keterlibatan pemerintah (Departemen Kehakiman) dalam kekuasaan kehakiman.21 Presiden
————————
17 Sebastian Pompe, op.cit., hlm. 86—87.
18 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 216.
19 Sebastian Pompe, op.cit., hlm. 120—121.
20 Daniel Lev, op.cit., hlm. 397. 21
Soeharto tetap melanjutkan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dilakukan oleh Presiden Soekarno.
Pada awal kekuasaannya, tepatnya pada 1969, Presiden Soeharto mencabut UU No. 19/1964 warisan Presiden Soekarno dan menggantinya dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14/1970). Meskipun demikian, kekuasaan kehakiman masih belum lepas sepenuhnya dari belenggu kekuasaan eksekutif. Undang-undang baru itu memang telah memenuhi tuntutan para ahli hukum, hakim, dan advokat agar pemerintahan Orde Baru mencabut Pasal 19 UU No. 19/1964 yang menindas kemandirian kekuasaan kehakiman. Namun, soal kondisi-kondisi yang diperlukan untuk tegaknya kemandirian kekuasaan kehakiman, ternyata ditafsirkan berbedabeda. Itu menjadi pangkal perdebatan krusial mengenai kemandirian kekuasaan kehakiman antara pemerintah dan kalangan hakim serta advokat. Pemerintah bersikeras ingin Kementerian Kehakiman terlibat dalam urusan kekuasaan kehakiman, sedangkan kalangan hakim yang tergabung dalam IKAHI menghendaki kekuasaan kehakiman lepas dari pengaruh Kementerian Kehakiman.22
Pemberlakuan UU No. 14/1970 menunjukkan penafsiran kemandirian kekuasaan kehakiman oleh UU itu adalah penafsiran versi pemerintah, yaitu memberi ruang keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Akibatnya, independensi kehakiman tidak dapat dilaksanakan secara utuh karena pemerintah melalui Departemen Kehakiman berwenang mengatur administrasi, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan.23 Itulah yang kemudian disebut sebagai periode manajemen peradilan “dua atap”, yaitu MA dan Departemen Kehakiman.
Ketentuan Pasal 11 UU No. 14/1970 mengakibatkan muncul “dualisme” pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Pada satu sisi,
————————
Daniel Lev, op.cit., hlm. 396—397. 23
A. Muhammad Asrun, op.cit., hlm. 4.
aspek teknis peradilan menjadi kewenangan MA. Pada sisi lain, aspek organisasi, administratif, dan finansial peradilan merupakan kewenangan Departemen Kehakiman. Ketentuan Pasal 11 UU No. 14/1970 memberi legitimasi intervensi lembaga eksekutif terhadap urusan internal peradilan.
Dualisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman antara MA dan Departemen Kehakiman tidak hanya menghilangkan independensi peradilan, tetapi juga muncul loyalitas terbelah di kalangan hakim. Namun, hakim cenderung lebih loyal kepada Departemen Kehakiman dibanding MA. Hal itu disebabkan Departemen Kehakiman lebih menentukan nasib para hakim, khususnya dalam urusan mutasi dan promosi karier hakim.
Selanjutnya, kebijakan itu cenderung membuat para hakim umumnya tidak berdaya menolak atau melawan pengaruh kekuasaan lembaga eksekutif terhadap pelaksanaan fungsi peradilan terkait dengan substansi perkara yang sedang dalam proses persidangan atau perkara yang hendak diputus oleh hakim. Itulah alasan munculnya putusan-putusan hakim yang berpihak pada kekuasaan lembaga eksekutif, terutama putusan-putusan dalam perkara pidana politik, tata usaha negara, dan perdata yang bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan.
Dengan adanya manajemen kekuasaan kehakiman dua atap, pemerintah melalui Departemen Kehakiman leluasa mengintervensi urusan internal kekuasaan kehakiman, mulai dari rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, dan remunerasi hakim. Intervensi itu menjadi instrumen kontrol efektif terhadap para hakim dan menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar hakim.
Di bawah manajemen kekuasaan kehakiman dua atap, rekrutmen hakim cenderung tertutup dan tidak bebas dari unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).24 Penempatan, mutasi,
————————
24 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
dan promosi hakim juga cenderung sama.25 Bahkan, unsur politis tak jarang menyertai mutasi dan promosi hakim. Dari 1970 hingga 1998, mutasi hakim oleh Departemen Kehakiman menjadi instrumen politik lembaga eksekutif. Para hakim yang jujur, berani, dan tidak memihak dimutasikan ke wilayah kerja yang sebetulnya lebih merupakan demosi daripada promosi jenjang karier. Lebih daripada itu, hakim-hakim bersangkutan ada yang mendapat “sanksi” pembatasan memeriksa kasus. Mereka hanya diberi kasus kecil yang biasanya untuk ditangani oleh hakim pemula. Hakimhakim seperti itu dijauhkan dari kasus-kasus yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa.26
Sementara dalam hal remunerasi hakim, pengaturan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah. Remunerasi hakim belum sebanding dengan beban tanggung jawab hakim, sehingga mereka rentan terdorong mencari tambahan penghasilan baik secara legal ataupun ilegal.
Pemerintahan Soeharto terus memantapkan kontrolnya terhadap lembaga yudikatif melalui pemberlakuan UndangUndang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU No. 14/1985) dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU No. 2/1986). Pasal 5 UU No. 2/1986 secara eksplisit memberi kewenangan pada Menteri Kehakiman melakukan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dan kewenangan pembinaan teknis pengadilan pada MA. Bahkan, Pasal 13 UU No. 2/1986 memberi kewenangan pada Menteri Kehakiman melakukan pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim sebagai pegawai negeri.
Hal itu semakin mempertegas dualisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman dan sekaligus dominasi lembaga eksekutif
————————
25 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, ibid hal 35-36
M Muhammad asrun op cit hal 5-6
terhadap lembaga yudikatif. Dualisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman juga tampak pada rumusan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 5/1986), Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU No. 7/1989), dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU No. 31/1997).
UU No. 2/1986 memberi status hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU No. 8/1974). Dampaknya, hakim yang berstatus PNS wajib bergabung dalam anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) dan memiliki monoloyalitas terhadap pemerintah. Dalam praktiknya, monoloyalitas itu diartikan sebagai monoloyalitas terhadap Golongan Karya (Golkar) yang merupakan organisasi sosial politik pendukung pemerintah.27
Di bawah manajemen kehakiman dua atap, berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (4) UU No. 14/1970 dan Pasal 32 UU No. 14/1985, MA memegang kewenangan di bidang teknis yudisial. MA berwenang melakukan pengawasan atas peradilan dan tingkah laku hakim pada semua lingkungan dan tingkatan peradilan. Dalam melakukan pengawasan itu, MA dapat meminta keterangan hal-hal teknis peradilan, memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dinilai perlu.
Selanjutnya, Pasal 53 UU No. 2/1986 juga mengatur kewenangan pengawasan oleh Ketua Pengadilan dan Ketua Pengadilan Tinggi. Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris, dan juru sita di daerah hukumnya. Ketua Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Namun, UU No. 14/1985 dan UU No. 2/1986 juga mengatur bahwa pengawasan oleh MA, Ketua Pengadilan
————————
27 A. Muhammad Asrun, ibid., hlm. 14—15.
Tinggi, dan Ketua Pengadilan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Ketentuan tersebut menunjukan pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh sesama hakim. Meskipun ada ketentuan yang mengatur pengawasan hakim tidak boleh mengurangi kebebasan hakim, dalam praktiknya, sistem pengawasan internal terhadap hakim seperti itu mudah menjadi alat kontrol oleh hakim pimpinan terhadap hakim nonpimpinan. Desain sistem pengawasan internal demikian memungkinkan tercederainya kebebasan hakim. Jika itu dikaitkan dengan kuatnya cengkeraman kekuasaan eksekutif terhadap lembaga yudisial, sistem pengawasan internal itu menjadi instrumen perpanjangan tangan kontrol oleh eksekutif melalui hakim pimpinan terhadap kebebasan para hakim nonpimpinan.
Selain itu, sistem pengawasan internal terhadap hakim agung, hakim, dan aparat pengadilan yang dilakukan oleh MA terbukti kurang efektif. Hal itu disebabkan sangat minim transparansi dan akuntabilitas, ada semangat korps, dijalankan setengah hati, kurang melibatkan partisipasi masyarakat, dan bersifat terlalu birokratis.28
Potret kekuasaan kehakiman tersebut berakibat munculnya krisis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk menegakkan keadilan. Itulah sebabnya muncul aspirasi dan desakan melakukan pembaharuan dunia peradilan Indonesia dari sebagian kalangan ahli hukum, praktisi hukum, dan kaum intelektual. Namun, mereka tidak memiliki daya mempengaruhi atau menekan kekuasaan otoriter Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. Kemudian, semakin disadari dan diyakini bahwa prospek pembaharuan peradilan harus terlebih dahulu diawali oleh perubahan dari sistem politik otoriter menjadi sistem politik demokratis. Perubahan sistem politik itu mensyaratkan suksesi aktor rezim otoriter ke aktor rezim demokratis.
————————
28 A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan (Jakarta: ELSAM, 2004), hlm. 198-199
Editor: Dedy TA