
Rasindo group.com – Menurut evaluasi IKAHI, ada tiga hal yang menyebabkan keterpurukan kondisi hukum dan kinerja badan peradilan Indonesia. Pertama, peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan badan peradilan tidak selaras dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945. Kedua, ketentuan dalam UU No. 14/1970 mengabaikan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 UUD 1945. Ketiga, adanya pemecahan kekuasaan kehakiman menjadi dua, yaitu oleh MA untuk hal-hal teknis yuridis dan oleh pemerintah untuk hal-hal adminstrasi, organisasi, dan finansial.29

Salah satu semangat Era Reformasi adalah melakukan pembaharuan lembaga pengadilan. Untuk itu, salah satu upaya yang ditempuh, yaitu melakukan pengalihan kewenangan aspek administrasi, organisasi, dan finansial dari Departemen Kehakiman kepada MA. Hal itu kemudian disebut sebagai berlakunya manajemen kehakiman “satu atap”.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 (UU No. 35/1999) yang mengubah UU No. 14/1970, manajemen pengadilan satu atap mulai berlaku. MA mengurusi semua hal terkait aspek organisasi, administrasi, dan keuangan serta hal teknis yudisial. Maka itu, pendulum kekuasaan kehakiman berubah secara radikal karena semua hal menyangkut organisasi, administrasi, dan keuangan menjadi beralih dari Departemen Kehakiman kepada MA.30 Pengalihan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu lima tahun sejak 31 Agustus 1999, kecuali Peradilan Agama belum ditentukan waktunya. Perubahan itu diiringi dengan suatu harapan kondisi peradilan Indonesia menjadi lebih baik.
———————–
29 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan. 2008) hal. 80
A Ahsin Thohari op cit hal 162
Ketentuan mengenai pengalihan manajemen pengadilan satu atap yang diatur dalam UU No. 35/1999 kemudian mengalami penyesuaian melalui Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4/2004) dan selanjutnya direvisi lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009). Pada Bab IX Ketentuan Peralihan yang terdiri dari Pasal 42 sampai Pasal 46 UU No. 4/2004, ketentuan tentang pengalihan itu diatur lebih detil dengan batas waktu lebih jelas. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara harus selesai dilaksanakan paling lambat 31 Maret 2004.
Khusus untuk lingkungan peradilan agama dan lingkungan peradilan militer, harus sudah selesai paling lambat pada 30 Juni 2004. UU No. 4/2004 mengamanatkan pengalihan itu, yang kemudian ditetapkan pada 23 Maret 2004 dibuat sebagai Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. Dengan adanya pengalihan itu, semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, dan semua PNS di lingkungan peradilan militer beralih menjadi PNS MA.
Bersamaan dengan adanya manajemen peradilan satu atap tersebut, melalui UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 81 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (UU No. 43/1999), juga muncul pengaturan baru mengenai status hakim sebagai pegawai negeri yang menjadi pejabat negara. Pasal 11 UU No. 43/1999 menyebut bahwa “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung serta Ketua, Wakil Ketua, dan hakim pada semua Badan Peradilan adalah pejabat negara”. Dengan demikian, terjadi dualisme status hakim dalam ketentuan itu. Pada satu sisi, hakim yang berstatus sebagai PNS berarti tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi PNS, termasuk dalam hal penggajiannya. Pada sisi lain, hakim berstatus sebagai pejabat negara berarti menimbulkan konsekuensi hakim harus diperlakukan sesuai standar pejabat negara.
Dualisme itu berlanjut hingga sekarang, bahkan ditegaskan lagi dalam pengaturan UU No. 48/2009, khususnya Pasal 19. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Ketentuan itu cukup jelas menyebut status hakim sebagai pejabat negara, bukan sebagai pegawai negeri yang menjadi pejabat negara. Penegasan hakim dengan status sebagai pejabat negara dituangkan juga dalam Pasal 122 huruf e UU No. 5/2014.
Proses pengalihan manajemen peradilan satu atap telah selesai dilakukan. Saat ini, telah berlaku sepenuhnya manajemen peradilan satu atap oleh MA. Namun, manajemen peradilan satu atap ternyata bukan panacea. Masih muncul keraguan dan kekhawatiran bahwa manajemen peradilan satu atap mampu membenahi gurita persoalan peradilan Indonesia. Keraguan terutama terkait dengan kemampuan MA menciptakan kondisi peradilan lebih baik di bawah manajemen peradilan satu atap. Tanpa ada perubahan sistem rekrutmen, mutasi, promosi, dan pengawasan hakim, kewenangan manajeman peradilan satu atap dikhawatirkan hanya mengalihkan monopoli kekuasaan kehakiman dari Departemen Kehakiman kepada MA.
MA sendiri terbukti kurang mampu melaksanakan tugas dan wewenang dalam hal rekrutmen, mutasi, dan promosi hakim secara objektif, termasuk pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan. Ditengarai MA akan mengulangi kelemahan yang dilakukan oleh Departemen Kehakiman. Di samping itu, pengawasan internal yang dilakukan oleh MA juga dinilai tidak berjalan efektif. Hal itu ditambah pula dengan buruknya manajemen perkara, sumber daya manusia, dan keuangan di MA.
Rendahnya kualitas dan integritas personal di jajaran MA semakin melengkapi keraguan terhadap kemampuan MA dalam menjalankan manajemen peradilan satu atap. Kondisi itu mematangkan munculnya gagasan dan kebutuhan pembentukan KY sebagai badan mandiri yang berwenang melakukan pengawasan eksternal terhadap para hakim dan rekrutmen Hakim Agung.31
Perubahan ketiga UUD NRI 1945 menciptakan perubahan struktur ketatanegaraan pada lembaga yudisial, ditetapkan pada 9 November 2001. Dalam perubahan ketiga itu, pengaturan tentang kekuasaan kehakiman tetap ditempatkan pada Bab IX berjudul Kekuasaan Kehakiman dan dicantumkan pada Pasal 24 dan Pasal 25. Karena Majelis Permusyawaratan Rakyat yang melakukan perubahan atas UUD 1945 berkomitmen tetap mempertahankan jumlah 37 pasal dalam UUD 1945, urutan kedua pasal itu tetap ditempatkan dalam Pasal 24 dan Pasal 25; tidak berbeda dengan urutan pasal sebelum perubahan UUD 1945. Perubahan mengenai kekuasaan kehakiman hanya pada Pasal 24, yang kini mendapat tambahan Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C, sedangkan isi Pasal 25 tetap sama dengan sebelum perubahan. UUD 1945 yang sebelum perubahan berjumlah dua pasal dan dua ayat, setelah perubahan menjadi 5 pasal dan 18 ayat.
Melalui perubahan ketiga UUD NRI 1945, kini terdapat perubahan penting kekuasaan kehakiman Indonesia. Pertama, jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman kini telah dicantumkan secara eksplisit dalam batang tubuh UUD NRI 1945; tidak lagi hanya ditempatkan dalam Penjelasan UUD NRI 1945. Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Kedua, di samping MA dan lain-lain badan kehakiman, kini telah ada lembaga baru bernama Mahkamah Konstitusi yang
———————–
31 A. Ahsin Thohari, ibid., hlm. 168—169.
melakukan kekuasaan kehakiman sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Ketiga, perubahan ketiga UUD NRI 1945 juga membentuk sebuah lembaga baru yang bersifat mandiri yang bernama KY yang berwenang mengusul pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pengaturan tentang KY itu terdapat dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) sampai ayat (4).32
Harus diakui, perubahan ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan kehakiman pasca-perubahan UUD NRI 1945 merupakan pencapaian kemajuan signifikan yang patut diapresiasi. Perubahan itu memberi jaminan tegaknya independensi kehakiman yang merupakan faktor penting terwujudnya sistem dan praktik peradilan yang baik. Independensi peradilan merupakan syarat penting menegakkan prinsip rule of law dan menjunjung supremasi hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, “peradilan yang bebas merupakan syarat mutlak dalam suatu negara hukum.”33 Jika hakim kehilangan otonominya, artinya tidak ada kebebasan hakim.34
Namun, penting dicatat, ketentuan dalam UUD 1945 sebelum perubahan dan setelah perubahan—termasuk berbagai UU terkait dengan kekuasaan kehakiman—tetap menempatkan konstruksi kebebasan dan kemandirian kehakiman pada aspek kelembagaan ketimbang aspek personal hakim. Seolah-olah, makna kebebasan dan kemandirian hakim semata-mata menyangkut aspek
———————–
32 A. Ahsin Thohari, ibid., hlm. 2. 33 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 282. 34 Sudikno Mertokusumo, ibid., hlm. 252.
kelembagaan/institusional. Itu pun tergambar dalam perdebatanperdebatan dan usulan-usulan yang muncul dalam proses pembahasan perubahan UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman oleh Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam perdebatan itu, tidak ada yang secara khusus menyinggung dan membahas independensi kekuasaan kehakiman berbasis pada individu hakim. Perdebatan dan usulan yang muncul cenderung berangkat dari semangat ingin memperkuat kedudukan MA dan badan peradilan di bawahnya yang lepas dari pengaruh dan campur tangan lembaga negara lain.35
MA sendiri berupaya memantapkan konstruksi makna tersebut melalui SEMA No. 10/2005 tertanggal 27 Juni 2005. Mencermati isi SEMA No. 10/2005, tampak bahwa pertimbangan dikeluarkannya SEMA itu karena munculnya sorotan, kritik, dan reaksi negatif dari masyarakat terhadap putusan, penetapan, dan tindakan Hakim/Majelis Hakim. Itu disebabkan oleh kurangnya kontrol ketua pengadilan/pimpinan atasan pengadilan terhadap hakim. Kelemahan kontrol itu akibat “kerancuan memahami prinsip kebebasan hakim, yaitu mengidentikkan kebebasan hakim dengan kebebasan lembaga peradilan”. Logika konsideran SEMA No. 10/2005 seolah menunjukkan bahwa persepsi dan reaksi negatif publik terhadap lembaga yudisial berakar pada adanya kebebasan personal hakim dalam melaksanakan tugasnya.
Atas dasar tersebut, MA kemudian menafsirkan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 (hasil Perubahan Ketiga tahun 2001) sebagai “kemerdekaan, kebebasan, atau kemandirian adalah bersifat kelembagaan (lembaga peradilan)”. Artinya, penafsiran MA itu menekankan kebebasan dan kemandirian lembaga kehakiman, bukan personal hakim.
———————–
35 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op.cit., khususnya Bab III dan Bab IV, hlm. 25-281
Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 memang tidak secara eksplisit menyebut rinci maksud kemerdekaan kehakiman sehingga membuka ruang penafsiran berbeda. Buku yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie berjudul Komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara khusus mengomentari pasal per pasal original intent UUD NRI 1945 setelah dilakukan empat kali perubahan/amendemen, misalnya, tidak secara tegas menyebut kebebasan hakim sebagai kebebasan personal atau kebebasan institusional. Mengomentari Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, Jimly Asshiddiqie hanya menyoroti pentingnya independensi yudisial sebab tanpa adanya peradilan bebas, tidak ada negara hukum dan demokrasi. “Demokrasi hanya ada apabila diimbangi oleh rule of law, tetapi rule of law hanya ada apabila terdapat independence of judiciary.”36
Selanjutnya, karena ada ketidakjelasan mengenai pengertian kebebasan hakim sebagaimana disebut dalam Pasal 32 ayat (5) UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung (yang tidak diubah oleh UU No. 5 Tahun 2004), SEMA No. 10/2005 menyatakan bahwa prinsip kebebasan hakim harus dilihat berada dalam kerangka prinsip kebebasan lembaga peradilan. Oleh karena itu, melalui SEMA No. 10/2005, MA secara eksplisit menyatakan bahwa “Hakim adalah subsistem dari lembaga peradilan, yaitu sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman sehingga kebebasan hakim haruslah selalu berada dalam koridor kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman.”
Selain itu, juga ditegaskan bahwa “Putusan hakim secara filosofis adalah bersifat individual, namun secara administrative adalah bersifat kelembagaan, karena setelah putusan itu diucapkan maka putusan itu menjadi putusan pengadilan (lembaga), yang berarti telah terjadi deindividualisasi”. Atas dasar itu, MA membolehkan pimpinan pengadilan memberi arahan dan
———————–
36 Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 95.
bimbingan bagi para hakim yang bersifat nasihat atau petunjuk, baik secara umum maupun dalam perkara-perkara tertentu tanpa mengurangi kebebasan hakim. Dalam operasionalnya, SEMA No. 10/2005 mempedomani SEMA No. 5 Tahun 1966 yang substansinya dinilai masih relevan dan aktual.
Melalui SEMA No. 10/2005, MA tampak ingin menanamkan pemahaman di kalangan para hakim di lingkungan MA bahwa yang dimaksud dengan kebebasan hakim adalah kebebasan kekuasaan lembaga peradilan—bukan kebebasan individual hakim—dan hakim adalah subsistem dari lembaga peradilan. Jika dicermati isi SEMA No. 10/2005 dan SEMA No. 5 Tahun 1966, memang tidak secara terang menyatakan bahwa Hakim/Majelis Hakim harus mematuhi tanpa syarat nasihat pimpinan pengadilan terkait dengan perkara tertentu yang sedang ditangani. Bahkan, dengan dipedomaninya SEMA No. 5 Tahun 1966, sebetulnya kebebasan individual hakim sama sekali tidak terhapus. Namun, dalam praktiknya, SEMA No. 10/2005 berpotensi mempengaruhi kebebasan individual hakim dalam konteks relasi administratif dan psikologis hakim dan pimpinan pengadilan, terlebih jika dikaitkan dengan adanya otoritas pimpinan pengadilan dalam memberikan penilaian “DP3”37—yang berpengaruh terhadap prestasi dan promosi hakim bagi hakim yang berada dalam pimpinannya. Oleh karena itu, SEMA No. 10/2005 boleh jadi dimaknai sebagai “intimidasi” internal pimpinan lembaga yudisial terhadap kebebasan hakim.
Pasca berlakunya manajemen peradilan satu atap dan perubahan ketentuan konstitusional tentang kekuasaan kehakiman, memang betul, kini, independensi lembaga kehakiman relatif bebas dari intervensi lembaga negara lain, khususnya lembaga eksekutif. Namun, penting dicatat bahwa sejak berlakunya manajemen peradilan satu atap, sebetulnya keterlibatan lembaga eksekutif
———————–
37 Sejak tahun 2011 sistem penilaian berdasarkan DP3 diganti dengan SKP (sasaran kerja pegawai)
tidak sepenuhnya hilang. Lembaga eksekutif masih memiliki wewenang mengatur hak-hak hakim sebagai pejabat negara pelaksana kekuasaan kehakiman melalui instrumen peraturan presiden. Itu dapat menjadi pintu masuk bagi kekuasaan eksekutif untuk menggunakan wewenangnya mempengaruhi kekuasaan kehakiman.
Lembaga eksekutif dapat mengeluarkan peraturan presiden karena memiliki justifikasi berdasarkan beberapa undang-undang terkait dengan kekuasaan kehakiman mengatur bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan”.38
Menurut seorang hakim PTUN Semarang yang mengajukan pengujian undang-undang itu kepada MK, frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, menimbulkan multitafsir karena menimbulkan ketidakjelasan peraturan perundang-undangan apa yang mengaturnya. Dalam praktiknya, lembaga eksekutif menggunakan dasar hukum peraturan presiden yang sebetulnya tidak tepat karena bermakna bahwa presiden menggunakan wewenang eksekutifnya untuk terlibat mempengaruhi kekuasaan kehakiman. Seharusnya, pengaturan itu melalui peraturan pemerintah, bukan melalui peraturan presiden. Hal itu mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya hak-hak konstitusional hakim sebagai pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman. Frasa itu dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Melalui Putusan No. 37/PUU-X/2012 yang diucapkan oleh Majelis Hakim Konstitusi pada 31 Juli 2012, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan bahwa frasa “diatur dengan peraturan perundang
———————–
38 Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Pasal 24 ayat (6) tentang UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan 2 atas undang-undang No 2 tahun 1986 tentang peradilan umum.
undangan” adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Putusan MK itu dapat dikatakan memurnikan dan memantapkan penerapan manajemen peradilan satu atap.
Di samping itu, perlu pula dicatat bahwa perubahan peradilan menjadi satu atap ternyata tidak serta-merta memberi kebebasan kepada personal hakim agar sepenuhnya merdeka melaksanakan tugas yudisial sebagai hakim. Potensi ancaman terhadap independensi personal hakim kini beralih berada pada lembaga yudisial. MA berperan sebagai pengawas dan pembina tertinggi bagi hampir seluruh lingkungan pengadilan dan para hakim pimpinan (Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan) yang juga berwenang melakukan pengawasan terhadap hakim di wilayah hukumnya. Kini, MA menjelma sosok yang mampu menggerus kebebasan para hakim nonpimpinan yang nasib karier mereka sangat ditentukan oleh para hakim pimpinan.
Di samping itu, kultur birokratisasi di lingkungan MA pasca manajemen peradilan satu atap memposisikan pejabat birokrat teras MA berperan sentral atas nasib para hakim nonpimpinan. Kedudukan dan peran Sekretaris MA sangat menentukan nasib karier para hakim nonpimpinan. Itu berpotensi mencederai atau mempengaruhi independensi personal hakim dalam melaksanakan tugas kehakiman.
Sejauh ini, makna independensi kekuasaan kehakiman cenderung lebih ditekankan pada aspek independensi kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan eksternal dan cenderung mengabaikan aspek independensi kehakiman dari pengaruh internal kekuasaan kehakiman. MA—sebagai strata tertinggi dalam struktur kehakiman di Indonesia—tampak ingin memelihara makna independensi kekuasaan kehakiman sebagai independensi institusional kekuasaan kehakiman; bukan sebagai independensi personal para hakim.
Sejak berlangsungnya arus perubahan di Indonesia pada Era Reformasi—yang memungkinkan terjadinya pembaruan kekuasaan kehakiman, tidak ada keinginan atau upaya serius dari MA untuk mendorong muncul pemaknaan baru independensi kekuasaan kehakiman yang bertumpu pada independensi kekuasaan personal hakim. MA hanya menyambut dengan tangan terbuka pembaruan dunia peradilan yang hanya fokus pada independensi kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan eksternal dan memperkuat independensi kekuasaan kehakiman yang bersifat kelembagaan.
Kecenderungan cara pandang MA tersebut setidaknya tercermin dari cetak biru (blue print) yang telah dirumuskan dan diterbitkan oleh MA. Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI 2003 maupun Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010—2035 tidak memberi perhatian khusus terhadap independensi kekuasaan kehakiman berbasis personal hakim.39 Kedua Cetak Biru itu hanya menyoroti pembaruan aspek teknis yudisial dan aspek teknis organisasi, administrasi, dan keuangan lembaga peradilan. Visi dan misi yang dirumuskan dalam kedua Cetak Biru itu juga tidak menggambarkan keinginan memperkuat independensi personal hakim. Dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI 2003, disebutkan visi MA sebagai berikut:
“Mewujudkan supremasi hukum melalui Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, efektif, efisien, serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional, dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau, dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik”.
Untuk mencapai visi tersebut, ditetapkan misi MA, yaitu:
- mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undangundang dan peraturan serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;
- mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain;
- memperbaiki akses pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat;
- memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan;
- mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat, dan dihormati; serta
- melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak, dan transparan.
Sementara itu, dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010— 2035, disebutkan visi Badan Peradilan yang telah dirumuskan oleh Pimpinan MA pada 10 September 2009 adalah: “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”.
Untuk mencapai visi tersebut, telah ditetapkan beberapa misi Badan Peradilan 2010—2035. yaitu:
- menjaga kemandirian badan peradilan;
- memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan;
- meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan; dan
- meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
Tampak jelas dari visi dan misi kedua Cetak Biru di atas bahwa MA tidak memberi perhatian terhadap makna independensi kekuasaan kehakiman yang berbasis pada independensi personal hakim. Namun, Cetak Biru itu lebih memberi makna pada independensi kekuasaan kehakiman yang bertumpu pada institusional. Itulah yang relatif luput dari serangkaian pembaruan peradilan yang berlangsung di Indonesia sejak era reformasi.
Editor: Dedy TA