
Rasindo group.com – Ranah hakim dan kekuasaan kehakiman yang distrukturkan oleh hukum, berikut implikasinya bagi kemandirian hakim. Buku ini juga menjelaskan bahwa ada persoalan besar yang sangat terkait dengan rumusan peraturan perundangundangan tentang kekuasaan kehakiman dan implikasinya bagi minimnya kemandirian hakim. Rumusan peraturan perundangundangan yang bermasalah, dapat berimplikasi buruk terhadap keberadaan dan kinerja hakim di lapangan.
Meskipun dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sudah dirumuskan kekuasaan kehakiman yang merdeka, namun praktiknya tidak mudah. Terjadi tarik-menarik yang begitu kuat antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif dalam pergulatan politik-hukum di Indonesia.
Pada zaman Soekarno, di bawah kebijakan Demokrasi Terpimpin, kebebasan dan otonomi hakim mengalami keterbatasan. Demikian pula pada zaman Soeharto, karena melalui kebijakan pertumbuhan ekonomi sebagai panglima, lembaga eksekutif kembali menguasai lembaga yudikatif. Kedua rezim itu
—————————-
2 Ian McLeod, Legal Theory, (US: Palgrave Macmilan, 2003), hlm. 150 – 160.
mengukuhkan kekuasaan eksekutif terhadap yudikatif melalui diterbitkannya berbagai undang-undang (UU). Refleksinya tampak dari pihak pemerintah yang tidak pernah kalah sebagaimana dalam penelitian Pompe ketika berperkara melawan masyarakat selama 40 tahun.3 Hal itu terjadi karena pemerintah selalu berposisi sebagai repeat player; pihak yang memiliki segala sumber daya untuk memenangkan perkara, seperti dikatakan Marc Galanter.4
Pada era Orde Baru, berlaku sistem dua atap. Hakim dalam aspek teknis peradilan berada di bawah MA. Akan tetapi, dalam urusan organisasi, administrasi, dan keuangan, hakim berada di bawah birokrasi pemerintah (Departemen Kehakiman). Begitu kuatnya kekuasaan eksekutif sampai sukar membedakan hakim sedang mengabdi kepada pemerintah atau partai politik yang sedang berkuasa. Dalam praktiknya, hakim lebih tunduk kepada eksekutif yang lebih menentukan kesejahteraan dan karier mereka. Bahkan, eksekutif dapat menggunakan kekuasaan politiknya untuk mendapatkan loyalitas hakim. Pada masa itu juga, hakim diberi status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang monoloyalitasnya ditujukan kepada pemerintah.
Sementara itu, berkaitan dengan fungsi teknis yudisialnya, berlaku pengawasan internal MA terhadap hakim. Pengawasan internal itu dilakukan oleh hakim dengan kedudukan yang lebih tinggi terhadap hakim yang berada di bawahnya. Kendati berada di bawah atap MA, tetapi begitu kuatnya kekuatan eksekutif sampai bisa menembus wilayah yudisial. Jadi, dalam relasi kekuasaan
—————————-
3 Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012).
4 Repeat player adalah pihak yang memiliki sumber daya yang diperlukan dalam memenangkan sengketa di pengadilan, seperti kekuasaan, kapital, informasi, jaringan. Sementara itu, one shoter adalah pihak yang tidak memiliki sumber daya itu. Negara memang sering berposisi sebagai repeat player ketika berhadapan dengan masyarakat. Namun, negara tidak selalu bertindak demikian karena ketika berhadapan dengan korporasi yang memiliki sumber daya lebih besar—misalnya, bisa juga berposisi sebagai one shoter. Marc Galanter, “Why the Haves Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change”, Law and Society Review 9 (1974), hlm. 95 – 160.
yang timpang itu, wilayah pengawasan internal hakim pun dapat digunakan untuk menekan hakim agar loyal kepada eksekutif. Gambaran dunia peradilan pada waktu itu adalah penyalahgunaan kekuasaan yang potensial terjadi dan tumbuh suburnya nepotisme dan korupsi dalam tubuh lembaga peradilan.
Datangnya era reformasi yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru sangat signifikan pengaruhnya terhadap reformasi pengadilan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 (UU No. 35 Tahun 1999) merupakan tonggak kebijakan satu atap. MA mengurusi semua aspek, termasuk urusan administrasi, keuangan, dan organisasi yang sebelumnya berada di tangan eksekutif. Pengalihan itu dilakukan secara bertahap untuk pengadilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Pengejawantahan dari pengalihan dua atap menjadi satu atap itu dilakukan pada tahun 2001 melalui amandemen ketiga UUD 1945, yang normanya diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.5
Dalam praktek kekuasaan kehakiman yang merdeka, terdapat empat permasalahan. Pertama, rumusan norma hasil amandemen ketiga itu hanya menitikberatkan kemerdekaan institusi, sementara kemerdekaan personal hakim terabaikan. Kemandirian lebih ditekankan kepada struktur lembaga-lembaga pengadilan dibanding personal hakim. Hal itu berimplikasi pada adanya personifikasi kekuasaan kehakiman dalam jabatan struktural, seperti Ketua Mahkamah Agung, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Negeri, dan para pelaksananya-bukan kepada para hakim. Dalam hubungan semacam itu, ada relasi atasan-bawahan secara administratif yang mengaburkan kemandirian hakim.
—————————-
5 Di dalam UU No. 35 Tahun 1999, pengaturan soal sistem satu atap memang menjadi aturan formil yang pertama. Tapi dalam UU tersebut pengaturan sistem satu atap hanya pada pengalihan fungsi dari eksekutif ke yudikatif, belum pada pengakuan terhadap kemerdekaan institusi yudikatif, dalam hal ini MA. Barulan ditahun 2001, pengakuan yang formil itu diwujudkan. Perwujudan itu diatur dalam dasar hukum tertinggi negara, yaitu UUD 1945. Dengan adanya ini, maka dalam konteks aturan seharusnya kekuasaan kekuasaan yang merdeka sudah lengkap.
Selanjutnya pada tahun 2005, ternyata praktek kemerdekaan yang lebih menitikberatkan pada institusi dibanding personal itu diperkuat. Penguatan itu dapat dilihat melalui penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Bimbingan dan Petunjuk Pimpinan Pengadilan Terhadap Hakim/ Majelis Hakim Dalam Menangani Perkara (SEMA No. 10/2005). Dalam SEMA tersebut, kemandirian kekuasaan kehakiman masih dimaknai sebagai kemandirian lembaga saja. Hakim diandaikan sebagai subordinasi dari lembaga peradilan. Pemaknaan itu tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip independensi hakim yang diakui secara internasional, misalnya The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002) yang mengutamakan kemandirian personal hakim, dibandingkan kemandirian institusional.6
Kemandirian hakim yang lebih berat diletakkan pada institusi menyebabkan cita-cita dalam amendemen ketiga UUD 1945 tersebut sukar terwujud. Rumusan yang meletakkan kekuasaan kehakiman lebih kepada institusi ternyata juga merefleksikan ketidakseimbangan antara kekuasaan institusi dan kebebasan personal hakim. Hal itu berdampak pada tidak terciptanya sistem yang mampu mendukung hakim menegakkan keadilan dan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang dituangkan dalam putusannya.
Ironisnya, sebagai penjaga gerbang keadilan, sebagian hakim memandang bahwa mereka masih harus memperjuangkan keadilan bagi dirinya sendiri. Kemandiriannya sebagai hakim belum terwujud sejak amandemen ketiga UUD 1945 dan pembentukan peraturanperaturan pelaksanaannya. Selain itu, mereka merasa kerap dipersalahkan oleh masyarakat yang berpendapat bahwa putusan mereka buruk dan bernuansa korupsi. Mereka juga diberi labellabel yang tidak menguntungkan. Masyarakat tidak paham, dibalik
—————————-
6 Lihat, The Bangalore Principles Of Judicial Conduct tahun 2002, diakses dari http:// www.unodc.org/pdf/crime/corruption/judicial_group/Bangalore_principles. pdf, pada tanggal 21 Mei 2012.
sebutan penghormatan “Yang Mulia” dari para pencari keadilan, para hakim menghadapi banyak persoalan yang tersembunyi.
Persoalan kedua adalah ketidakmampuan MA dalam menciptakan sistem rekrutmen, mutasi, promosi, dan pengawasan hakim yang transparan dan adil pada sistem satu atap. Praktik kinerja MA ternyata telah menyebabkan munculnya keraguan bahwa MA hanya menggantikan tirani kekuasaan pemerintah. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan kehakiman di tangan lembaga diimplementasikan dengan munculnya orang-orang yang memegang kekuasaan menentukan nasib para hakim. Bahkan, di tangan para petinggi MA ditentukan siapa yang diterima sebagai hakim, di mana lokasi penempatannya, dan ke mana hakim tersebut akan dimutasi dan dipromosikan.
Persoalan ketiga adalah proses pengadilan masih ditandai oleh buruknya manajemen perkara, pengelolaaan sumber daya manusia dan keuangan, serta pengawasan internal. Lemahnya pengawasan internal pada akhirnya melahirkan gagasan pembentukan KY, yang khusus berfungsi melakukan pengawasan eksternal terhadap hakim dan melakukan rekrutmen Hakim Agung.
Persoalan keempat adalah menyangkut status hakim yang masih mengalami dualisme, yakni disatu sisi telah ditetapkan hakim sebagai pejabat negara, tetapi pada waktu bersamaan masih melekat kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Hakim sebagai pejabat negara diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009), dan Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU No. 5/2014). Namun dalam penerjemahan ketentuan pelaksana masih diatur oleh aturan lama. Contohnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Kepangkatan Hakim (PP No. 41/2002) yang notabene masih menggunakan sistem PNS. Padahal menurut teori perundang-undangan, keberlakuan suatu norma peraturan yang keberadaannya merupakan pelaksana dari aturan undang-undang bergantung pada masa berlakunya undang-undang tersebut. Artinya jika UU No. 43/1999 sudah dicabut keberlakuannya dengan UU No. 5/2014, maka seharusnya PP No. 41/2002 tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Belakangan untuk mengisi kebutuhan hakim, diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim (PERMA No. 2/2017) yang masih mengikuti rezim PNS. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kedudukan hakim sebagai PNS atau pejabat negara. Hal itu dipertanyakan oleh sebagian hakim, sebab bila kedudukannya sebagai pejabat negara, mengapa gaji pokoknya lebih kecil daripada PNS.7 Hakim juga mengeluhkan ketiadaan fasilitas yang memadai di daerah penempatan, terutama hakim yang ditempatkan jauh dari keluarga sehingga membutuhkan dana untuk menjenguk keluarga. (Sumber komisiyudisial.go.id)
Editor: Dedy TA