
Rasindo group.com – Hakim yang dipersonifikasikan dalam sosok manusia terpilih yang disebut “kadi” sering juga digambarkan sebagai Dewi Themis dengan mata tertutup sebagai simbol kenetralan dan imparsialitas; tidak akan menengok ke kanan atau kiri atau bermain mata dengan salah satu pihak yang berperkara. Dalam ajaran filsafat hukum klasik, hakim itu harus lurus mengikuti “kewajiban tak bersyarat” tanpa boleh ada niat untuk berpikiran culas. Maka itu, menurut Montesquie, hakim hanya berperan sebagai la bouche qui prononce les paroles des lois (sebatas corong yang membunyikan kata-kata undang-undang) semata.
Dengan melihatnya dalam struktur organisasi dan secara mekanis, hal itu menjadikan hakim sebagai orang yang bebas nilai dan bersih dari kepentingan, karena dilepaskan dari segala yang bersifat manusiawi dan terhindar sama sekali dari pengaruh lingkungan. Persoalannya adalah bagaimana mungkin hakim dapat bekerja menganalisis kasus dengan hanya ”murni” mendasarkan diri pada norma hukum yang berlaku.
—————————-
7 Wawancara dengan hakim sepanjang tahun 2012, sebelum diterbitkannya PP Nomor 94 Tahun 2012 Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada dibawah Mahkamah Agung.
Dalam realitasnya hakim sangat dipengaruhi oleh identitas yang beragam, setidaknya berdasarkan sejarah kehidupan, etnisitas, dan tradisi kultural, kelas, keyakinan agama, pandangan politis, kelas, gender, bahkan ideologi keilmuan. Dengan demikian, putusan “yuridis-normatif” sebenarnya juga mengandung klaim “sosiologis-kultural” sejalan dengan keberagaman dan tumpang tindih identitas dalam diri seorang hakim. Meskipun demikian, hal itu kadang tidak disadari oleh hakim sendiri maupun masyarakat luas. Kesadaran bahwa hakim adalah manusia mendorong kita untuk melihat hakim dalam kualitas kemanusiaan secara penuh.
Dengan demikian, penting untuk melihat bahwa hakim juga merupakan produk dari masyarakat. Masyarakat dengan nilai-nilai yang bergeser dan permisif terhadap perbuatan tindak pidana korupsi kemungkinan juga melahirkan hakim yang tidak sensitif terhadap perbuatan tindak pidana korupsi. Contohnya, hakim yang menafsirkan perbuatan korupsi hanya sebatas teks undang-undang semata—ada unsur memperkaya diri sendiri dan merugikan negara dari para pegawai pemerintah dan korporasi—akan menyebabkan tindakan korupsi yang demikian luas keragaman dan cakupannya itu tidak dapat dikategorikan sebagai korupsi. Hakim sukar melahirkan temuan hukum baru yang keluar dari keadilan prosedural formal dan memikirkan keadilan substansial. Dalam konteks itu, berikut pendapat Aharon Barak:
The judge is a product of his times, living in and shaped by a given society in a given era. The purpose of objectivity is not to sever the judge from his environment … A judge does not operate in a vacuum. A judge is part of society, and society influences the judges. The judge is influenced by the intellectual movements and the legal thinking that prevail. A judge is always part of the people.8
Itulah sebabnya juga menjelaskan bagaimana hakim memaknai keberadaannya sebagai bagian dari masyarakat, bahkan produk dari masyarakatnya. Hal itu berdampak pada cara hakim merespon berbagai perkara yang harus diputuskannya. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mempelajari pemaknaan hakim terhadap dirinya sebagai bagian dari struktur hukum dalam institusi penegakan hukum. Secara mikro, melihat hakim sebagai manusia biasa yang secara psikologis di satu sisi memiliki perasaan takut, berani, tergoda untuk berbuat khilaf, dan sebagainya.9 Di sisi lain, hakim juga makhluk sosial yang memiliki rasa ingin bertanggung jawab dan jujur dalam putusan-putusannya. (Sumber komisiyudisial.go.id)
Editor: Dedy TA