
Rasindo group.com – Hakim pada dasarnya memiliki peran dan posisi yang sangat sentral dalam penegakan hukum dan keadilan. Begitu sentralnya peran hakim, oleh Sydney Smith digambarkan dengan Nation Fall When Judges Are Unjust. Sementara itu, B. M. Taverne, seorang pakar hukum negeri Belanda selalu menggambarkan hakim dengan pernyataan, berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun. “Danang Wijayanto”
Permasalahan yang dihadapi oleh hakim terkait dengan keberadaannya dalam ranah hukum negara dan organisasi pengadilan, yang menempatkan hakim dalam struktur dan jenjang kepangkatan beserta konsekuensi administratifnya. Dalam hal ini hendak dijelaskan bagaimana kekuasaan kehakiman, yang oleh peraturan perundang-undangan, lebih mengedepankan kemandirian pada institusi dibanding personal hakim. Padahal kemandirian hakim sebagai personal sangat dibutuhkan untuk dapat menjalankan kewajibannya secara bebas, tanpa intervensi, dan bertanggungjawab.
Konsep kekuasaan kehakiman dalam hukum Indonesia sangat terkait dengan dinamika politik sejarah Indonesia. Kekuasaan kehakiman telah didesain untuk mendukung kekuatan politik penguasa, baik pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Pada Era Reformasi, penyalahgunaan kekuasaan itu dikoreksi dengan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berupaya mendudukkan posisi lembaga peradilan dan hakim terlepas dari kekuasaan eksekutif. Namun, ada yang tidak disadari bahwa sesudah amendemen UUD 1945, kemerdekaan hakim secara personal justru dihilangkan.
Hal tersebut berdampak besar, karena intervensi kekuasaan eksekutif terhadap yudikatif yang pernah terjadi pada masa silam berganti tuan menjadi kekuasaan lembaga yang terlalu besar dominasinya terhadap personal hakim. Implikasinya, kemandirian personal hakim terkikis.
Isu penting lain yang mendapat perhatian dalam buku ini adalah hakim sebagai produk masyarakat dan budaya tempat dia berasal dan berada. Hakim sebagai pribadi dengan berbagai latar belakang dan realitas pengalamannya menjadi penting untuk dipelajari. Dengan memahami keberadaan hakim dari beberapa sisi itu, maka dapat diperoleh penjelasan yang komprehensif tentang berbagai persoalan yang dihadapi hakim. Dengan demikian, didapatkan pula penjelasan bagaimana fungsi dan peran hakim dijalankan, kendala yang dihadapi, serta akses dan dukungan dalam memaksimalkan segala pengetahuan dan kemampuannya, sehingga menghasilkan kualitas putusan yang baik dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Ada beberapa latar belakang yang mematangkan gagasan mengapa buku ini disusun. Pertama, adanya keluhan dari hakim tentang posisinya dalam struktur lembaga pengadilan yang berimplikasi pada minimnya kemandirian hakim. Kedua, dalam rangka kepentingan akademik, mengingat kurangnya perkembangan yang mengesankan dari putusan pengadilan atau yurisprudensi, bagi kepentingan pendidikan tinggi hukum dalam tahun-tahun terakhir, maka perlu diketahui penjelasannya.
Kebutuhan untuk menjelaskan berbagai permasalahan hukum, pengadilan, dan hakim, perlu menggunakan pendekatan interdisipliner. Pendekatan itu, menurut Aharon Barak, bisa bermacam-macam, seperti realisme hukum, positivisme, natural law movement, legal process movement, dan studi kritis terhadap hukum. Selain itu, Barak juga mengatakan bahwa hukum mengatur relasi antar orang dan merefleksikan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat.1 Peran hakim adalah memahami tujuan dari hukum dalam masyarakat, menggali keadilan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, karena hukum dalam masyarakat itu bagaikan organisme hidup. Hukum dalam masyarakat selalu faktual dan berada dalam perubahan terus-menerus. Perubahan itu dapat bersifat minor dan perlahan-lahan sehingga sukar diamati, tetapi juga bisa bersifat drastis. Hubungan hukum dengan realitas yang begitu cair menyebabkan hukum juga selalu berubah. Dalam banyak hal, perubahan dalam hukum merupakan akibat dari perubahan realitas sosial.
Akan tetapi, ada kalanya hukum teratih-tatih mengikuti perubahan masyarakat, sehingga menimbulkan “jurang” antara masyarakat dan hukum. Artinya, hukum tidak mungkin berada di ruang kedap air, melainkan berupaya beradaptasi menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Sejarah hukum adalah sejarah adaptasi terhadap kebutuhan akan kehidupan yang berubah. Dalam hal itu, hakim memiliki peran dan tanggung jawab yang utama untuk membuat perubahan hukum.
Hakim dapat melakukan perubahan dengan cara menginterpretasikan hukum. Dalam hal itu, peran hakim menjadi signifikan menjembatani jurang antara hukum yang ketinggalan zaman dan perkembangan masyarakat. Seorang hakim tidak bisa mengatakan urusan perubahan hukum adalah tanggung jawab lembaga legislatif semata. Pengadilan harus mengambil peran perubahan hukum secara bersama-sama dengan lembaga legislatif.
Melihat hukum, masyarakat, pengadilan, dan hakim tidak bisa berdiri sendiri. Hubungan itu bersifat dinamis, karena perubahan yang terjadi pada satu aspek mempengaruhi aspek-aspek lain. Persoalannya, perubahan hukum yang mengikuti perubahan masyarakat itu bagaikan pedang bermata dua. Ketika perubahan hukum secara sadar dilakukan untuk dapat menangkap kebutuhan masyarakat, jurang perbedaan antara keduanya dapat dijembatani. Akan tetapi, hukum juga dapat dijadikan alat mendefinisikan kekuasaan untuk mencapai tujuan dari elite politik. Lebih parah lagi, hukum diubah untuk memenuhi kepentingan penguasa dengan cara merepresi kepentingan masyarakat banyak yang relatif tidak memiliki kekuasaan.2 Melalui perspektif kritikal itulah dapat diamati sejarah politik di Indonesia, yang mana kekuasaan kehakiman dan kemandirian hakim bahkan dapat didefinisikan searah dengan tujuan dan kepentingan penguasa. (Sumber rasindonews.wordpress.com)
Editor: Dedy TA