
Rasindo group.com – Berikut ini adalah pandangan dari aliran realis hukum khusus mengenai hakim. Realisme berpendapat bahwa hakim memutuskan sesuatu sesuai dengan preferensi pribadi mereka dan kemudian membangun analisis hukum untuk membenarkan hasil yang diinginkan. Mereka berusaha menunjukkan tindakan mengadili tidak impersonal, melainkan sudah terpengaruh oleh nilai-nilai pribadi hakim.
How do judges judge? … For the realists, the judge “decides by feeling and not by judgment; by ‘hunching’ and not by ratiocination” and later uses deliberative faculties “not only to justify that intuition to himself, but to make it pass muster.13
Realisme hukum percaya pada hal-hal yang didasarkan pada pengalaman secara induktif. Mereka menekankan pentingnya penelitian mengenai kemungkinankemungkinan dan memprediksi hasilnya. Kemudian, mereka memperhitungkan pengaruh berupa unsur-unsur nonlogis, seperti kepribadian dan prasangka. Realisme hukum lebih melihat the rules of law bekerja dalam masyarakat dan mengarahkan perhatian pada hasil akhir sekaligus akibat dari prosedural formal.
Ada persamaan pendapat diantara para tokoh realisme hukum, yakni dalam memutus kasus, para hakim akan merespons stimulus fakta dari kasus tersebut dibandingkan acuan pada aturan hukum dan alasan-alasan formal. Meskipun semua penganut realisme menerima the core claim itu, ada perbedaan pandangan antara dua sayap, yakni The Sociological of Wing of Realism dengan The Indiosyncracy Wing of Realism.14 Pertama, The Sociological of Wing of Realism—diwakili oleh Olphant, Moore, Karl Llywellin, dan Felix Cohen— berpendapat bahwa keputusan pengadilan jatuh dalam pola yang dapat diprediksi. Pola yang dimaksud tentu bukan aturan hukum yang ada, melainkan fakta. Dari fakta itu, kaum realis menyimpulkan bahwa berbagai kekuatan sosial mempengaruhi para hakim, memaksa mereka merespons fakta-fakta dengan cara yang sama dan dapat diprediksi. Pernyataan populer kaum realis, what the judge ate for breakfast determines his or her decision!15 Maksud dari ungkapan putusan
———————–
13 Brian Z. Tamanaha, Beyond the Formalist-Realist Divide, (Princeton: Priceton University Press), 2010. 14 Brian Leitter, American Legal Realism, dalam Philosophy of Law and Legal Theory (diedit oleh Martin P. Golding dan William A. Edmundson), The Blackwell Publishing, 2005, hlm. 54. 15. Ibid
hakim ditentukan oleh sarapan paginya adalah bahwa putusan hakim dipengaruhi oleh latar belakang sosial hakim, kelas sosial, dan gaya hidupnya.
Pandangan kedua, The Idiosyncracy Wing of Realism secara berbeda diwakili oleh Jerome Frank dan Hutcheson. Mereka mengklaim bahwa hal yang menentukan respons hakim terhadap fakta dari suatu kasus khusus adalah fakta yang khusus tentang psikologi atau personalitas dari individu hakim yang bersangkutan. Frank berpendirian bahwa personalitas hakim merupakan faktor sangat penting dalam pengelolaan hukum. Teori konvensional yang menetapkan bahwa rule plus fact = decision dikoreksi oleh Frank. Menurut pandangan Frank, “stimuli yang berdampak pada hakim” (the stimuli affecting the judge) ditambah “personalitas hakim” (the personality of judge) menjadi “putusan” hakim.16 Pada titik itu, terlihat bahwa Frank dipengaruhi oleh psikoanalisis Freud yang mengatakan bahwa kunci personalitas terletak pada kedalaman yang terkubur dari ketidaksadaran.17
Kontribusi realisme hukum adalah hukum dikonsepkan sebagai gejala empiris yang teramati dalam pengalaman masyarakat. Oliver Wendell Holmes—yang kemudian dikenal sebagai tokoh realisme hukum, mengatakan bahwa sekalipun hukum bekerja pada logikanya sendiri, the life of the law has not been logic, it has been experience.18 Experience yang dimaksud adalah pengalaman yang hanya bisa dikaji dengan bersaranakan pendekatan ilmu sosial terhadap hukum, misalnya sosiologi hukum, antropologi hukum, dan psikologi
———————–
16 Jerome Frank, Are Judges Human?, (Pennsylvania: University of Pennsylvania Law Review, 1931), hlm. 242 dikutip oleh Brian Leitter, American Legal Realism, op.cit. hlm. 54.
17 Dalam Brian Z Tamanaha, Understanding Legal Realism, Legal Studies Research Paper Series, ST John’s University School of Law, 2008, hlm.54.
18 Lihat, Oliver Wendell Holmes, The Common Law Lecture
hukum. Oleh karena itu, untuk memahami problematika hakim perlu menggunakan pendekatan interdisipliner.
Pendekatan interdisipliner tersebut salah satunya menggunakan optik behavioral jurisprudence untuk mempertajam perhatian pada fenomena perilaku hakim. Asumsi-asumsi dasar behavioral jurisprudence sebagaimana dijelaskan oleh Glendon Schubert adalah sebagai berikut,
… defines its data on the basis of observations of what kinds of factors influence adjudicatory decisions, what kinds of values are preferred in such decisions, and how the decisions affect the behavior of the people (mendefinisikan data dengan dasar pengamatan terhadap faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi putusan pengadilan, nilai-nilai apa yang digunakan dalam suatu putusan, dan bagaimana putusan tersebut berdampak pada perilaku orang).19
… focuses upon humans who act in adjudicatory roles, and is interested in understanding judges as people—or, better put, people as judges (… memusatkan perhatian pada manusia yang memainkan peran dalam memutus perkara dan tertarik pada pemahaman hakim sebagai manusia atau manusia itu adalah hakim).20
… is very much concerned with understanding the effect that cultural—and subcultural—differences have upon adjudicatory behavior (… sangat memperhatikan pemahaman tentang dampak dari perbedaan kultur dan subkultur terhadap perilaku hakim dalam memutus perkara).21
Menurut Glendon Schubert, hakim adalah manusia biasa, karena itu harus diasumsikan bahwa hakim dan para pihak yang terlibat dalam proses peradilan adalah subsistem biologis manusia dalam kepribadian. Tiga fungsi psikologis
utama dari subsistem kepribadian adalah persepsi, kognisi, dan pilihan-keputusan. Glendon Schubert menggambarkan analisis behavioral jurisprudence dalam melihat perilaku hakim.22
Kolom lingkaran tersebut menggambarkan terjadinya interaksi dan komunikasi, artikulasi kepentingan, dan agregasi. Hal itu menjelaskan juga variabel personalitas berhubungan dengan ruang budaya dan sosial. Sementara itu, ruang budaya merupakan pola yang diterima secara luas dari keyakinan dan nilai-nilai sosial, seperti mitos, adat istiadat, dan hukum. Isi dari ruang budaya itu lebih merupakan nilai nilai ideasional dibanding aktivitas secara langsung yang dapat diamati.
———————–
19 Glendon Schubert, Behavioral Jurisprudence, Law & Society Review, Vol. 2, No. 3, 1996, hlm. 410.20 Ibid. 21 Ibid. 22 Ibid

Tentang budaya hukum, Lawrence M. Friedman memaknainya sebagai nilai, gagasan, sikap, dan perilaku yang berkaitan dengan hukum.23 Komunitas pengadilan— misalnya—mengembangkan budaya hukumnya sendiri yang dibangun dari praktik-praktik hukum dan interaksi seharihari yang kadang berbeda dengan nilai-nilai yang lazim disepakati masyarakat di luar pengadilan.
Segmen sociopsychological (2)—yang tumpang tindih (overlap) antara sistem kepribadian dan sistem sosial— berkaitan dengan sosialisasi individu dan rekrutmen. Segmen itu juga berkaitan dengan atribut dan sikap.
Segmen psychocultural (3)—tempat sistem kepribadian dan budaya saling tumpang tindih—merupakan konsepsi individu atas peran dan ideologinya. Tiga subsistem—yakni personalitas, sosial, dan budaya—berbagi ruang titik bertemu bersama (yang juga, tentu daerah titik bertemu mutual antara tiga segmen dan sociopsychological, psyhocultural, serta sosiokultural). Karena kompleksnya permasalahan hakim dan pengadilan, kerangka teori tidak cukup menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan antropologi hukum, melainkan juga meminjam psikologi hukum.
Psikologi hukum mendekati hukum sebagai salah satu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Ilmu itu mempelajari atau mengkaji perilaku hukum yang mungkin merupakan perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut. Kajian psikologi hukum menekankan faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku individu ataupun
———————–
23 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, (New York: Russel Sage Foundation, 1975), hlm. 15, 194.
kelompok dalam segala tindakannya di bidang hukum, misalnya perilaku atau sikap hakim ketika memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan. Kondisi psikologis hakim dapat memberikan pengaruh terhadap putusannya maupun tindakan aktor-aktor atau penegak hukum lain.
Berikutnya, segmen sosiokultural (4) saling berhubungan antara sistem sosial dan budaya mewakili pola peran kelembagaan dan fungsi keluaran (output) akomodasi serta regulasi dari perilaku orang lain. Ruang tengah, segmen 5, perilaku hakim juga dipengaruhi (sekaligus mempengaruhi) banyak aspek dan variabel.
Behavioral jurisprudence menunjukkan antarvariabel tersebut saling bergantung dan saling mempengaruhi. Karena itu, menurut saran behavioral jurisprudence, untuk memahami—dan mungkin akhirnya dapat memprediksi setiap tindakan individu atau kemungkinan untuk bertindak dalam peran tersebut—perlu mengamati dan memeriksa data yang menyediakan setiap variabel yang relevan.
Apabila dibuatkan konfigurasinya berdasarkan diskusi konseptual di atas, maka pemetaan problematika hakim di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut.24
———————–
24 Hasil diskusi KY di Bandung pada 24 sampai dengan 26 November 2011.


Variabel-variabel di atas memberi pemahaman awal terhadap penelitian tentang gambaran umum bahwa antara hakim dan berbagai persoalan politik, sosial, kultural, psikologis, yang melingkupi dirinya saling berkelindan. Perspektif behavioral jurisprudence menjadikan kita sadar bahwa dunia pengadilan beserta hakim di dalamnya, sangat kompleks, multidimensional, sehingga memotret pengadilan dan hakim harus secara holistik. “Sumber komisiyudisial.go.id)
Editor: Dedy TA