
Rasindo group.com – Muslim (bahasa Arab: مسلم) adalah orang yang berserah diri kepada Allah dengan hanya menyembah dan meminta pertolongan kepada-Nya terhadap segala yang ada di langit dan bumi.
Hukum Islam diturunkan oleh Allah SWT bertujuan untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan kepada kebenaran, keadilan dan kebijakan serta menerangkan jalan yang harus dilaluinya.
Abu Ishaq al-Shatibi merumuskan lima tujuan (hukum) Islam, dalam hal ini bertumpu pada prioritas utama yang disebut sebagai Memelihara Agama (Hifdz Ad-Din), Memelihara Jiwa (Hifdz An-Nafs), Memelihara Akal (Hifdz Al’Aql), Memelihara Keturunan (Hifdz An-Nasb) dan Memelihara Harta (Hifdz Al-Maal) Kelima tujuan hukum Islam tersebut di dalam kepustakaan disebut al-maqasid. Dengan 5 (lima) tujuan ini, maka kemaslahatan kehidupan manusia terpenuhi. Dengan berlandaskan Al Qur’an yang bersifat universal dan dinamis. Dengan kata lain tujuan disyari’atkannya Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia baik rohani maupun jasmani, individual maupun kelompok (Sadiani, 2016: 143. mui.or.id).
Perkawinan dinyatakan putus apabila salah satu pihak meninggal dunia. Alasan-alasan perceraian adalah : selingkuh dengan perempuan lain, memukuli istri Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Memakai atau pengguna Narkoba, berjudi baik judi aplikasi judi kartu ataupun judi-judi yang lainnya, mengusir anak dan Istri dari rumah, cacat badan, berzinah (Syahuri, 2013: 67. PB 3 Nomor 203/Pdt.G/2022/PA.Tnk).
Dalam definisnya perkawinan ialah akad yang mmenghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan karena ikatan suami (Nurpaiz et al., 2020: 2). Hak cerai sepenuhnya berada di tangan suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara semaunya (Manan, 2008: 9).
Undang-Undang tentang Perkawinan menganut prinsip untuk mempersukar (mempersulit) terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang dapat di buktikan secara Hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan juga harus dilakukan di depan sidang pengadilan secara langsung, ketidak hadiran salah satu pihak keputusan sidang tidak bisa di lanjutkan serta di putuskan oleh Hakim. Prinsip yang demikian ini sejalan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk kelarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Usman, 2006: 400). Ketentuan ini diadakan karena dalam kenyataannya di masyarakat, suatu perkawinan banyak yang berakhir dengan perceraian dan tampaknya hal ini terjadi dengan cara yang mudah.
Berhubungan karena itu, terutama kaum wanita, hal tersebut tentulah merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan maka timbul suara-suara yang menghendaki supaya diadakan suatu peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, terutama untuk membatasi kewenang-wenangan pihak laki-laki tersebut (Usman, 2006: 400).
Diantaranya ialah status dari ke dua belah pihak di mata hukum yang khusus mengatur hal ini, dan kemudian ketika salah satunya akan melaksanakan pernikahan kembali maka proses yang akan ditempuh nya pun akan semakin rumit yaitu harus melalui proses di peradilan di wilayah hukum tempat masingmasing.
Maslahat ini dapat terpeliharanya hifdz al din, hifdz al mal, hifdzl al nafs, hifdzl al aql, dan hifdzl al nasab. Apabila terjadi perbenturan antara maslahat dan madharat maka nilai kandungan kemaslahatan yang lebih besar harus diutamakan.
Sehingga hakim pengadilan agama dalam menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaranya dapat mewujudkan kembali pasangan sakinah, mawaddah, dan rahmah, terhadap pasangan yang berselisih. Karena pada dasarnya pernikahan merupakan asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna (Dahwadin et al., 2018: 10)
Pada dasarnya Islam menghendaki setiap perkawinan berlangsung selama-lamanya, sehingga merupakan pasangan suami isteri yang dapat bersama-sama mengatur rumah tangga dan mendidik anaknya dengan baik. Tanpa dasar-dasar pembinaan orang tua terhadap kehidupan anak kemungkinan akan dapat menghancurkan kehidupan umat manusia dan bahkan kebudayaan setiap bangsa. Karena itu setiap orang tua di dalam kehidupan rumah tangga akan dapat dilihat dari hasilnya yang ditunjukan oleh seorang anak dalam pergaulan sehari-hari (Djamal, 1992: 93).
Perceraian di depan sidang Pengadilan Agama sebagaimana terdapat dalam ketetapan Pasal 65 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam menjadi satu keharusan dan kewajiban yang harus dilakukan oleh keluarga atau pasangan yang memiliki masalah keharmonisan antara keluarganya.
Perkawinan merupakan aspek hukum dan menyangkut perbuatan hukum, maka tentu saja tidak semua dan selamanya perkawinan itu dapat berlangsung secara langsung atau abadi. Bahwa perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT. Sebagaimana tertuang dalam hadits sebagai berikut (Rasjid, 2012: 401–402):
Artinya : “Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW, telah bersabda “sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak”. (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah).
Keharusan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan agama ini sejalan dengan ketetapan syari’at Islam bahwa madharat haruslah dihilangkan, dan turunan dari qaidah tersebut apabila terjadi perbenturan antara maslahat dan madharat maka maslahat yang lebih diutamakan. Artinya tugas dan fungsi hakim pengadilan agama merupakan tugas suci, dan dalam hal perkara perceraian hakim pengadilan agama bertugas untuk mewujudkan kembali keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perlu diketahui bahwa kehadiran pengadilan agama ini merupakan salah satu peradilan khusus yang untuk menangani perkara muslim merujuk kepada penganut agama Islam, pemeluk pria disebut dengan muslimin (bahasa Arab: مسلمون, translit. muslimūn) dan pemeluk wanita disebut Muslimah (bahasa Arab: مسلمات, translit. muslimāt).
Perceraian di depan sidang Pengadilan Agama sebagaimana terdapat dalam ketetapan Pasal 65 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam menjadi satu keharusan dan kewajiban yang harus dilakukan oleh keluarga atau pasangan yang memiliki masalah keharmonisan antara keluarganya. Institusi peradilan agama ini merupakan peradilan khusus untuk orang-orang yang beragama Islam (Pasal 1 (1), Pasal 2, dan Pasal 49 (1)). Maslahat ini dapat terpeliharanya agama (hifdz al din), harta (hifdz al mal), jiwa (hifdzl al nafs), akal (hifdzl al aql), dan keturunan (hifdzl al nasab). Apabila terjadi perbenturan antara maslahat dan madharat maka nilai kandungan kemaslahatan yang lebih besar harus diutamakan. Hal ini sesuai dengan qaidah bahwa :
Ártinya : “Jika ada beberapa kemaslahatan berbenturan, maka maslahat yang lebih besar (lebih tinggi) harus didahulukan. Dan jika ada beberapa mafsadah (bahaya, kerusakan) bertabrakan, maka yang dipilih adalah mafsadah yang paling ringan”. Keharusan perceraian di depan pengadilan agama ini semata-mata untuk mewujudkan kehidupan suasana damai, aman, tertib, dan sejahtera. Sehingga hakim pengadilan agama dalam menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaranya dapat mewujudkan kembali pasangan sakinah, mawaddah, dan rahmah, terhadap pasangan yang berselisih. Karena pada dasarnya pernikahan merupakan asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna (Dahwadin et al., 2018: 10).
Mahkota suci seorang hakim adalah kewenangan untuk memutus perkara. Dibilang suci, karena setiap putusan hakim itu akan menentukan nasib seseorang, sehingga petitum seorang hakim haruslah benar-benar ‘bersih dan suci’ dari berbagai interest kecuali kepentingan untuk menegakkan keadilan. Apalagi setiap putusan hakim itu kelak harus dipertanggung jawabkanya di depan sang Khalik Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Untuk melindungi para hakim dalam menerapkan kewenangan yang dimiliknya maka dikenal dengan asas res judicata pro veritate habetur yang artinya bahwa putusan hakim harus dianggap benar hingga ada putusan hakim di tingkat yang lebih tinggi.
Memang semua itu bersifat kasuistis dan dilakukan oleh oknum-oknum dari aparat penegak hukum yang telah dengan sengaja melakukan perbuatan yang masuk dalam kategori contempt of court (baca, melecehkan lembaganya sendiri). Tetapi tetap harus diciptakan sebuah sistem yang bisa mengawasi sekaligus menindak hakim-hakim yang nakal. Para hakim yang memanipulasi kekuasannya untuk memperoleh keuntungan secara pribadi dengan mengabaikan tugasnya untuk menghadirkan keadilan.
Atau cara yang lebih elegan adalah, pemberlakukan konsep judicial liability (pertanggung jawaban hakim), yang dilontarkan oleh Prof. Jongbloed dari Utrech University. Konsep itu bias diakomodasikan dalam proses revisi Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru. Dengan pertanggung jawaban hakim itu setiap putusan masih bisa diuji kembali. Seakligus ada ketentuan sanksi jika putusan hakim itu melenceng dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan konsep itu bisa dieliminir ruang terjadinya penyimpangan dan manipulasi hakim dalam proses pembuatan putusan yang merugikan para pencari keadilan. Karena terbukti proses banding hingga PK yang dilakukan oleh para pemohon seringkali tidak bisa memenuhi rasa keadilan, karena majelis hakim tingkat banding dan PK hanya semata-mata memeriksa judec juris/judec facti pada peradilan di tingkat yang lebih rendah. Sehingga mereka tidak bisa memeriksa pokok perkara, sementara modus yang dilakukan oleh para hakim nakal itu biasanya cukup canggih, sehingga tidak bisa terendus modus komersialisasi putusan yang telah dikeluarkannya. “prolegalnews.co.id”
Editor: Dedy TA