
Rasindo group.com – Oleh : Dr. Julius Sembiring, S.H., MPA.
KATA PENGANTAR
Sejak awal proses penyusunannya, Penulis senantiasa terombang-ambing memikirkan judul yang sekiranya tepat untuk buku ini, apakah Tanah Adat atau Tanah Ulayat. Hal tersebut dikarenakan belum adanya kesepahaman tentang pengertian dan konsep antara tanah adat dengan tanah ulayat. Beberapa literatur misalnya, menyatakan bahwa tanah adat terdiri dari tanah ulayat (tanah yang dikuasai secara komunal), dan tanah adat yang dikuasai secara individual. Tanah Ulayat sendiri dalam pemahaman umum adalah tanah komunal yang mengandung kewenangan yang berkarakter publik dan perdata, namun ternyata ditemukan tanah ulayat yang hanya mengandung karakter perdata.
Selain itu, saat ini populer pula entitas ‘tanah komunal’ yang ternyata tidak dapat dipersamakan dengan tanah ulayat. Entitas ini utamanya muncul sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu; sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.
Secara teknis juridis perbedaan kedua entitas tersebut – tanah ulayat dengan tanah komunal – telah dikupas tuntas oleh Guru kami, Bunda Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, S.H. MCL., MPA., dan saat ini pula sedang dilakukan riset Disertasi di Fakultas Hukum UGM mengenai tanah komunal oleh sejawat kami Mbak Widhiana Hestining Puri, S.H., M.H. dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta. Meskipun demikian pada akhirnya kami berketetapan hati untuk menggunakan judul ‘Tanah Ulayat’, karena istilah tersebut dirasa lebih ‘mengena’, ‘menarik’ dan mempunyai legitimasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Buku ini, di samping membahas konsep dan unsurunsur dasar dari tanah ulayat, memaparkan 2 (dua) persoalan tanah ulayat yaitu tentang politik hukum tanah ulayat dan permasalahan seputar tanah ulayat. Pemilihan dua hal tersebut dikarenakan perdebatan dan permasalahan tanah ulayat telah berlangsung lama. Jika dihitung sejak Agrarisch Wet 1870 dikeluarkan, berarti telah 148 tahun;
dan bila dihitung sejak Kemerdekaan 1945 berarti telah 73 tahun; dan bila dihitung sejak lahirnya UUPA 1960 telah 58 tahun. Dalam pandangan kami, keberlangsungan yang cukup lama itu menunjukkan adanya ‘kekeliruan’ kebijakan yang diambil oleh Negara/Pemerintah dalam persoalan tanah ulayat. Jika ‘kekeliruan’ itu terjadi pada masa Kolonial tentulah hal yang wajar, karena kebijakan tersebut sengaja dibuat ‘keliru’ agar tanah dan sumber daya agraria lainnya di daerah jajahan dapat dimanfaatkan untuk memperkaya pundi-pundi negara penjajah. Namun tidaklah wajar jika kekeliruan itu masih tetap berlangsung di alam kemerdekaan ini. Itulah sebabnya topik yang kami tuliskan adalah Politik Hukum Tanah Ulayat, serta beberapa permasalahan yang menyelimutinya.
Sudah pada tempatnya pula harus diberikan pengakuan yang jujur bahwa kami bukanlah ‘ahli’ Hukum Adat, namun ‘ramai’nya penelitian yang dilakukan oleh taruna/ taruni STPN – dalam penyusunan skripsi – mengenai persoalan tanah adat/ulayat di daerah ‘asal’ tugas mereka masing-masing, menimbulkan ‘gairah’ dan keberanian untuk menuliskan persoalan tanah ulayat. Untuk itu pada kesempatan ini sekaligus diucapkan terimakasih atas ‘sharing’ dan sumbangsih karya tulis tersebut, khususnya yang dijadikan rujukan dalam penulisan Buku ini.
Begitu pula terima kasih disampaikan kepada para Alumni STPN di pelbagai daerah yang namanya tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang kerap dimintakan informasi dan data mengenai berbagai persoalan pertanahan. Kepada rekan sejawat yang selalu menjadi teman berdiskusi di STPN, khususnya Bapak I Gusti Nyoman Guntur, A.Ptnh., M.Si. yang selalu welcome dan bersemangat dalam membahas tentang pendaftaran tanah, khususnya tanah adat di Bali; dan juga rekan-rekan di Fak. Hukum UII Yogyakarta tak lupa pula disampaikan ucapan terima kasih.
Kepada Bapak Rakhmat Riyadi, S.Si., selaku PLH Ketua STPN yang telah memberikan sambutan dan dukungan kami ucapkan terimakasih. Begitu pula kepada Bapak Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M. Hum. selaku Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia yang telah berkenan menyusun ‘Sekapur Sirih’ dihaturkan terima kasih. Sesungguhnya keterlibatan kami di APHA juga telah mendorong semangat untuk menyelesaikan Buku ini.
Kepada STPN Press yang telah berkenan menerbitkan Buku ini disampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya, khususnya kepada Mas Lutfie, Mas Nasir, Mbak Asih dan Mbak Westi yang terlibat aktif dalam proses penyelesaiannya. Semoga kerja keras dan kebaikhatian mereka mendapat balasan yang setimpal dari Allah s.w.t.
Teruntuk Istriku Reni Astuti Nasution, terima kasih untuk setia dan tabah mendampingi. Anak-anakku, M. Dalih Akbar Sembiring, S.S., Nami Yuanasti Sembiring, S.Pd., Via Yustitia Sembiring, A.Md., dan Ayra Azra Muhammad Sembiring, terima kasih untuk memberi warna dan kehangatan dalam kehidupan ini. Salam rindu buat cucu-cucuku yang cantik dan ganteng Ainda Zilena Bangun, Aslan Zein Bangun dan Zaroon El Ghava ‘Surbakti’, yang membuat kehidupan lebih ‘merona’ dan bersemangat. Juga kepada kedua menantu, Ade Ronal Bangun S. Psi., dan Muhammad Ilyas ‘Surbakti’, S.T., terima kasih telah menjadi bagian penting dalam keluarga besar Sembiring Bushok.
Yogyakarta, 17 Agustus 2018. Penulis,
Julius Sembiring
————————————-
SAMBUTAN
sejak jaman dahulu bangsa Indonesia terkenal dengan keanekaragaman suku, budaya, bahasa dan adat istiadatnya. Dari budaya dan adat istiadat masing-masing daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) muncul pengaturan masyarakat, yang salah satunya adalah pengelolaan tanah milik mereka yang berdayaguna dan berhasil guna bagi dirinya sendiri dan bagi kelompoknya. Kemudian dari sinilah muncul hukum adat atas tanah yang mengatur tanah milik baik secara komunal maupun individual. Sebutannya pun beragam ada yang berupa tanah druwe yang merupakan tanah adat pakraman di Bali, tanah adat nagari di Minangkabau, tanah pertuanan di daerah Ambon dan hampir tiap daerah berbeda-beda dalam penyebutannya.
Begitu pula terkait dengan keberadaannya sudah menjadi rahasia umum bahwasanya keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat berbanding terbalik dengan tingkat modernitas penduduk dalam wilayah tersebut. Semakin maju dan bebas penduduk dalam pengelolaan tanahnya, maka hak perseorangan akan semakin kuat sehingga hak ulayat semakin melemah. Tetapi sebaliknya jika hak perseorangan melemah maka hak ulayatnya menguat. Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Dengan diterbitkannya buku karya Dr. Julius Sembiring yang memaparkan 2 (dua) persoalan tanah ulayat yaitu tentang politik hukum tanah ulayat dan permasalahan seputar tanah ulayat, semakin memperjelas bagaimanakah kedudukan tanah ulayat sekarang. Permasalahan seputar tanah ulayat tidak akan pernah ada habisnya selama masih adanya misperception ketidakjelasan kemanakah tanah ulayat ini akan diletakkan dewasa ini beserta politik hukum yang melatarbelakangi hak-hak ulayat dewasa ini.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca, akademisi, jajaran pertanahan, pemerhati hak ulayat masyarakat hukum adat sekaligus menjadi pelecut semangat untuk melahirkan karya-karya lainnya yang menyumbangkan pemikiran agraria secara luas, tidak hanya dalam lingkup hukum tanah adat. STPN memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi semua pihak untuk mempublikasikan ide-ide pemikiannya melalui STPN Press. Hal ini penting sebagai literasi keagrariaan guna membangun kepedulian terhadap issue-issue pertanahan yang krusial dan perlu segera ditindaklanjuti.
Yogyakarta, 20 Agustus 2018 Plh. Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Rakhmat Riyadi, S.Si., M.Si.
————————————-
SEKAPUR SIRIH
Jauh sebelum negara Republik Indonesia berdiri, telah hidup bermacam-macam masyarakat adat dalam komunitas-komunitas yang tersebar di seantero Nusantara. Masyarakat adat merupakan komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Kebijakan dan sikap pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan sering secara sistematis menghancurkan kebudayaan masyarakat adat yang kehidupannya sangat tergantung dengan sumberdaya yang terkandung dalam tanah ulayat. Kebijakan pembangunan yang sematamata berorientasi dan mengejar pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan paradigma pembangunan yang berbasis pemerintah melalui dukungan instrumen hukum yang bercorak represif, pada akhirnya akan menimbulkan ongkos pembangunan (cost of development) yang sangat mahal, tidak hanya ongkos ekologi (ecological cost) berupa kerusakan sumber-daya alam dan pencemaran lingkungan hidup dan ongkos ekonomi (economical cost) berupa hilangnya sumber-sumber masyarakat adat, melainkan juga ongkos sosial budaya (social and cultural cost) berupa kerusakan tatanan sosial dan kebudayaan masyarakat adat.
Eksistensi hak-hak adat masyakat adat sering dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan golongan atau pihak-pihak tertentu dengan cara mendompleng pemerintah. Alasan yang sering dipakai adalah pemanfaatan sumberdaya alam demi kepentingan nasional, yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah. Penggerusan eksistensi hak-hak adat tercermin dalam kebijakan pertambangan, kehutanan, pemanfaatan pulau-pulau kecil, dan kebijakan pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih memihak kepentingan pemodal.
Saya menyambut baik buku karya Dr. Julius Sembiring, yang telah memetakan dinamika dan permasalahan berkaitan dengan tanah ulayat di Indonesia. Pada dasarnya tujuan dari diketahuinya permasalahan tanah ulayat terutama yang berkaitan dengan pembangunan adalah untuk mengetahui sejauh mana keberpihakan pemerintah kepada eksistensi masyarakat adat di Indonesia. Selain itu juga buku ini akan memberikan wawasan kepada para pengajar hukum adat khususnya di bidang pertanahan sebagai pegangan dalam menjalankan tugasnya dalam perkuliahan tanah adat.
Sebagai ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat, saya menyambut baik karya ini. Harapan saya akan muncul penulis-penulis lain yang mengangkat permasalahan masyarakat adat tidak hanya di bidang pertanahan tetapi di bidang lainnya seperti hak kekayaan intelektual masyarakat adat, peradilan adat dan ekonomi sosial masyarakat adat. Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat untuk pengembangan akademisi di Indonesia khususnya pengembangan hukum adat.
Jakarta, Agustus 2018
Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia
Dr. St. Laksanto Utomo, SH, MHum
————————————-
BAB I PENDAHULUAN
A, Hak Ulayat: Tinjauan Konsepsional
Masyarakat Indonesia yang mendiami 17.508 buah pulau, yang terdiri dari sekitar 370 suku bangsa (etnic group) dengan 67 bahasa induk merepresentasikan keberagaman lingkungan hukum adat. Oleh van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht I, keberagaman hukum adat positip tersebut dikelompokkan ke dalam 19 lingkungan hukum (rechtskring) yang dimulai dari kelompok I (Aceh) hingga kelompok XIX (Jawa Barat). Di dalam masing-masing kelompok tersebut terdapat sub kelompok yang masih ditemukan perbedaan satu dengan lainnya.
Dalam memahami masing-masing lingkungan hukum adat tersebut Ter Haar dalam bukunya Beginselen en Stelsel van het Adatrecht1 telah memberikan sumbangan besar dengan melakukan sistematika dan ruang lingkup dari hukum adat di Indonesia. Di dalam buku tersebut Ter Haar memperkenalkan 2 (dua) jenis penguasaan atas tanah yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat, disebut dengan hak pertuanan (beschikkingsrecht) dan tanah yang dikuasai oleh perseorangan. Dalam kepustakaan hukum, hak pertuanan lebih populer dengan nama hak ulayat. Hak ulayat dan hak perseorangan atas tanah ini di Indonesia dikenal dengan berbagai nama serta berbagai karakteristik sesuai dengan kondisi sosial budaya di masing-masing daerah.2
Hak ulayat ada karena adanya hubungan hukum antara masyarakat adat (sebagai subyek) dengan ulayatnya (sebagai obyek) yang melahirkan kewenangan bagi subyek tersebut untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Kewenangan tersebut meliputi: (1) mengatur penggunaannya; (2) mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang
————————————-
1 Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat”.
2 Herman Soesangobeng tidak mempergunakan kata hak, tetapi hukum (ulayat), sebab menurut beliau ulayat bukanlah hak, tetapi suatu lembaga. Lihat Herman Soesangobeng, 2000, “Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat Dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah Di Desa Tigo Jangko Kecamatan Lintau Buo Kabupaten Tanah Datar” dalam Tanah Ulayat Di Sumatera Barat. Himpunan Makalah dan Rumusan Workshop. Diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang.
dengan ulayat tersebut; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan perbuatan hukum yang berkaitan dengan ulayat tersebut.3
Hak ulayat merupakan titik sentral dalam kehidupan masyarakat adat. Hak ulayat – yang termasuk di dalamnya tanah ulayat – sering juga disebut sebagai hak komunal atau hak kolektif. Dalam diskursus hak asasi manusia, hak komunal ini termasuk dalam kategori groups rights atau hak kelompok. Hak komunal atas tanah dibedakan atas 3 (tiga) ciri, yaitu:
1. Bentuk primer: Konsepsi pemilikan tanah individual belum bersemi di dalam kesadaran hukum manusia. Bentuk ini terdapat jauh di dalam prehistori kemanusiaan, di kala manusia masih hidup terpisahpisah dalam kelompok-kelompok yang sangat kecil, sedangkan mata pencahariannya berupa berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan buah-buahan, rerumputan yang dapat dimakan, dan sebagainya, sesuai dengan situasi dan kondisi alam sekitarnya.
2. Bentuk sekunder: Terdapat pada bangsa-bangsa yang sudah mengenal konsepsi hak individual atas tanah, tetapi yang memandang hak tersebut lebih sebagai perkecualian daripada prinsip, artinya: sebagai hak yang dalam keadaan-keadaan tertentu kembali ke dalam kekuasaan masyarakat selaku keseluruhan. Pada bangsa-bangsa tersebut sering terdapat normanorma, laws dan customs mengenai pewarisan, yang membuktian bahwa dalam generasi pertama, tanah itu dipandang sebagai milik satu persona/persoon/badan pribadi individual, tetapi di dalam generasi-generasi berikutnya berpindah ke dalam milik bersama dari keturunannya atau dari lingkungan warga kerabat yang lebih luas; suatu kelompok yang biasa disebut suatu extended family, kinship of lineage. Tipe ini dapat menjelma dalam berbagai variasi dan sampai sekarang masih hidup dalam bermacam-macam rona.
3. Bentuk tertier: Corak ini secara sukarela ataupun dengan paksa diciptakan oleh Negara, dengan tujuan: melaksanakan dan mengeksploitasikan hak atas tanah secara bersama. Misal: harta benda biara, lembagalembaga komunal di Israel dan perusahaan pertanian komunal (kolchoz) di Uni Sovyet. Bentuk ini dalam banyak hal lebih baik disebut communal farming daripada communal tenure.4
————————————-
3 Tiga kewenangan tersebut sesungguhnya merupakan ruang lingkup wewenang Hak Menguasai Negara (HMN) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Ketiga wewenang tersebut merupakan kewenangan yang berkarakter publik, dan wewenang yang berkarakter publik dari hak ulayat – di samping berkarakter perdata yaitu pemilikan bersama – juga mencakup ketiga kewenangan tersebut.
4 Sir Gerard Clauson dalam Iman Sudiyat, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah Di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm.8-9.
Dari perspektif hukum positif yang bersumber dari tradisi hukum kontinental Eropah, hak kelompok ini menekankan beberapa aspek:5
a. Kepemilikan bersama atas apa yang disebut sebagai hak milik; seperti tanah, hak atas kepemilikan intelektual;
b. Representasi;
c. Keputusan kolektif;
d. Pengurusan internal yang ditandai adanya hukumhukum dan aturan yang mengatur ruang ekspresi hak bersama sebagai komunitas, hak segelintir orang yang terikat garis darah atau kekerabatan atau clan, dan hak individu. Relasi ketiga bentuk subyek inilah yang diatur dalam pengurusan internal (self governance system).
Inti dari konsep hak komunal atau hak ulayat ini ditekankan pada hubungan antara masyarakat dengan tanah atau sumberdaya alamnya. Konsep ulayat tersebut lahir dari hak alamiah (natural rights), kemudian dalam negara modern atau negara demokratis konstitusional,
————————————-
5 Emil Ola Kleden, 2007, ‘Evolusi Perjuangan Gagasan “Indegenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional’, makalah dalam Advanced Training Hak Hak Masyarakat Adat (Indegenous Peoples’ Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM Di Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Hak Asasi Manusia – UII dengan Norsk Senter for Menneskerettigheter, Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta, tanggal 21-24 Agustus 2007, hlm.4.
ulayat sebagai natural rights itu dikonversi menjadi natural law di dalam hukum positif.
Konsep ulayat tidak diadopsi oleh semua negara dalam hukum positifnya. Di negara-negara Eropa, hak ulayat tidak diatur dalam konstitusinya, sebab, bagi negara-negara industri hak kepemilikan secara individu merupakan fondasi terpenting dalam pengembangan produksi dan industrialisasi. Individualisasi hak merupakan prakondisi bagi hak kebebasan yang memungkinkan persaingan dan kontraktual.
Di negara-negara bekas komunis serta negara dunia ketiga yang bercorak agraris, soal ulayat mendapatkan tempat penting dalam pembentukan negara modernnya. Di Afrika, perjuangan hak ulayat oleh masyarakat asli atau masyarakat adat merupakan alasan utama menuntut kemerdekaan dan membentuk republik. Di Indonesia, pengingkaran akan hukum adat dan hak ulayat mendorong sistem hukum tanah nasional untuk memberikan tempat akan eksistensi hak ulayat. Pasal 3 dan Penjelasan Umum II (3) UUPA mengaskan bahwa hak ulayat diakui, dengan beberapa pembatasan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk memahami hak ulayat, haruslah dipahami 6 (enam) ciri dari hak tersebut. Van Vollenhoven dalam bukunya Miskenningen van het Adatrecht (Pengingkaran terhadap hukum adat), 1909 menyampaikan ciri-ciri tersebut sebagai berikut:
1. Kewenangan komunitas atas tanah yang belum dikerjakan. Masyarakat hukum dapat memanfaatkan secara bebas tanah-tanah perawan di dalam wilayahnya. Tanah itu dapat dimanfaatkan untuk budi daya atau dapat digunakan untuk membangun pemukiman kampung, atau menjadi tanah bersama untuk pemungutan hasil atau tujuan lainnya.
2. Pemanfaatan tanah komunitas oleh pihak luar. Pihak lain dapat memanfaatkan tanah itu, selalu dengan syarat mereka sudah mendapatkan ijin dari masyarakat hukum bersangkutan; pemanfaatan tanpa ijin merupakan pelanggaran.
3. Pembayaran atas penggunaan tanah komunitas. Anggota masyarakat hukum bisa jadi – namun pihak luar pasti – dimintakan untuk membayar sejumlah harga atau memberikan sejumlah persenan sebagai bentuk pengakuan atas penggunaan tanah tersebut.
4. Kewenangan komunitas atas tanah yang sedang dibudidayakan (kuasa tetap atas tanah). Masyarakat hukum pada tingkat tertentu masih memiliki hak residual untuk mengintervensi pemilikan tanah yang telah diberikan untuk digunakan.
5. Tanggung jawab (teritorial) terhadap pihak luar. Manakala tidak ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban, masyarakat hukum menanggung kehilangan, kerusakan atau kerugian yang diderita oleh pihak luar di dalam wilayah mereka. 6. Keabadian hak-hak komunitas. Masyarakat hukum tidak punya kewenangan mutlak untuk melepaskan hak-hak ini.
6, Keabadian hak-hak komunitas. Masyarakat hukum tidak punya kewenangan mutlak untuk melepaskan hak-hak ini.6
Mahadi – dengan mengutip van Vollenhoven – mengatakan bahwa “hak ulayat adalah tiang kedua dari Hukum Adat”. Enam tiang lainnya dari Hukum Adat adalah: (1) persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen) yang terjadinya ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yakni faktor territorial, faktor genealogis, dan faktor campuran; (3) adanya 19 (sembilan belas) wilayah hukum adat (rechtskring); (4) perjanjian adalah perbuatan hukum konkret; (5) Hukum Adat tidak mengenal konstruksi yuridis yang abstrak, seperti badan hukum, kedewasaan, dan kedaluarsa; (6) Hukum Adat menjadikan tangkapan dengan pancaindera sebagai dasar bagi penentuan kategori dan sebagai ukuran untuk membeda-bedakan sehingga pembedaan antara right in rem dan right in personam tidak dikenal dalam hukum adat, yang dikenal adalah hak atas tanah dan air, dan hak atas benda-benda lain; (7) sifat susunan keluarga terdiri dari patrilineal, matrilineal, dan parental.7
————————————-
6 Peter Burns, “Adat yang mendahului semua hukum” dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga (Editor), 2010, Adat dalam Politik Indonesia, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, hlm. 85-86.
7 Mahadi, 1991, Uraian Singkat tentang Hukum Adat sejak RR Tahun 1854, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 52-139.
Lebih lanjut terkait tentang Hukum Tanah, Koesnoe mengatakan bahwa prinsip dasar dalam hak ulayat itu adalah:8
1. Bahwa tanah ulayat selalu harus dibedakan ke dalam 3 (tiga) bagian:
a) bagian yang dinamakan ‘tanah kampung halaman’.
b) bagian yang dinamakan ‘tanah sawah, tegal, ladang, empang’.
c) bagian yang dinamakan ‘tanah persediaan’.
2. Bahwa hak ulayat merupakan dasar segala macam hak perorangan atas tanah yang ada di atasnya, dan karenanya hak-hak perorangan yang membebaninya tetap bergantung dan tunduk pada hak ulayat.
3. Bahwa hak-hak perorangan atas tanah yang ada di atas hak ulayat itu, kualitas ikatannya dengan yang mempunyai hak digantungkan kepada bukti nyata intensitas dari pemanfaatan dan pemeliharaan tanahnya.
4. Bahwa pemakaian dan pemanfaatan tanah ulayat atas dasar hak perorangan yang ada pada seseorang, tunduk kepada asas kepatutan atau kepantasan dalam menggunakan dan mengambil manfaat yang didasarkan atas penggunaan hak perorangan yang bersangkutan.
5. Bahwa melampaui batas ukuran dalam memakai dan mengambil manfaat tanah atas dasar hak perorangan
————————————-
8 H.M. Koesnoe, 2000, Prinsip- Prinsip Hukum Adat Tentang Tanah, Penerbit Ubhara Press, Surabaya, hlm. 36.
oleh yang bersangkutan akan mendapat tegoran dari masyarakatnya, dan selanjutnya yang bersangkutan akan dikenakan hukuman berupa kewajiban berupa ganti rugi kepada masyarakat
Prinsip kedua tersebut mengandung arti bahwa semua hak-hak perorangan9 – baik hak milik ataupun hak pakai – berada pada atau membebani hak ulayat yang bersifat komunalistik tersebut. “Dengan demikian, pemakaian atau pemanfaatan hak ulayat oleh hak perorangan itu tidak mengakibatkan hilang atau tersisihkan tanah hak ulayat. Segala macam hak perorangan atas hak ulayat tetap hanya menumpang saja di atas hak ulayat”.10
Lahirnya hak perorangan yang menumpang di atas hak ulayat tersebut terjadi karena 2 (dua) prinsip, yaitu: Pertama, hak atas tanah lahir atas tanah persekutuan hukum adat yang bersifat komunal. Artinya, semua hak individual atas tanah dipastikan berasal dari tanah komunal yang disebut dengan beschikkingsrecht. Oleh
————————————-
9 Hak perseorangan ialah hak yang diberikan kepada warga ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak purba persekutuan yang bersangkutan, lihat Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat, Sketsa Asas, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm. 8.
10 H. Moh. Koesnoe, “Prinsip Prinsip Hukum Adat Tentang Hak Atas Tanah” dalam M. Ali Boediarto (Editor), 2002, Kapita Selekta Hukum Adat. Suatu Pemikiran Baru Prof. Dr. H. Moh. Koesnoe, S.H., Penerbit Varia Peradilan – Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, hlm. 129.
karena itu, ketika hak inidividual itu lenyap (berakhir) maka penguasaan atas tanah (bekas) hak individu tersebut jatuh kembali pada tanah persekutuan.
Kedua, hak atas tanah lahir dan tumbuh melalui proses yang berkesinambungan, artinya, hak milik – sebagai hak atas tanah yang paling tinggi tingkatannya – tumbuh dan berkembang dari hak yang paling rendah tingkatannya hingga kemudian diakui sebagai hak milik. “Penguasaan tanah dengan status hak milik terjadi apabila peletakan hubungan individual atas tanah persekutuan tersebut dilanjutkan dengan pengusahaan secara terus menerus sesuai dengan kaedah-kaedah hukum adat setempat”.11
Tahap perkembangannya menunjukkan bahwa ketika hak individu tersebut menguat, contohnya diwariskan, maka hak komunal tersebut menjadi melemah. Demikian juga sebaliknya, ketika hak individu tersebut melemah maka hak persekutuan atas tanah tersebut kembali menguat. Proses “melemah-menguat” itu oleh ter Haar disebut dengan prinsip unending close and expand, dan oleh Schiller dan Hoebel disebut dengan grows and shrinks.
Dalam memandang hubungan antara hak perorangan dengan hak ulayat tersebut, Herman Soesangobeng menyatakan adanya 2 (dua) dalil pokok atau postulasi.
————————————-
11 Ilyas Ismail, 2011, Konsepsi Hak Garap Atas Tanah, Penerbit Citapustaka Media Perintis, Bandung, hlm. 93.
Pertama, hanya warga masyarakat hukum sajalah yang dapat menjadi pemilik penuh atas tanah dalam lingkungan wilayah kekuasaan hukum masyarakatnya. Kedua, pertumbuhan dan struktur hak atas tanah yang berhak dimiliki oleh setiap orang yang menjadi anggota warga masyarakat hukum ditentukan oleh pengaruh lamanya waktu penguasaan dan pendudukan oleh orang yang berkehendak mempunyai sesuatu hak atas tanah dan hubungan keagrariaannya.12
Menurut Iman Sudiyat, terdapat 6 (enam) jenis hak perorangan – di atas hak ulayat – yaitu: (1) hak milik, hak yasan (inlandsbezitsrecht); (2) hak wenang pilih, hak kinacek, hak mendahulu (voorkeursrecht); (3) hak menikmati hasil (genootrecht); (4) hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah (ontginningsrecht); (5) hak imbalan jabatan (ambtelijk profit recht); dan (6) hak wenang beli (naastingsrecht).13
B, Terminologi dan Pengertian Hak Ulayat
Kata ulayat berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti ‘diurus’ dan ‘diawasi’. Dengan demikian hak ulayat adalah kekuasaan untuk mengurus, mengawasi dan juga menguasai.14 Ulayat juga berarti wilayah. Banyak daerah mempunyai nama untuk lingkungan wilayahnya itu, misalnya tanah wilayah sebagai kepunyaan (pertuanan – Ambon), sebagai tempat yang memberi makan (panyampeto – Kalimantan), sebagai daerah yang dibatasi (pewatasan – Kalimantan, wewengkon – Jawa, prabumian – Bali) atau sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain (totabuan – Bolaang Mongondouw). Akhirnya dijumpai juga istilah-istilah: Torluk (Angkola), limpo (Sulawesi Selatan), muru (Buru), payar (Bali), paer (Lombok) dan ulayat (Minangkabau).15 “Di Aceh, tanah ulayat disebut dengan tanoh mukim (public communal land), tanoh umum (public land), tanoh rakyat (the people’s land) dan tanoh masyarakat (the community’s land)”.16
Penguasaan tanah lingkungan oleh rakyat sebagai satu kesatuan di dalam hukum Adat disebut dengan satu istilah,
————————————-
12 Herman Soesangobeng, 2012, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria, Penerbit STPN Press, Yogyakarta, hlm. 232-233.
13 Iman Sudiyat, 1981, op.cit., Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm. 8.
14 Syahmunir, “Kedudukan Wanita dalam Kepemilikian Hak Ulayat di Minangkabau” dalam Alfan Miko, 2006, Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Penerbit Andalas University Press, Padang, hlm.202.
15 Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm.180.
16 El Hakimy dalam Daniel Fitzpatrick, “Tatkala bencana alam menghadang: Kelenturan dan kelemahan hukum pertanahan Indonesia” dalam Myrna A.Safitri dan Tristam Moeliono (Penyunting), 2010, Hukum Agraria dan Masyarakat Indonesia, Penerbit HuMa, van Vollenhoven Institute dan KITLV-Jakarta, hlm.254.
yaitu ulayat. Istilah ulayat ini kemudian oleh kalangan hukum diberi kata tambahan di depannya yaitu dengan kata “hak”.17 Dengan demikian kata ulayat itu kini lebih biasa disebut dengan “hak ulayat”. Bahwa ulayat adalah berupa penguasaan suatu lingkungan tanah tertentu oleh suatu masyarakat hukum atau persekutuan hukum, lebih jelas tampak bila diperhatikan istilah lain yang dipakai di daerah lain yaitu yang dinyatakan dengan istilah “tanah pertuanan”. Dalam istilah ini lebih jelas tercermin sifat hak ulayat yang menunjuk bahwa kesatuan itu adalah “tuan”nya tanah lingkungan yang bersangkutan.18
Hak ulayat di dalam kepustakaan hukum adat disebut beschikkingsrecht19 yang merupakan hak yang tertinggi
————————————-
17 Di dalam ajaran hukum adat, hak dan kewajiban atas tanah dinyatakan dengan tidak menyatakan haknya. Tetapi langsung menyatakan dengan menyebutnya dari segi pemanfaatan, atau penggunaan atau fungsi dari obyeknya. Lihat H.M. Koesnoe, 2000, op.cit.,hlm.23.
18 ibid, hlm. 22-23.
19 Dalam bahasa Belanda kata beschikken dalam arti beheren dapat diartikan mengelola atau menguasai. Istilah yang jamak digunakan dalam bahasa Inggeris untuk beschikkingrecht adalah right of avail, right of disposal atau right of control. Lihat Marjanne Termorshuizen-Arts “Rakyat Indonesia dan tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di masa kolonial dan pengaruhnya dalam hukum agraria Indonesia” dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (Penyunting) (2010), op.cit., hlm. 33. Right of disposal merupakan istilah yang diterjemahkan oleh van Vollenhoven dari beschikkingrecht dalam tulisannya tentang “The Study of Indonesian Customary Law” (1918). Illionis Law Review Th XIII (1918). Istilah right of disposal sebetulnya.
dalam suatu masyarakat adat. Di dalam kepustakaan lama yang ditulis oleh kalangan penulis Belanda, hak ulayat suatu masyarakat hukum adat, disebut dengan istilah dalam bahasa Belanda yaitu hak eigendom (eigendomsrecht) dan hak yasan komunal (communal bezitrecht).
Istilah tersebut menimbulkan keruwetan penafsiran bagi para ahli hukum, sehingga van Vollenhoven kemudian menciptakan istilah teknis yang khusus yaitu beschikkingsrecht (hak pertuanan). Istilah tersebut dapat menimbulkan salah faham karena istilah beschikken (menguasai mutlak) dalam arti kata memindahkan tangan, justru tidak ada pada masyarakat itu.20 Menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan seperangkaian wewenang dan kewajiban suatu
————————————-
kurang tepat karena menurut hukum adat komunitas yang memegang hak ini tidak dapat mengalihkan haknya atas obyek yang berkenaan secara mutlak dan permanen kepada subyek lain. Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, 1995, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 128. Beschikkingrecht diterjemahkan ke dalam beberapa istilah. Prof. Soepomo menyebut hak pertuanan, Prof. Djojodigoeno menterjemahkan dengan istilah hak purba. Poerwopranoto menyebut hak beschikking. Soewargono menterjemahkan menjadi hak penguasaan. Peter Burns lebih suka menggunakan hak alokasi (right of allocation), lihat “Adat, yang mendahului semua hukum” dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (Penyunting) (2010), op.cit., catatan kaki 7 hlm. 84. Istilah hak ulayat yang berasal dari Sumatera Barat dipakai secara nasional oleh UUPA.
20 Ter Haar, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto), Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.71-72.
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.21
C, Ruang Lingkup Hak Ulayat
Secara umum obyek dari hak ulayat adalah tanah, maupun perairan (sungai-sungai, perairan pantai laut) dan juga atas tanaman yang tumbuh sendiri (pohon lebah, pohon buah-buahan, pohon untuk pertukangan) beserta atas binatang-binatang yang hidup liar, namun karena berbagai keadaan maka obyek dari hak ulayat itu dapat berbeda-beda. Di Jawa – yang mungkin sebagai pengecualian – obyek hak ulayat itu adalah tanah yang belum dibuka (hutan-hutan), dasar-dasar sungai yang menjadi kering, pulau-pulau yang timbul.22
Menurut Soerojo Wignyodipoero23 obyek dari hak ulayat meliputi:
a. Tanah (daratan), sebagai ruang lingkup kehidupan;
b. Air (perairan, kali, danau, sungai);
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (hutan kayu, buah-buahan); dan
d. Binatang yang hidup liar.
————————————-
21 Boedi Harsono, 1997, op.cit. … hlm.179.
22 Ter Haar, 1981, op.cit., hlm.82.
23 Soerojo Wignyodipuroe, 1968, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Penerbit P.T. Toko Gunung Agung, Djakarta, hlm. 199.
Sebagaimana diuraikan pada bagian berikut, hak ulayat tersebut meliputi segala sesuatu yang merupakan lingkungan hidup dan kehidupan dari suatu masyarakat adat, seperti tanah (ulayat) – beserta segala sesuatu yang ada di atasnya (usaha budi daya, hutan termasuk hutan cadangan) dan juga di dalamnya (bahan galian); air – meliputi sungai, situ, kolam, danau, rawa, dan laut; dan juga udara.
1, Hak Ulayat atas hutan
Hak ulayat atas hutan, atau yang disebut juga dengan hutan ulayat yang merupakan bagian atau ruang lingkup dari hak ulayat sesuatu masyarakat adat. Uraian tentang hutan ulayat berikut memberikan gambaran tentang pengaturan hutan ulayat oleh berbagai masyarakat adat di berbagai daerah.
Keberadaan hak ulayat atas hutan dikukuhkan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di dalam UU tersebut dinyatakan:
a Pasal 1 angka 6: hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat;
b Penjelasan pasal 5 ayat (1): hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. … Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tiada meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. …
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa pasal dari UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu Pasal 1 angka 6 yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat; dan Pasal 5 ayat (1) yang membagi status hutan hanya atas hutan negara dan hutan hak. Dengan demikian, hutan ulayat (adat) bukan merupakan hutan negara, sehingga hutan adat merupakan entitas tersendiri di samping hutan negara dan hutan hak.
Suku Dayak membagi hutan ulayat berdasarkan pemanfaatannya. Dalam memanfaatkan hutan, suku Dayak membagi 5 (lima) klasifikasi tata guna hutan yaitu:24
a. Hutan kampung, yaitu hutan yang sengaja ditanami masyarakat dengan berbagai buah-buahan yang lokasinya tidak jauh dari permukiman;
b. hutan pertanian, yaitu hutan yang berlokasi di luar hutan kampung. Kawasan itulah yang dijadikan suku Dayak sebagai lahan pertanian tradisional. Mereka sematamata mengharapkan pupuk penyubur dari bunga tanah;
c. hutan usaha dan hutan perburuan yaitu hutan yang merupakan tempat mengusahakan hasil hutan. Hutan tersebut letaknya di luar hutan pertanian dan fungsinya sebagai penyedia hasil hutan seperti rotan, damar, jelutung dan madu. Berburu biasanya mereka lakukan dengan cara memasang ranjau; dan d. hutan bebas, yaitu hutan yang merupakan hutan kesepakatan yang bisa dimanfaatkan semua kelompok kampung dan suku bagi keperluan jangka panjang seperti mendirikan rumah dan membuat perahu. Hutan bebas ini jarang dijamah masyarakat suku Dayak.
Dari ke 5 (lima) klasifikasi hutan tersebut, empat di antaranya secara adat merupakan hak setiap kampung, puak dan kelompok suku, sehingga nama hutan tersebut disesuaikan dengan nama kampung, dan kelompok suku pemegang hak ulayat atas wilayah tersebut.25
Di Sumatera Barat pengertian hutan ulayat berbeda dengan hutan adat. Kurnia Warman mengatakan bahwa menurut “menurut Hukum Adat Minangkabau, pengertian hutan adat lebih luas dari hutan ulayat. Hutan ulayat hanya merupakan salah satu dari berbagai jenis hutan adat menurut pemilikan dan penguasaannya”.26
————————————-
25 ibid.
26 Kurnia Warman, “Hutan Adat di “persimpangan jalan”: Kedudukan hutan adat di Sumatera Barat pada era
Hukum Adat tidak membedakan atau tidak memisahkan dengan tegas pengaturan antara tanah dan hutan. Oleh karena itu jenis hak atas tanahnya juga menentukan status hutan yang ada di atasnya. Berdasarkan hal itu menurut hukum adat Minangkabau status hutan terdiri atas:
a. Hutan milik (milik adat) yaitu hutan yang berada di atas tanah milik adat. Hutan adat jenis ini dapat pula dibagi menjadi dua bagian yaitu hutan milik perseorangan dan hutan milik komunal (hutan suku/ hutan kaum).
b. Hutan ulayat yaitu hutan yang tidak dimiliki baik oleh individual maupun kelompok tertentu dalam suatu masyarakat hukum adat seperti suku dan kaum. Hutan ulayat merupakan hutan yang dikelola oleh suatu masyarakat hukum adat untuk kepentingan bersama (kepentingan umum) atau oleh dan bagi seluruh anggota persekutuannya. Hutan inilah yang dikenal dengan ulayat nagari (hutan nagari27) di Sumatera Barat dan hutan adat jenis ini sajalah yang sesuai dengan makna hutan adat yang dikenal oleh UU No. 41 Tahun 1999.
————————————-
desentralisasi”, dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (Penyunting) (2010), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Penerbit HuMa, van Vollenhoven Institute dan KITLV Jakarta, hlm. 76.
27 Berdasarkan Perda Propinsi Tingkat I Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, maka desa tidak dikenal lagi dan diganti dengan struktur pemerintahan nagari.
Pada masa Orde Baru keberadaan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah menyingkirkan keberadaan hutan adat termasuk hutan ulayat tersebut. UU ini mengakibatkan, “pertama, hilangnya kearifan lokal (sistem adat) dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari, kedua, pemiskinan masyarakat nagari akibat hilangnya sumber ekonomi atas hutan. Ketiga, deforestasi akibat hilangnya kontrol masyarakat nagari, terutama para pemangku adat di tingkat nagari atas aktifitas pembalakan kayu”. 28
2, Hak Ulayat Air
Hak ulayat laut dikenal luas di Kawasan Timur Indonesia. Hak ulayat laut berasal dari bahasa Inggeris, sea tenure yang mengacu kepada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang muncul dalam hubungannya dengan kepemilikan wilayah laut.
Menurut Ary Wahyono dkk29 hak ulayat laut adalah seperangkat aturan atau praktik pengelolaan atau manajemen wilayah laut dan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Perangkat hak ulayat laut ini menyangkut siapa yang menguasai wilayah, jenis sumber daya yang boleh ditangkap dalam suatu wilayah laut, dan teknik mengeksploitasi sumber daya yang diperbolehkan.
————————————-
28 Nurul Firmansyah, Hutan Nagari atau Hutan Desa, diakses dari www.Qbar.or.id
29 Ary Wahyono et.al., 2000, Hak Ulayat Laut Di Kawasan Timur Indonesia, Penerbit Media Presindo, Yogyakarta, hlm. 5.
Di Teluk Tanah Merah Kabupaten Jayapura Papua (Kampung Senamai, Tablanusu, Tablasupa dan Maruway), maka wilayah laut dibagi sebagai berikut:
(a) Akadame, yaitu bagian laut yang jika dihitung jarak mulai dari batas surut air laut, sampai dengan batas air pasang dan dihitung ke kedalaman 12 meter. Warna air laut lebih bening dan menjurus ke kedalaman itu semakin kebiru-biruan. Ciri yang lebih nampak dari batasan ini adalah, ketika air laut surut, wilayah laut yang disebut akademe; kering (meti), komunitas mempunyai kesempatan untuk mencari ikan di padang lamunnya, termasuk juga mengambil siput dan kerang-kerangan di bagian reef tersebut.
(b) Kia-kia, yaitu bagian laut yang mempunyai kedalaman 12 meter sampai 25 meter. Bagian dasar laut yang masih nampak oleh mata jika berada di atas permukaan, dan saat air laut surut bagian laut ini tidak sampai kering;
(c) Nau koti, yaitu bagian laut yang mempunyai kedalaman 25 meter sampai dengan 100 meter. Bagian dasar laut ini tidak nampak dari permukaan dan pada kedalaman ini, warna air laut kebiru-biruan;
(d) Beta nau, yaitu bagian laut yang mempunyai kedalaman 100 meter sampai ke zona laut lepas/bebas, ke arah lautan Pasifik.30 “Dari ke empat kategori wilayah laut tersebut, apabila diklasifikasikan menurut hak ulayat adat maka, kategori akademe, kia-kia, nau koti masuk dalam wilayah hak ulayat adat, sedangkan beta nau adalah zona laut bebas dan tidak dilanggar adat.”31
Hukum Adat Kei32 menyatakan bahwa setiap ohoi33 dan ratshap34 mempunyai hak ulayat atas daratan (petuanan darat) maupun laut (petuanan laut atau labuhan) yang ada di lingkungannya, oleh karena itu setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama atas penggunaan hak ulayat yang ada di wilayahnya. Setiap orang tidak terkecuali orang
————————————-
31 ibid, hlm. 101.
32 Orang Key adalah orang-orang yang mendiami Kepulauan Kei di Kabupaten Maluku Tenggara
33 Ohoi adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis territorial, memiliki batas wilayah, berfungsi mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak, asal usul dan adat-istiadat setempat, menyelenggarakan tugas pemerintahan, serta diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berada di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara (Pasal 1 angka 13 Perda Kab. Maluku Tenggara No. 3 Tahun 2009 tentang Ratshap dan Ohoi) Dalam praktik ohoi setingkat dengan desa.
34 Ratshap adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang terbentuk berdasarkan sejarah dan asal usul, berfungsi untuk mengatur serta memutuskan masalah-masalah hukum adat di lingkungannya serta di lingkungan ohoi yang berada di bawah koordinasinya, diakui sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berada di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara (Pasal 1 angka 10 Perda Kab. Maluku Tenggara No. 3 Tahun 2009 tentang Ratshap dan Ohoi). Ratshap adalah gabungan dari beberapa Ohoi
luar harus taat pada aturan hukum adat Kei. Atas dasar hal itu, maka setiap orang harus menghormati dan menghargai hak milik orang lain. Bagi orang luar yang akan berniat untuk mengambil manfaat ulayat laut harus seizin orang kay atau raja. Pengambilan manfaat pada lokasi-lokasi yang ditandai hawear laut35 maupun lokasi yang telah digunakan orang lain tidak diperbolehkan.
Ulayat laut di Kei dibagi 2 (dua), yaitu “wilayah laut dangkal dan wilayah laut dalam. Antara kedua wilayah itu terdapat bagian-bagian (zona) yang pembagiannya didasarkan pada tingkat kedalaman, bentuk, fungsi dan jenis sumber daya yang ada”.36 Berdasarkan hal tersebut maka wilayah laut yang dikenal di wilayah Kei terbagi ke dalam:37
(a) Ruat met (waar) soin adalah kawasan pantai kering pada saat air surut tertinggi, rata-rata selebar 0-10 meter dari garis batas daratan dengan kedalaman tertinggi rata-rata hanya 1-3 meter. Kawasan ini merupakan tempat hidup kerang dan ikan-ikan yang berukuran kecil;
(b) Meti adalah kawasan batas air surut terendah dan merupakan kawasan pantai kering di saat air surut, kedalaman kawasan meti adalah sekitar 3-5 meter. Kawasan ini membentang sepanjang pantai selebar 1050 meter dari garis batas daratan. Pada bulan Oktober – Desember biasanya di beberapa tempat tertentu kawasan meti ini dapat mencapai lebar beberapa mil. Kawasan ini biasanya digunakan oleh kaum perempuan dan anak-anak sebagai tempat meramu hasil laut seperti kerang, ikan asin dan rumput laut.
(c) Hangar ratan/hangar soin adalah kawasan laut dangkal yang tidak pernah kering sama sekali meskipun air laut surut. Pada kawasan ini biasanya ditemukan banyak terumbu karang dengan berbagai macam ikan yang hidup di dalamnya seperti ikan hias dan ikan kecilkecil. Hangar ratan merupakan tempat memancing yang menggunakan alat pancing tradisional, tombak (kalawat), jaring insang (gil net) dan perangkap kecil dari bambu (bubu). Kedalaman kawasan hangar ratan sekitar 5-15 meter dengan lebar sekitar 50-500 meter hingga beberapa mil dari garis batas daratan. Hangar ratan merupakan kawasan yang dilindungi karena di dalamnya hidup ikan konsumsi masyarakat seperti ikan kerapu (groupers, serranidae), kakap (snappers) dll. Selain ikan, kawasan tersebut ini dipenuhi hasil bukan ikan seperti contohnya kerang besar yang disebut lola (trachus niloticus), kima (tridacna) dan tripang (holothuria);
(d) Nuhan ratan/nuhan soin adalah kawasan laut dalam yang kedalamannya mencapai 15 – 100 meterdan lebar kawasan sekitar 500 – 1.000 meter dari garis batas daratan. Secara fisik kawasan ini sama dengan kawasan hangar ratan namun ikan dan terumbu karang yang ada di lokasi ini lebih banyak dan berukuran lebih besar. Masyarakat diperbolehkan menggunakan alat tangkap berukuran besar;
(e) Faruan adalah kawasan laut lepas di mana memiliki kedalaman sejauh 100 – 200 meter dengan lebar bentangannya mencapai 1.000 – 3.000 meter dari garis batas daratan. Kawasan ini merupakan wilayah tangkap (fishing ground) ikan laut besar seperti ikan tenggiri (scomberomorus commerson), cakalang (katsu wonus pelamis) dan ikan hiu. Mengingat kawsan ini sangat dalam maka masyarakat diijinkan menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap besar yakni bagang-apung, jaring tunda dan pancing tunda. Di samping itu kawasan ini merupakan tempat untuk memungut telur-telur ikan (caviar) sepanjang bulan Mei hingga September setiap tahunnya;
(f) Wewuil adalah istilah untuk menyebut kawasan laut lepas dengan kedalaman antara 200 – 300 meter dengan lebar kawasan mencakup 3.000 – 5.000 meter dari garis batas daratan. Sebutan wewuil diambil dari nama suatu tanjung yang terletak di bagian selatan dekat perbatasan wilayah adat meu-umfit. Dari kawasan inilah tanjung wewuil dapat terlihat dari arah laut sehingga menjadi tanda batas alam kawasan ini. Fungsi kawasan ini sama halnya dengan kawasan faruan;
(g) Wahdaan adalah kawasan laut lepas dengan kedalaman antara 300 – 500 meter dengan lebar kawasan mencakup 5.000 – 7.000 meter dari garis batas daratan. Nama wahdaan diambil dari nama suatu tanjung yang terletak di bagian selatan perbatasan wilayah meu umfit. Dari kawasan inilah tanjung wahdaan dapat terlihat dari arah laut sehingga menjadi tanda batasalam kawasan ini;
(h) Leat dong adalah kawasan laut lepas dengan kedalaman antara 500 – 1.000 meter dengan lebar kawasan mencakup 7.000 – 10.000 meter dari garis batas daratan. Nama leat dong adalah nama sebuah gunung terjal yang terletak di hutan Fako yang bisa dilihat dari arah laut di kawasan wahdaan. Keberadaan gunung wahdaan selanjutnya menjadi tanda batas alam kawasan ini;
(i) Walaar entetat adalah kawasan laut lepas dengan kedalaman antara 1.000 – 5.000 meter dengan lebar kawasan mencakup 10.000 – 12.000 meter dari garis batas daratan; (j) Tahit ni wear adalah kawasan laut lepas dengan kedalaman lebih dari 5.000 meter dengan lebar bentangan kawasan tidak terhingga atau sampai pada batas perairan di pantai atau pulau di seberangnya. Tahit ni wear diartikan sebagai ‘air kepunyaan laut’.
“Berbeda dengan tanah ulayat, ulayat laut tidak mengenal penguasaan individual. Seluruh wilayah laut dikuasai secara komunal oleh seluruh masyarakat meskipun dalam penggunaan haknya dimungkinkan secara individual maupun kolektif”.38
Di dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air39 diberikan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat sumber daya air. Pasal Pasal 6 ayat (3) UU ini menyatakan:
“Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”.
3, Hak Ulayat atas tanah (beserta segala sesuatu yang ada di atasnya dan di dalamnya).
Di dalam hukum adat tanah tidak saja diartikan sebagai permukaan bumi, tetapi juga udara, air, bahan galian, termasuk roh nenek moyang.40 Sementara itu dalam Hukum Tanah Nasional yang dimaksud dengan tanah adalah ‘permukaan bumi’. Dengan demikian terdapat perbedaan ruang lingkup ‘tanah’ menurut ke dua sistem hukum tersebut. Kajian tentang tanah ulayat lebih dititikberatkan pada sistem penguasaan (tenure) atas tanah tersebut, yang bukan merupakan pemilikan individual atau milik bersama (dari beberapa individual), tetapi lebih pada penguasaan secara komunal.
Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam hukum adat yang utama atau primer bukanlah individu, melainkan masyarakat, maka menurut hukum adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Berdasarkan konsepsi yang sedemikian rupa, maka tanah ulayat sebagai kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah bersama.41
Secara umum tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Pasal 1 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, menyatakan: “Tanah Ulayat adalah
————————————-
35 Hawear laut disebut juga dengan sasi yang berasal dari kata sanction (larangan). Istilah lain dari sasi adalah ehamanee (masyarakat Kokorotan di Pulau Talaud); tiatiki (Papua); yot (Kei Besar); yutut (Kei Kecil). Hawear atau sasi adalah larangan yang bersifat melindungi sesuatu atau hasil tertentu dalam batas waktu tertentu dan berlaku mengikat untuk perseorangan maupun umum, J.P. Rahail dalam Sri Wahyu Ananingsih, 2015, Perkembangan Eksistensi Hak Ulayat Laut Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, Disertasi (Ringkasan), Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 71.
36 ibid, hlm.42.
37 J.P. Rahail dalam ibid, hlm. 42-44.
38 ibid, hlm. 46.
39 Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 058059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkaran Nomor 008/PUUIII/2005 membatalkan sebagian Pasal-pasal dalam UU No. 7 Tahun 2004; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa UU No. 7 Tahun 2004 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
40 Herman Soesangobeng, The Possibility and Mode of Registering Adat Title on Adat Land, Paper for 3rd FIG Regional Confrence in Jakarta, 3-7/10/2004, hlm. 6.
41 Oloan Sitorus, 2004, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah, Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, hlm. 21.
bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dan di dalamnya diperoleh secara turun temurun merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat”.
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah Di Provinsi Kalimantan Tengah menegaskan bahwa: “Tanah Adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat.
Sebagaimana prinsip keberadaan hak perorangan yang ‘menumpang’ pada hak ulayat, Aboesono42 menjelaskan hak-hak atas tanah menurut Hukum Adat sebagai berikut:
a. Hak Menguasai (beschikkingsrecht), yang merupakan hak tertinggi yang berasal dari kepercayaan kuno yaitu adanya magis-religius antara tanah dan masyarakat penduduk tanah itu.
b. Hak Milik, hak tertinggi di bawah beschikkingsrecht yang oleh van Vollenhoven dinamakan Inlandsch Bezitsrecht. Hak ini dapat dimiliki oleh masyarakat hukum dan dinamakan hak milik komunal (communal bezitsrecht); atau oleh perorangan yang dinamakan erfelijk individueel bezitsrecht.
————————————-
Hak Milik komunal dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
1) Hak milik komunal yang tanahnya dibagi-bagikan secara tetap untuk seumur hidup atau juga diwariskan; dan
2) Hak milik komunal yang tanahnya dibagi-bagikan tidak secara tetap tetapi pada waktu-waktu tertentu dapat dibagi-bagikan kembali.
c. Hak-hak tanah yang lebih rendah, yaitu:
1) Hak Usaha Bagi Hasil, misalnya maro, mertelu;
2) Hak Gadai/Hak Jual Sende;
3) Hak Sewa;
4) Hak Lindung;
5) Hak Sebagai Tanggungan Hutang
d. Hak yang lebih rendah lagi dengan tanpa mengusahakan tanah, yaitu:
1) Hak mengusahakan hasil (verzamelrecht);
2) Hak Pungut/Memetik Hasil (plukrecht);
3) Hak Menebang Pohon (kaprecht);
4) Hak berburu dan mencari ikan (jacht en visrecht).
Herman Soesangobeng43 dengan merujuk pada ter Haar membedakan hak atas tanah dengan hak-hak agraria.
————————————-
43 Herman Soesangobeng, “The Possibility and Mode … op.cit., hlm. 7.
Hak atas tanah adalah hak milik dan hak pakai, sementara itu hak-hak agraria (hak yang bersifat sementara) adalah hak membuka tanah, hak terdahulu (voorkeursrecht), hak untuk menikmati/menggunakan.
4, Hak ulayat atas bahan galian.
Apakah bahan galian44 merupakan hak dari suatu masyarakat adat? Masih terdapat perbedan pendapat tentang hal tersebut. Sebuah surat dari Padang tertanggal 27 April 1898 yang dibuat oleh Insinyur Kepala Chef Dinas Perkeretaapian merangkap Pertambangan Arang Sumatera Barat yang ditujukan kepada Direktur Pengajaran, Kerokhanian dan Kerajinan Pemerintah Belanda menyatakan sebagai berikut: “Menurut adat Melayu di Sumatera Barat seseorang yang memiliki kekuasaan atas lahan tanah bahagian atas, juga memiliki kekuasaan atas bahagian bawahnya, maka kepada Nagari-nagari yang
————————————-
44 Bahan galian meminjam istilah yang digunakan oleh UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Di dalam UU ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘bahan galian’ adalah unsur-unsur kimia, mineral-mineral, biji-biji dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Dalam perkembangannya, pengaturan tentang ‘bahan galian’ tersebut ditindaklanjuti dengan beberapa undangundang, yaitu: UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi sebagaimana diubah dengan UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
lahan tersebut termasuk daerah lingkungannya nagarinagari tersebut harus diberikan restitusi, jika dilakukan eksplorasi pertambangan arang ombilin di lahan tersebut.” Berdasarkan keterangan tersebut maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah hak ulayat di Sumatera Barat mencakup juga bahan galian (tambang) yang berada di bawah tanah.
Di Papua, berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah; tidak secara tegas menyatakan hal tersebut. Pasal 1 angka 6 Perdasus tersebut menyatakan: “Hak Ulayat masyarakat hukum adat atas tanah adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah berserta segala isinya (garis bawah dari Penulis) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Meskipun Pasal 1 Perdasus itu dapat ditafsirkan bahwa hak ulayat masyarakat adat meliputi juga bahan galian (tambang) namun Pasal lain terlihat seperti menegasikannya. Pasal 10 ayat (4) berbunyi: “Pelepasan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah termasuk semua bangunan dan tanaman tumbuh serta sumber daya alam lainnya yang ada di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau tanah hak perorangan warga masyarakat hukum adat tersebut.”
Menurut Maria S.W. Sumardjono, hak ulayat Masyarakat Hukum Adat tidak meliputi bahan galian. Argumentasi dari Guru Besar Hukum Agraria UGM tersebut adalah45:
1. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa cabang produksi yang (a) penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; (b) penting bagi negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; (c) tidak penting bagi negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak, menurut Mahkamah Konstitusi, harus dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
2. Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menggariskan bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi tak termasuk dalam kewenangan pemegang hak atas tanah;
Dengan demikian, terkait pertambangan mineral, minyak gas, batubara dan semua sumber daya energi potensial tidak termasuk dalam pengertian hak Masyarakat Hukum Adat atas SDA yang terdapat di dalam tanah.
————————————-
45 Maria S.W. Sumardjono, “Hak Masyarakat Hukum Adat” dalam Harian Umum KOMPAS, Rabu, tanggal 19 Juni 2013, hlm. 7.
D, Hak Ulayat dan Desa Adat
Menurut UU No. 6 Tahun 2004 tentang Desa, terdapat 2 (dua) jenis desa yaitu Desa dan Desa Adat, yang pada beberapa daerah dikenal dengan nama seperti huta/ nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku. Di dalam Pasal 76 UU tersebut ditegaskan bahwa tanah ulayat merupakan aset desa.
Dalam kenyataannya, secara teritorial bisa terjadi satu desa adat meliputi satu desa, atau satu desa adat yang terdiri dari beberapa desa, atau satu desa yang wilayahnya terdiri dari beberapa desa adat. Selain itu, di dalam perkembangannya Desa Adat telah berubah menjadi lebih dari satu Desa Adat, atau satu Desa Adat menjadi Desa, atau lebih dari satu Desa Adat menjadi Desa, atau satu Desa Adat yang juga berfungsi sebagai satu Desa/kelurahan.
Dengan demikian, analisa terhadap desa adat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, yaitu:
1, Pendekatan teritori.
a. Ada desa adat yang wilayahnya utuh melingkupi 1 desa formal (dengan istilah yang berbeda-beda), contoh: Desa Kanekes di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak (masyarakat Baduy), lembang di Kab. Tana Toraja.
b. Ada desa adat yang wilayahnya merupakan bagian dari desa formal, contoh: Desa Pakraman di Bali.
c. Ada desa adat yang wilayahnya melingkupi beberapa desa formal, contoh: Masyarakat Adat Kasepuhan (10) meliputi 141 desa, 4 kecamatan dan 3 kabupaten; banua dari suku Dayak; nagari di Sumatera Barat, dan masyarakat adat di Papua.
2, Pendekatan status hukum.
a. Desa-desa di Jawa dan Bali merupakan desa yang mempunyai status hukum sebagai badan hukum publik; sementara desa-desa di luar Jawa tidak sebagai badan hukum.46
b. UU Mahkamah Konstitusi telah memberikan legal standing kepada masyarakat adat (Pasal 51 ayat (1) butir b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3. Pendekatan kewenangan
a. Kewenangan apakah yang dimiliki oleh kepala adat dalam melakukan pelayanan publik?
b. Apakah dilakukan pembagian kewenangan antara kepala adat dengan kepala desa formal?
c. Apakah kepala adat secara struktural merupakan bagian dari kepala desa formal?
d. Bagaimanakah hubungan antara kepala adat dengan kepala desa formal?
————————————-
46 Di Bali, desa pakraman telah ditetapkan sebagai badan hukum publik yang dapat mempunyai hak milik atas tanah berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.276/KEP-19.2/10/2017 tentang Penunjukan Desa Pakraman Di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah; sementara pura – sebagai bagian dari desa adat – jauh sebelumnya telah ditetapkan sebagai subyek hak milik atas tanah.
Beberapa peraturan di daerah yang secara tegas menyebut tentang eksistensi desa adat beserta kewenangannya adalah:
1. Provinsi Sumatera Barat (Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari).
2. Provinsi Bali (Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001).
3. Keputusan Bupati Tana Toraja Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Lembang.
Di Sumatera Barat (Minangkabau), desa adat adalah nagari. Nagari adalah “negara” yang berpemerintahan sendiri, merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat, lengkap dengan kaidah/norma yang mengatur masyarakat dan umurnya sudah tua.47 Dalam perkembangannya,
————————————-
47 Sjahmunir “Pemerintahan Nagari dan … op.cit., hlm.3.
desa-desa adat tersebut mendapat pengaruh eksternal, khususnya dari Pemerintah Kolonial untuk memperkokoh cengkeraman politik dan ekonomi atas daerah-daerah di Indonesia. Sebagai contoh adalah IGOB (Inlands Gemeente Ordonnantie Buitengewesten) 1938 (Stb. 1938 No. 490) yang memberikan peluang kepada Belanda untuk mencampuri urusan Pemerintahan Nagari. Hal tersebut dapat dilihat dari keanggotaan Kerapatan Nagari, dimana terdapat Penghulu Bajinih (Berjenis) dan ada Penghulu Basurek (bersurat). Penghulu Basurek keanggotaannya ditunjuk dan dibesluitkan oleh Pemerintahan Belanda.48
Di Bali, desa adat disebut dengan desa pakraman, yang eksistensinya berdampingan dengan desa dinas (desa atau kelurahan). Pada masa Bali Kuno, desa pakraman itu disebut banwa atau banua.49 Sebelum tahun 1908, desa mempunyai pengertian sebagai masyarakat adat, dan ketika pada tahun tersebut Pemerintah Kolonial Belanda membentuk desa dinas, maka untuk membedakannya dengan desa pakraman masyarakat adat itu disebut dengan desa pakraman.50
————————————-
48 ibid, hlm.3-4.
49 R. Goris dalam Wayan P. Windia, 2008, Menyoal Awig-Awig. Eksistensi Hukum Adat dan Desa di Bali, Denpasar: Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm.39.
50 Keterangan Wayan P. Windia di Banjar Nyuh Kuning Desa Mas Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar pada Tim PAH I DPD RI tanggal 6 Agustus 2009.
Pasal 1 huruf e Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali dikatakan: “desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga51 (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
Perda Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tersebut dicabut dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman; dan berdasarkan Perda yang baru ini sebutan desa adat diganti menjadi desa pakraman. Menurut Perda tersebut, “desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali
————————————-
51 Kahyangan Tiga merupakan bagian dari Tri Hita Karana (tiga sebab kemakmuran), yaitu: 1. Kahyangan Tiga, yang terdiri dari tiga pura sebagai pusat pemujaan warga desa, yaitu pura puseh (tempat pemujaan brahma, yang menciptakan alam beserta isinya); pura Desa dan Bale Agung (tempat pemujaan Wisnu yang memelihara); dan pura Dalem (tempat pemujaan Siwa, yang mengembalikan kepada asalnya. 2. Palemahan Desa, yaitu tanah ulayat milik desa yang merupakan tempat pemukiman warga desa yang bersangkutan. 3. Pawongan Desa, yaitu seluruh warga desa yang bersangkutan. Sebagai warga inti adalah setiap pasangan suami-istri yang telah berkeluarga. Lihat Anonim, 1981, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Bali Tahun 1980/1981, hlm.46.
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turuntemurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
Dari pengertian di atas, dapat dilihat unsur-unsur dari desa adat (desa pakraman) yaitu:
1. Desa pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Bali;
2. mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup menurut agama Hindu;
3. dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa);
4. mempunyai wilayah tertentu;
5. mempunyai harta kekayaan sendiri; dan
6. berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Desa adat di Bali mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, ini artinya desa adat mempunyai otonomi. Hak dari desa adat mengurus rumah tangganya bersumber dari hukum adat, tidak berasal dari kekuasaan pemerintahan yang lebih tinggi, sehingga isi dari otonomi desa adat seakan-akan tidak terbatas. Secara garis besar otonomi desa adat mencakup:52
————————————-
52 I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Penerbit Upada Sastra, Denpasar, hlm.19-20.
1. membuat aturan sendiri (dalam hal ini awig-awig53);
2. melaksanakan sendiri peraturan yang dibuat (melalui prajuru);
3. mengadili dan menyelesaikan sendiri (dalam lembaga Kertha Desa);
4. melakukan pengamanan sendiri (melalui pekemitan, pegebagan, dan pecalangan).
Desa adat diikat oleh hukum adat (awig-awig) dan juga tradisi dan tata krama54. Dalam desa adat kahyangan tiga menempati posisi hulu atau kepala, sehingga bagi desa adat kahyangan inilah pemberi inspirasi, kekuatan dan tempat memohon keselamatan untuk warga desa seluruhnya.55 Desa adat dibatasi oleh wilayah tertentu, dimana menurut
————————————-
53 Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. (Angka 11 Perda Nomor 3 Tahun 2001). Awig-awig ada yang tertulis, namun sebagian besar tidak tertulis. Untuk mengatur lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam awig-awig secara lebih terperinci, maka masing-masing desa pakraman dapat membuat peraturan yang lebih rinci yang disebut dengan perarem. Lihat Wayan P. Windia, 2008, op.cit, hlm. 9.
54 Tradisi adalah kebiasaan luhur dari leluhur yang diwarisi secara turun temurun, sedangkan tata krama adalah etika pergaulan yang juga merupakan norma dalam kehidupan bermasyarakat. Hanya ditegaskan bahwa tradisi dan tata krama itu berasal dari budaya atau ajaran Hindu. Lihat ibid … hlm.18.
55 I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, op.cit, hlm.19.
hukum adat disebut “Prabhumian Desa” atau “Wewengkon Bale Agung”. Wilayah desa adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan desa adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat desa adat.56
Sebuah desa adat ada yang hanya terdiri dari satu banjar57 adat, ada pula yang terdiri dari beberapa banjar adat. Jika warga dalam satu banjar lumayan banyak dan wilayahnya (wewidangan/wewengkon) relatif luas, maka untuk kepentingan praktis, banjar itu akan dibagi menjadi beberapa kelompok yang dinamakan tempekan. Pemberian nama tempekan biasanya disesuaikan dengan keadaan tempekan yang dimaksud. Contohnya, yang berada di wilayah bagian utara, akan disebut Tempekan Kaja, yang di selatan disebut Tempekan Kelod, dst. Adakalanya juga tempekan ini diberi nama yang sesuai dengan keadaan warganya, seperti Tempekan Gusti, Tempekan Pande, dll.58
Berdasarkan tradisi dominan, desa pakraman yang ada di Bali dapat diklasifikasikan atas tiga tipe:59
————————————-
56 ibid, hlm.19.
57 Banjar adalah komuniti berdasarkan wilayah yang paling dasar di Bali, terdiri dari 100 sampai 200 rumah tangga, tersusun menurut pola tempat tinggal yang memusat dengan balai pertemuan bersama sebagai fokus. Geertz dalam ibid … hlm.3940; sedangkan menurut Perda Nomor 3 Tahun 2001, banjar pakraman adalah kelompok masyarat yang merupakan bagian dari desa pakraman. Ketika berlaku UU Nomor 5 Tahun 1979, banjar berganti nama menjadi dusun dan lingkungan.
58 Wayan P. Windia, 2008, ibid, hlm.71.
59 ibid, hlm.49.
(1) Desa Bali Aga (Bali Mula), yaitu desa pakraman yang masih tetap menganut tradisi pra-Majapahit. Pada desa-desa seperti ini tidak dikenal adanya sistem kasta. Kebanyakan berada di sekitar Kintamani dan daerah pegunungan lainnya di Bali;
(2) Desa Apanaga, yaitu desa pakraman yang sistem kemasyarakatannya dipengaruhi oleh Kerajaan Majapahit, termasuk hukum yang berlaku. Desa-desa ini umumnya terletak di daerah Bali daratan;
(3) Desa Anyar (desa baru), yaitu desa yang terbentuk relatif baru, sebagai akibat dari adanya perpindahan penduduk (transmigrasi lokal) dengan tujuan awal mencari penghidupan. Desa-desa seperti ini dapat ditemui di daerah Jembrana dan Buleleng Barat.
Desa adat di Bali pada prinsipnya merupakan suatu lembaga sosial tradisional, yang mewadahi kegiatan sosial ekonomis, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu, dalam ikatan Khayangan Tiga, yang mempunyai kewilayahan, pengurus adat krama desa, aturan adat yang berupa awig-awig, harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Atas dasar hal tersebut di atas, Desa Adat tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali. Di samping itu Desa Adat dilandasi Tri Hita Karana, yaitu Kahyangan, Pawongan dan Palemahan.60 Sampai saat
————————————-
60 Anonim, 1995, ‘Sambutan Gubernur Kepala Daerah Tingkat
ini terdapat 1.457 desa pakraman di Bali berdasarkan hasil pendataan dari Majelis Desa Pakraman pada tahun 2008.61
Di Maluku Utara, desa adat dikenal dengan nama soa. Soa ini mempunyai keotonoman dan sejarah perkembangannya dibedakan dalam periode prakesultanan dengan pasca-kesultanan. Terdapat 41 (empat puluh satu) soa62 di Maluku Utara, yaitu Soa Sio (9), Sangaji (9), Heku (12), Cim (11). Ke empat kelompok ini disebut dengan Gam Raha atau Empat Kekuatan Besar yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam struktur pemerintahan Kesultanan Ternate.63 Menurut Abdul
————————————-
I Bali Pada Seminar Masalah eksistensi Tanah Pekarangan Desa dan Tanah Ayahan Desa’ dalam Seminar Tanah Pekarangan Desa dan Tanah Ayahan Desa Ditinjau Dari Aspek Agama Hindu, Aspek Lembaga Desa (Desa Adat) dan Aspek Hukum Adat Bali, pada tanggal 1 Nopember 1995 di Bali, hlm.2.
61 Keterangan Wayan P. Windia di Banjar Nyuh Kuning Desa Mas Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar pada Tim PAH I DPD RI tanggal 6 Agustus 2009.
62 Masing-masing soa tersebut mempunyai tugas dan tanggung-jawab yang berbeda-beda dalam sistem pemerintahan Kesultanan Ternate. Soa-Sio dan Sangaji merupakan Bobato 18 (Dewan 18) yang memegang kekuasaan legislatif dan berhak mengajukan calon Sultan kepada Gam Raha, sedangkan Heku adalah para soa pemegang angkatan laut di Kesultanan Ternate, dan Cim adalah para soa pemegang angkatan darat di Kesultanan Ternate, lihat H. Masyhud Ashari, 2008, Status Tanah-Tanah Kesultanan Ternate Di Provinsi Maluku Utara (Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional). Laporan Penelitian: DPPM UII – Fakultas Hukum UII Yogyakarta, hlm.42-48.
63 Hi. Mudaffar Sjah, “Sejarah Hukum Adat dan Lingkungan
Hamid Hasan, pada kelompok Cim juga terdapat 12 (dua belas) Soa, sehingga jumlah yang berpasang-pasangan tersebut saling topang menopang dalam mengendalikan kekuasaan kerajaan. Namun ada satu soa atau marga yang tidak tercatat kedudukannya di kerajaan karena memperoleh tugas-tugas lain, yaitu Soa Tongole.64
Keotonomian soa, mengalami perubahan seiring dengan munculnya Kesultanan Ternate. Perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan status desa adat (soa) tersebut di bawah bayang-bayang kekuasaan Kesultanan Ternate.65 Salah satu contoh perubahan dimaksud adalah hak ulayat soa yang disebut dengan aha soa. Aha soa adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh sesuatu soa, namun aha
————————————-
Hukum Adat Ternate” dalam Sukardi Syamsudin (Adi) dan Basir Awal (Editor), 2005, Moloku Kie Raha. Dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam, Himpunan Pelajar Mahasiswa Ternate, hlm.22-40.
64 Abdul Hamid Hasan, 1998, “Falsafah Adat Ternate” dalam Aroma Sejarah dan Budaya Ternate (Himpunan Makalah Abdul Hamid Hasan), tanpa penerbit, Ternate, hlm.148.
65 Sebagai contoh dari pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate tersebut adalah perubahan struktur pemerintahan adat tradisional orang Tobelo yang mendiami bagian utara Pulau Halmahera. Struktur pemerintahan adat tersebut diganti menjadi sama persis dengan struktur pemerintahan Ternate. Perubahan dimaksud dilakukan untuk membendung pengaruh musuh-musuhnya – Tidore dan Jailolo – yang melarikan diri ke wilayah orang Tobelo tersebut. Lihat Roem Topatimasang, 2004, “Orang Tobelo. Tercerabut & Tersisih Di Tanah Sendiri” dalam Roem Topatimasang (Penyunting), Orang-Orang Kalah, Penerbit INSISTPress, Yogyakarta, hlm.51 dan 52.
soa tersebut diberikan oleh Sultan, karena dalam sistem penguasaan tanah Kesultanan Ternate seluruh tanah merupakan tanah Sultan yang disebut dengan aha kolano.66
Di Sumatera Selatan, desa adat disebut marga, sedangkan tanah ulayat dari marga disebut dengan tanah marga. Dengan keluarnya SK. Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/II/1983 tanggal 24 Maret 1983, maka pemerintahan marga dihapus, namun SK tersebut juga sekaligus masih mengakui marga-marga dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan sebutan Lembaga Adat.
Pertanyaan pertama yang muncul tentang desa adat dikaitkan dengan persoalan tanah ulayat adalah: apakah dalam 1 (satu) desa adat terdapat 1 (satu) masyarakat adat? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan menentukan jumlah hak (tanah) ulayat yang ada dalam satu desa adat. Hal lain yang perlu mendapat perhatian juga adalah: bagaimanakah eksistensi dan kedudukan desa adat yang berada dalam wilayah suatu swapraja.
F, Subyek Hak Ulayat
Subyek dari hak ulayat adalah masyarakat adat. Pada hakikatnya keberadaan masyarakat adat telah diakui oleh The Founding Fathers ketika menyusun UUD 1945. Dalam
————————————-
66 H. Masyhud Ashari, 2008, op.cit, hlm.53.
Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945, Soepomo mengemukakan antara lain:
“Tentang daerah, kita telah menyetujui bentuk persatuan, unie: oleh karena itu di bawah pemerintah pusat, di bawah negara tidak ada negara lagi. Tidak ada onderstaat, akan tetapi hanya daerah-daerah, ditetapkan dalam undangundang. Beginilah bunyinya Pasal 16: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dalam undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. … Lagi pula harus diingat hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dipapan daerah istimewa saya gambar dengan streep, dan ada juga saya gambarkan desa-desa. Panitia mengingat kepada, pertama, adanya sekarang kerajaan-kerajaan, kooti-kooti, baik di jawa maupun di luar jawa dan kerajaankerajaan dan daerah-daerah yang meskipun kerajaan tetapi mempunyai status zelfbestuur. Kecuali dari itu panitia mengingat kepada daerahdaerah kecil yang mempunyai susunan aseli, yaitu Volksgemeinschafen – barang kali perkataan ini salah tetapi yang dimaksud ialah daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat seperi misalnya Jawa: desa, di Minangkabau: nagari, di Pelembang: dusun, lagi pula daerah kecil yang dinamakan marga, di Tapanuli: huta, di Aceh: kampong, semua daerah kecil mempunyai susunan rakyat, daerah istimewa tadi, jadi daerah kerajaan (zelfbestuurende landschappen), hendaknya dihormati dan dijadikan susunannya yang aseli. Begitulah maksud Pasal 16”.67
Terkait dengan model daerah yang memiliki susunan asli ini, AA GN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko mengatakan bahwa pengakuan terhadap daerah yang memiliki susunan asli ini mempergunakan asas rekognisi, yang berbeda dengan asas dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan. Asas rekognisi merupakan pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya (otonomi komunitas).68
1, Istilah Masyarakat Adat
Di Indonesia, kata masyarakat adat merupakan terjemahan dari kata ‘indigenous people’ dan atau ‘tribal people’. Menurut Konvensi ILO 169 Tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka (Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent States), indegenous people adalah:
“peoples in independent countries who regarded as indigenous on account of their descent from the populations which inhabited the country, or a geographical regions to which the country belongs, at the time of conquest or colonisations or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions.”
————————————-
67 Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan UndangUndang Dasar 1945, Jilid Pertama, Penerbit Yayasan Prapanca, Jakarta, hlm. 310. 68 AA GN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko, Pokok-pokok Pikiran Untuk Penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004 Khusus Pengaturan Tentang Desa, dalam http://desentralisasi. org/ makalah/Desa/ AAGNAriDwipayanaSutoroEko_ PokokPikiranPengaturanDesa.pdf
Kingsbury memberikan sejumlah ciri untuk mengenali kelompok-kelompok yang disebut indegenous people, dengan sejumlah karakteristik pokok:
“(1) mengidentifikasikan dirinya secara otonom sebagai kelompok suku yang berbeda; (2) pengalaman historis dalam hubungan dengan kerentanan kondisi kehidupan mereka terhadap gangguan, dislokasi, dan eksploitasi; (3) memiliki hubungan yang panjang dengan wilayah yang didiaminya; dan (4) keinginan untuk mempertahankan ideologi yang berbeda.”
Ada juga yang mengartikan indigenous people sebagai masyarakat asli atau penduduk asli. Tetapi istilah masyarakat asli atau penduduk asli jarang dipakai dalam konteks ”masyarakat adat” karena terlalu umum dan kurang tepat untuk menggambarkan keadaan sesungguhnya dari masyarakat adat. Istilah masyarakat adat lebih tepat memberikan gambaran tentang keberadaan mereka dalam segala aspek kehidupan mereka, baik agama, hukum, politik, ekonomi, sosial maupun budaya.69
————————————-
69 Anonim, 2001, Masyarakat Adat Di Dunia. Eksistensi dan Perjuangannya, International Work Group for Indigenous Affairs – Institut Dayakologi, Pontianak, hlm.23.
Istilah ‘masyarakat adat’ pertama sekali disepakati di kalangan aktifis NGO yang bergerak di bidang HAM dan Lingkungan bersama sejumlah tokoh adat dalam sebuah sarasehan yang diselenggarakan oleh WALHI pada tahun 1993 di Tana Toraja. Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I di Jakarta pada tanggal 17 s/d 22 Maret 1999 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘masyarakat adat’ ialah kelompok masyarakat yang memiliki asalusul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.
Istilah masyarakat adat tersebut sesuai dengan hasil lokakarya Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) di Tana Toraja tahun 1993, yang merumuskan definisi tentang masyarakat adat sebagai ”… kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turuntemurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri”.
Definisi yang telah dirumuskan oleh JAPHAMA dengan tegas memperlihatkan ciri-ciri masyarakat adat, yaitu:70
1. memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu;
2. memiliki sistem nilai sendiri;
3. memiliki ideologi sendiri;
4. memiliki sistem ekonomi sendiri;
5. memiliki tatanan politik sendiri;
6. memiliki keragaman budaya sendiri;
7. memiliki struktur dan kehidupan sosial sendiri; dan
8. masih melaksanakan adat, budaya, hukum adatnya.
————————————-
70 ibid, hlm.24.
Selain istilah di atas, indegenous people juga diterjemahkan sebagai masyarakat hukum adat, komunitas adat terpencil atau masyarakat terasing, masyarakat tradisional, masyarakat lokal dsb. Dimaksudkan dengan Masyarakat Terasing atau Komunitas Adat Terpencil menurut Keputusan Presiden No.111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil, adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik.
Selain masyarakat adat, beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyebut masyarakat adat adalah ‘masyarakat hukum’ (Hazairin), ‘persekutuan hukum’ (Djojodiguno), persekutuan hukum adat (Soepomo), dan ‘masyarakat hukum adat’ yang diterjemahkan dari kata ‘rechtsgemeenschap’71, yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan ter Haar.
————————————-
Istilah ‘masyarakat hukum adat’ merupakan istilah resmi yang digunakan oleh Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat disebutkan bahwa: masyarakat hukum adat ialah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena persamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Di dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu – yang mencabut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 – dan kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyaraka
————————————-
diterjemahkan sebagai “bersamaan hukumnya” yang bila diterjemahkan ke dalam istilah Bahasa Indonesia berarti “persekutuan hukum”. Arti lain dari gemeenschap adalah “masyarakat” , dengan demikian istilah rechtsgemeenschap dapat diberi terjemahan dalam bahasa Indonesia menjadi “masyarakat hukum”. Lihat H.M. Koesnoe, 2000, op.cit, hlm. 20-21.
Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, juga memberikan pengertian yang sama mengenai Masyarakat Hukum Adat.
Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.
Penulis lebih sependapat menggunakan istilah masyarakat adat. Kalangan aktivis Ornop dan organisasi masyarakat adat semacam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memandang istilah `masyarakat hukum adat’ mempersempit entitas masyarakat adat sebatas entitas hukum. Sementara istilah masyarakat adat dipercaya memiliki dimensi yang luas dari sekedar hukum. Misalnya dimensi kultural dan religi. Jadi, istilah masyarakat adat dan istilah masyarakat hukum adat memiliki sejarah dan pemaknaan yang berbeda.
“Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan dirawat oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik-akademis. Istilah tersebut digunakan untuk memberi identitas kepada golongan pribumi yang memiliki sistem dan tradisi hukum sendiri untuk membedakannya dengan golongan Eropa dan Timur Jauh yang memiliki sistem dan tradisi hukum tertulis.72 Emil Ola Kleden73 mengatakan bahwa masyarakat hukum adat diciptakan dan didorong dalam kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk memetakan secara sosial politik keberadaan sekaligus membedakan perlakuan hukum kepada kelompok rechtsgemeenschap dengan masyarakat Eropah dan Timur Asing.
Istilah masyarakat adat mengemuka pada awal dekade 90-an ketika berlahiran sejumlah ORNOP yang memperjuangkan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Tidak bisa disangkal gerakan yang memperjuangkan isu ini berinspirasi dari gerakan pembelaan terhadap indigenous peoples di Amerika Latin pada dekade 70-an dan Asia Selatan pada dekade 80-an.
————————————-
72 Rikardo Simarmata, “Menyongsong Berakhirnya Abad Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan Bersyarat”, Tulisan disampaikan pada ‘ International Advocacy and Capacity Building for Indigenous Peoples in Indonesia’, diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Denpasar, 6-9 September 2004, hlm.2.
73 Emil Ola Kleden, 2007, ‘Evolusi Perjuangan Gagasan “Indegenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional’, makalah dalam Advanced Training Hak Hak Masyarakat Adat (Indegenous Peoples’ Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM Di Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Hak Asasi Manusia – UII dengan Norsk Senter for Menneskerettigheter, Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta, tanggal 2124 Agustus 2007, hlm.12.
Di Indonesia istilah indigenous peoples tidak diterjemahkan menjadi `masyarakat asli’, melainkan menjadi masyarakat adat. Penggunaan istilah masyarakat asli tentu saja akan melahirkan polemik yang tajam bahkan mungkin tak berkesudahan. Sedangkan penggunaan istilah masyarakat adat, dari segi pemakaian, dianggap lebih populer.
2, Timbulnya Masyarakat Adat
Tidak ada jawaban pasti bila masyarakat adat mulai ada, namun jauh sebelum masuknya penjajah di Indonesia, kepulauan Indonesia telah dihuni oleh berbagai persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) yang mempunyai warga yang teratur, mempunyai pemerintahan sendiri (kepala persekutuan hukum dan pembantupembantunya), dan mempunyai harta materiel maupun immateriel.74 Persekutuan hukum ini juga dinamakan “masyarakat hukum”, yaitu : sekelompok manusia yang teratur dan bersifat tetap, mempunyai pemerintahan/ pimpinan serta mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang kelihatan (materiel) dan benda yang tidak kelihatan mata (immateriel).75
————————————-
74 Soekanto, 1981, Menuju Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, Penerbit P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 67.
75 Iman Soetiknyo, 1988, Materi Pokok Hukum dan Politik Agraria, Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta, hlm.123.
Masyarakat adat ini mempunyai kedaulatan penuh (souvereign) atas wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai kewenangan (authority) penuh untuk mengatur dan menata hubunganhubungan di antara sesama warga serta hubungan antara warga dengan alam sekitar. Pengaturan dan penataan hubungan-hubungan tersebut bertujuan untuk mencari keseimbangan hubungan, sehingga tercipta ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat.76
Soepomo dengan mengutip Ter Haar berpendapat:
“Bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan-golongan itu mempunyai susunan yang tetap dan kekal, orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai harta benda, milik keduniaan dan milik ghaib. Golongangolongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum”.
————————————-
76 Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara. (Paradigma Baru Untuk Reformasi Negara), Penerbit Citra Media, Jakarta, hlm. 82.
3, Corak Masyarakat Adat
Sehubungan dengan adanya kepentingan bersama, maka masyarakat adat dapat dibagi kedalam 3 (tiga) model dengan berdasarkan pada faktor-faktor berikut:77
a. genealogis (keturunan), yang dapat dibagi dalam 4 prinsip, yaitu:78
1) patrilineal (patrilineal descent), yaitu determining the transmission of name, property through males. Patrilineal descent is also called agnatic descent.79 Oleh Koentjaraningrat80 disebutkan bahwa struktur patrilineal adalah: …yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di luar batas itu”. Hazairin81 menyatakan bahwa disamping patrilineal murni sebagaimana diuraikan di atas terdapat juga patrilineal beralih-alih (patrilineal alternerend), yaitu: …walaupun masyarakatnya ditinjau dari segi kekeluargaannya bercorak patrilineal mempunyai cara menarik garis keturunan yang memungkinkan bagi mereka melalui saluran seorang perempuan, tergantung pada bentuk perkawinan penyalur atau penghubung itu …”.
————————————-
77 Soekanto, 1981, Meninjau Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, Penerbit P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.68.
78 Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, 1986, Hukum Adat Indonesia, Penerbit Rajawali, Jakarta, hlm. 59-65.
79 Ch Winick dalam ibid, hlm.59.
80 Koentjaraningrat dalam ibid, hlm.59.
81 Hazairin dalam ibid, hlm.60.
2) matrilineal (matrilineal descent), yaitu referring to the transmission of authority, inheritance, or descent primarily through females.82 Menurut Koentjaraningrat83 garis keturunan matrilineal merupakan suatu prinsip: …yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui orang wanita saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat semua kerabat ibunya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ayahnya jatuh di luar batas itu”.
3) bilateral atau parental (bilateral descent), yaitu: a term use to describe the transmission of descent or of property rights through both male and female parents, without emphasizing either one or the other lines. The term bilateral is used in contradistinction to the term unilineal.84
4) bilineal (bilineal descent/double descent/ dubbel-unilateraal/dubble-unilineal). Menurut Koentjaraningrat85, garis keturunan ini adalah: “… yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu, dan melalui orang wanita saja untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiaptiap individu dalam masyarakat kadang-kadang semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan kaum kerabat ibunya jatuh di luar batas itu, dan kadangkadang sebaliknya”.
————————————-
82 Ch Winick dalam ibid, hlm.60.
83 Koentjaraningrat dalam ibid, hlm.60.
84 Duncan Mitchell dalam ibid, hlm.60.
b. teritorial (wilayah), seperti:
1) desa (dorpsgemeenschaap) yaitu apabila suatu tempat mengikat orang-orang secara persekutuan untuk bertinggal di tempat itu – dapat juga dengan tempat tinggal kecil yang tak berdiri sendiri – sedang kepala persekutuan itu dengan pembantupembantunya praktis berdiam di tempat itu juga.
2) daerah (streekgemeenschaap), yaitu jika beberapa tempat tinggal dalam suatu daerah, wilayahnya, masing-masing selalu berdiri yang sejenis, akan tetapi masih merupakan bagian-bagian dari satu persekutuan yang meliputinya, yang mempunyai batas-batas dan pemerintahan sendiri dan yang mempunyai hak ulayat atas tanah hakullah di antaranya dan dikelilinginya tanah-tanah pertanian dan tanah-tanah pertanian yang ditinggalkan, terdapat suatu persekutuan daerah, persekutuan wilayah. Dalam persekutuan ini, desa-desa (termasuk desa yang mula-mula dibentuk di situ, induk desanya) mempunyai kedudukan yang organis.
3) perserikatan desa (dorppendbond) yaitu apabila persekutuan-persekutuan desa – masing-masing lengkap dengan pemerintahan dan wilayah sendiri – tinggal sebagai tetangga berdampingan, mengadakan suatu perserikatan dengan maksud untuk memenuhi kepentingan-kepentingan bersama (membuat jalan-jalan, pengairan, peradilan) atau memelihara suatu hubungan atas dasar relasi dari dahulu, dengan suatu badan pemerintahan yang bersifat menyelenggarakan kerja sama antara pemerintahan-pemerintahan desa-desa, sedangkan gabungan persekutuanpersekutuan itu tak mempunyai hak ulayat sendiri.
————————————-
85 Koentjaraningrat dalam ibid, hlm.60.
c. Genealogis-teritorial, yaitu persekutuanpersekutuan genealogis sebagai bagian-bagian clan yang berdiri-sendiri, ditentukan dan dibatasi oleh hubungannya dengan tanah desanya yaitu daerahnya. Akan tetapi hubungan dengan tanah desanya, daerahnya, itu mengikat juga kelompokkelompok yang tinggal disitu dan yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan menjadi persekutuan hukum, suatu kesatuan.
Ketiga model masyarakat adat tersebut dapat diuraikan secara sederhana sebagai berikut: (a) masyarakat adat genealogis adalah suatu kesatuan hukum yang syarat untuk menjadi anggotanya hanya terdiri dari keturunan tersebut. Dalam persekutuan hukum semacam ini, maka tidak pandang dimana seseorang itu berada atau berdiam kalau ia merupakan anggota dari ikatan keluarga maka ia adalah anggota persekutuan hukum tadi; (b) masyarakat adat territorial adalah suatu persekutuan hukum yang meminta sebagai satu-satunya syarat untuk keanggotaannya hidup bersama pada suatu tempat, contohnya adalah di Jawa dan Madura, Bali (desa), Sumatera Selatan (marga dusun), Aceh (gampong); (c) masyarakat adat genealogis-territorial, yang harus memenuhi kedua syarat di atas. Untuk menjadi anggota masyarakat adat semacam ini seseorang harus seturunan dengan orang-orang atau sebagian orang-orang dari anggota persekutuan dan harus berdiam dalam wilayah persekutuan tersebut. Contoh dari masyarakat adat ini adalah di Enggano, Buru, Seram, Minangkabau (nagari), Batak (huta, kuria).86
————————————-
86 Soediman Kartohadiprodjo, 1977, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia I, Hukum Perdata, Penerbit Ghalia Indonesia dan P.T. Pembangunan, Jakarta, hlm.169-171.
Penandaan dan pemahaman terhadap model masyarakat adat tersebut penting untuk mengetahui dan menentukan pola penguasaan tanah serta hak dan kewajiban adat lainnya.
4, Eksistensi Masyarakat Adat
H.M. Koesnoe87 menyatakan bahwa untuk mengetahui ada tidaknya masyarakat adat dapat dijawab dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. apakah dalam territoir yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan suatu kesatuan yang terorganisir?
b. sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati oleh para anggotanya?
c. Sejak kapankah kelompok itu ada di dalam lingkungan tanah yang bersangkutan (jelas sudah berapa generasi)?
d. Apakah kelompok itu mengikuti suatu tradisi yang homogen dalam kehidupannya, sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan hukum?
e. Bagaimana menurut tradisinya asal-usul kelompok itu sehingga merupakan suatu kesatuan dalam lingkungan tanahnya?
————————————-
87 H.M. Koesnoe, 2000, op.cit, hlm. 34.
Ter Haar88 memberikan 4 (empat) kriteria tentang adanya suatu masyarakat adat, yaitu:
a. Terdapat sekelompok orang;
b. yang tunduk pada suatu keteraturan atau tata tertib;
c. mempunyai pemerintahan sendiri; dan
d. mempunyai harta kekayaan sendiri baik yang berupa materiil maupun immateriil.
Selain itu, Ombo Sutya Pradja 89 menambahkan unsur kelima yaitu adanya hukum yang ditaati atau dipatuhi dalam masyarakat adat itu. Masyarakat adat dimaksud dapat berupa suatu suku (stam), atau oleh sebuah gabungan desa (dorpendbond), atau biasanya sebuah desa saja (tetapi tidak pernah dipunyai oleh seorang individu)90.
Holleman menyebutkan 4 (empat) sifat umum masyarakat adat, yaitu:91
————————————-
88 Ter Haar, 1981, op.cit, hlm.28.
89 Ombo Sutya Pradja, ‘Hutan dan Masyarakat Adat’ dalam Sandra Kartika dan Candra Gautama (Penyunting), Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara, 1999, Prosiding Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta, 1516 Maret 1999. Diterbitkan atas Kerja Sama Panitia Bersama Sarasehan dan Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999 dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), hlm.125.
90 van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya (diterjemahkan oleh Drs. R. Soewargono, M.A), 1975, Pusat Pendidikan Departemen Dalam Negeri, hlm. 13.
91 Dalam Otje Salman Soemadiningrat HR, 2002, Konseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 24.
1. Magis religius. Sifat ini diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat adat mengenal ajaran agama, sifat ini diwujudkan dalam cara berfikir dan kepercayaan pada alam gaib yang menghuni suatu benda, bagi masyarakat yang telah mengenal ajaran agama, perasaan religius diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan. Masyarakat mempercayai bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman;
2. Komunal. Masyarakat adat memiliki asumsi bahwa setiap individu atau anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini pula bahwa setiap kepentingan individu sewajarnya disesuaikan dengan kepentingankepentigan masyarakat, karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat;
3. Konkrit. Sifat ini diartikan sebagai sifat yang serba jelas atau nyata, yang menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam. Pemindahan hak dan tanggung jawab selalu diiringi dengan pemindahan benda;
4. Kontan. Sifat ini mengandung arti sebagai kesertamertaan, terutama dalam kontra-prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu diiringi dengan kontra-prestasi yang diberikan secara serta merta (seketika). Suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan sebagai suatu perbuatan hukum telah selesai seketika itu juga dengan serentak bersamaan waktunya ketika berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat.
Realitas sosial-budaya yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa keberadaan entitas masyarakat adat ternyata cukup beragam, serta memperlihatkan dinamika perkembangan yang bervariasi. Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) tipologi: Pertama, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih kukuh berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan mereka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisonal mereka. Entitas kelompok pertama ini, bisa dijumpai seperti komunitas To Kajang (Kajang Dalam) di Bulukumba, dan Kanekes di Banten.92
Kedua, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi
————————————-
92 Azmi Siradjudin AR, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional dalam
www.ymp.or.id/ content/view/107/35/, diunduh pada tgl.6 Juli 2009 jam 13.47.
masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan “komersil” dengan pihak luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, umpamanya pada komunitas Kasepuhan Banten Kidul dan Suku Naga, kedua-duanya berada di Jawa Barat.93
Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang unik, tetapi tidak mengembangka adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat pada kelompok pertama dan kedua tadi. Komunitas masyarakat adat yang tergolong dalam tipologi ini, antara lain Dayak Penan di Kalimantan, Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Dani dan Deponsoro di Papua Barat, Krui di Lampung, dan Haruku di Maluku.94
Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang ratusan tahun. Masuk dalam kategori ini adalah Melayu Deli di Sumatera Utara dan Betawi di Jabotabek.95
Realitas seperti pengelompokkan tipologi masyarakat adat tersebut, sampai sekarang juga masih banyak dijumpai di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah. Misalnya, Taa Wana, Daa, Kahumamaun, Mansama, Laudje, Tajio,
————————————-
93 ibid.
94 ibid.
95 ibid.
Bolano, Bajo, Kulawi,Bada, Rampi, dan banyak lagi. Dari daftar numerasi di Depdagri, diketahui bahwa Sulawesi Tengah termasuk urutan ketiga setelah propinsi Papua dan NTT dalam hal jumlah kelompok etno-linguistik.96
Menurut fakta, kurang lebih 350 juta penduduk di dunia ini adalah masyarakat adat. Sebagian besar hidup di daerah-daerah terpencil dan merupakan masyarakat yang termarjinalkan.97 Mereka terdiri dari ±5000 masyarakat adat yang menyebar mulai dari masyarakat hutan (forest peoples) di Amazon, hingga masyarakat suku (tribal peoples) di India dan merentang dari suku Inuit di Arktika, hingga masyarakat Aborigin di Australia. Pada umumnya, mereka menduduki dan mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam lainnya.98 Bahkan menurut The World Conservation Union, dari sekitar 6000 kebudayaan di dunia, 4000-5000 diantaranya adalah masyarakat adat, berarti sekitar 80 persen dari semua masyarakat budaya di dunia99.
Menurut data di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, terdapat 20.000 kelompok masyarakat adat di Indonesia.
————————————-
96 ibid.
97 Rafael Edy Bosko, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, ELSAM, Jakarta, hlm. ix.
98 Lihat IWGIA, 2008, “Indigenous Issues”, diakses pada tanggal 27 November 2008 dari www.iwgia.org/sw153.asp
99 Rafael Edy Bosko, 2006, op.cit. hlm.2.
Dari jumlah tersebut, yang baru terdata oleh KOMNAS HAM sebanyak 6.300 kelompok di wilayah Aceh, 700 kelompok di wilayah Sumatera dan 1.000 kelompok di wilayah Bali.100 Sementara itu menurut catatan AMAN, dengan menggunakan kriteria masyarakat adat maka terdapat sekitar 50 – 70 juta penduduk di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat.101
Beberapa peraturan daerah yang telah dikeluarkan untuk mengatur masyarakat adat adalah:
1. Masyarakat Adat Baduy (Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
2. Masyarakat Adat Lundayeh (Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan.
3. Masyarakat Adat Seko (Keputusan Bupati Luwu Utara Nomor 300 Tahun 2004 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko.
4. Masyarakat Adat Toraya (Keputusan Bupati Tana Toraja Nomor 222/III/2005 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Toraya).
5. Surat Keputusan Bupati Lebak Nomor 430/Kep.318/Disporabudpar/2010 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Cisitu Kesatuan Sesepuh Adat Cisitu Banten Kidul di Kabupaten Lebak.
Persoalan krusial masyarakat adat yang senantiasa menjadi perdebatan adalah apakah masyarakat adat dapat diakui sebagai suatu entitas yang berdaulat atau tidak. Dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia – UUD 1945, UUPA dan berbagai UU Sektoral lainnya serta Peraturan Menteri/Daerah – maka entitas masyarakat adat dibatasi oleh klausula yang standar seperti “sepanjang masih ada”.
Bagi kaum positivis, eksistensi masyarakat adat sebagai sebuah entitas dibatasi oleh ada tidaknya kedaulatan yang dimiliki oleh masyarakat adat tersebut, dan masyarakat adat kerap dianggap tidak memenuhi kriteria keanggotaan ‘masyarakat internasional yang beradab”.102
5, Pengaturan dan Kedudukan hukum (Legal Standing) Masyarakat Adat
Pada zaman penjajahan Belanda, pengaturan tentang masyarakat adat dengan segala norma yang ada di dalamnya dituangkan dalam Staatsblad Nomor 83 Tahun 1906 tentang Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO)
————————————-
102 Ratno Lukito, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Penerbit Pustaka Alvabet, Tangerang, hlm. 182 dan 183.
yang berlaku di Jawa dan Madura dan Staatsblad Nomor 490 Tahun 1938 tentang Inlandsche Gemeente Ordonantie Buiten Gewesten (IGOB) yang berlaku di luar daerah Jawa dan Madura.
Dengan keluarnya UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja sebagai bentuk Peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh wilayah Republik Indonesia; maka IGO dan IGOB dinyatakan tidak berlaku lagi dan keberadaan masyarakat adat diintegrasikan dengan desapraja sebagai langkah persiapan melakukan pembentukan daerah tingkat II, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU Nomor 19 Tahun 1965 tersebut dicabut dengan UU Nomor 6 Tahun 1969, dan dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka pengaturan tentang masyarakat adat sebagaimana diatur dalam UU sebelumnya menjadi tidak berlaku.
Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa ada empat kualifikasi pemohon103 dalam pengujian undang-undang, yaitu: (1) perorangan104 warga negara Indonesia; (2)
————————————-
103 Dimaksudkan dengan “pemohon” adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya (hak-hak yang diatur dalam UUD Tahun 1945) dirugikan oleh berlakunya undang-undang. 104 termasuk juga kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (3) badan hukum publik atau privat; atau (4) lembaga negara.
Dalam Perkara No. 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Kehutanan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dari Riau dan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu dari Benten, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa kedua masyarakat adat tersebut di atas (Kenegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu) memenuhi kualifikasi sebagai pemohon meskipun kedua masyarakat adat tersebut pengakuan keberadaannya tidak melalui peraturan daerah. Pengakuan terhadap masyarakat adat Kasepuhan Cisitu hanya melalui Keputusan Bupati Lebak Nomor 430/kep.318/Disporabudpar/2010 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Cisitu Kesatuan Sesepuh Adat Cisitu Banten Kidul di Kabupaten Lebak; sedangkan Perda Kabupaten Kampar No. 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat dimana Masyarakat Kenegerian Kuntu berada tidak secara khusus menentukan bahwa Masyarakat Kenegerian Kuntu sebagai masyarakat adat.
Masyarakat adat yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi dilekati dengan persyaratan sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu: (1) sepanjang masih hidup; (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) prinsip NKRI; dan (4) diatur dalam undang-undang.
Mahkamah Konstitusi memberikan penjelasan terhadap 4 (empat) syarat tersebut dalam putusan Perkara No. 10/PUU-I/2003 perihal pengujian UU No.11 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No.53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Singingi, dan Kota Batam105 sebagai berikut:
(1) Masih hidup: kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung 4 (empat) unsur, yaitu:
(a) Adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
(b) Adanya pranata pemerintahan adat;
(c) Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
(d) Adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur adanya wilayah tertentu.
————————————-
105 Persyaratan dan unsur-unsur dari masyarakat adat tersebut tercantum juga dalam Pasal 97 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
(2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat, yaitu:
(a) Keberadaannya telah diakui berdasarkan undangundang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik unang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;
(b) Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
(3) Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, apabila kesatuan masyarakat adat tersebut tidak mengganggu eksistensi NKRI sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu: (a) Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI;
(b) Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
(4) Diatur dalam undang-undang yaitu bila ada pengaturan berdasarkan undang-undang.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Di dalam Permendagri tersebut dinyatakan bahwa pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dilakukan dengan tahapan kegiatan:
(1) Pembentukan Panitia MHA kabupaten/kota dengan Keputusan Bupati/Walikota;
(2) Identifikasi MHA, dengan melakukan pencermatan terhadap:
a) sejarah MHA; b) wilayah adat;
c) hukum adat;
d) harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan e) Kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
(3) Verifikasi dan validasi MHA dari hasil identifikasi tersebut; dan
(4) Penetapan MHA dengan keputusan bupati/walikota.
BAB II POLITIK HUKUM TANAH ULAYAT
Pengertian politik hukum tanah ulayat dalam tulisan ini beranjak dari beberapa pengertian politik hukum. Menurut M. Solly Lubis1, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang sebenarnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejalan dengan Guru Besar Fakultas Hukum USU itu, Padmo Wahyono mengatakan: “politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk”.2 Perlu pula dikemukakan pendapat Moch. Mahfud
————————————-
1 M. Solly Lubis, 1989, Serba Serbi Politik dan Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm. 100.
2 Padmo Wahyono, 1989, Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Penerbitan Bersama Firma Wijaya dan Yayasan Tritura ’66, Jakarta, hlm. 36.
MD tentang pengertian politik hukum untuk melihat hukum yang dibentuk itu apakah netral atau tidak. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia itu mengatakan, “politik hukum meliputi proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan”.3 Namun, “dalam prakteknya hukum kerapkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan”.4
Bertolak dari pengertian politik hukum oleh ketiga Guru Besar Hukum Tata Negara tersebut, maka persoalan politik hukum tanah ulayat berarti membahas tentang bagaimana kebijakan ‘penguasa’ dalam mengatur tanah ulayat melalui pembuatan/penggantian aturan hukum agar penguasaan, penggunaan atau pemanfaatan tanah ulayat tersebut sesuai dengan tujuan politik penguasa.
Dalam perkembangan sejarah, garis politik tersebut merentang dari konsepsi komunalistik pada feodalistik dan kemudian liberalistik/kapitalistik. Meskipun terdapat 3 (tiga) model konsepsi namun garis politik tersebut tidaklah mutlak berdiri sendiri, tetapi bisa saja berlaku beriringan pada rentang waktu yang sama.
————————————-
3 Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Penerbit LP3ES, Jakarta, hlm. 9.
4 ibid, hlm.13.
Oleh karena itu pembahasan mengenai politik hukum tanah ulayat tidaklah didasarkan pada ketiga ideologi dimaksud, akan tetapi ditukikkan ke dalam 3 (tiga) rentang waktu perjalanan sejarah keagrariaan, yaitu:
(1) masa Kolonial;
(2) pasca Kemerdekaan; dan
(3) di bawah rezim UUPA.
A, Masa Kolonial
Pada masa kolonial Belanda, berdasarkan penyelenggaraan pemerintahannya (staatskundig) daerah di Indonesia dibagi 2 (dua) yaitu:5 (1) daerah langsung (direct gebied atau gouvernementsgebeid atau rechtstreeks bestuurd gebied), yaitu wilayah yang diperintah oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda secara langsung6; dan (2) daerah tidak langsung (indirect gebied atau zelfbestuursgebied atau landschap gebied atau landschappen), yang meliputi sebagian besar wilayah Hindia Belanda yang pada prinsipnya mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat tradisional (asli), namun mengakui kedaulatan Belanda atas mereka. Daerah tidak langsung inilah yang disebut dengan daerah swapraja, dan persoalan tanah ulayat tentunya berada pada daerah tidak langsung tersebut.
————————————-
5 Mahadi, 1970, Perkembangan Hukum Antar Golongan Di Indonesia, Jilid 1. Penerbitan Fak. Hukum USU No. 6.
6 Koerniatmanto Soetoprawiro, 1994, Pemerintahan & Peradilan Di Indonesia (Asal-Usul & Perkembangannya), Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5
Beranjak dari pemikiran bahwa antara tanah ulayat dengan tanah swapraja adalah berbeda, maka terkait dengan persoalan tanah ulayat dalam wilayah ‘swapraja’ muncul 2 (dua) pertanyaan yaitu: pertama, apakah terdapat tanah (hak) ulayat dalam wilayah swapraja? Kedua, bagaimanakah politik hukum Pemerintah Kolonial terhadap eksistensi tanah ulayat tersebut? Pertanyaan pertama diuraikan dengan melihat pada perjalanan sejarah Pemerintah Kolonial terkait dengan persoalan pertanahan di berbagai daerah.
Menjelang akhir abad ke 19, tatkala pemerintah Kolonial Belanda bermaksud membuka usaha perkebunan di Sumatera Timur maka persoalan tanah ulayat muncul ketika Sultan bermaksud memberikan konsesi dalam wilayah kekuasaannya. Akta Konsesi 1877 secara implisit menunjukkan bahwa telah terdapat hak ulayat dari ‘Orang Rawa’ atas hutan-hutan yang diberikan konsesi, meskipun Sultan Siak menganggap bahwa tanah tersebut adalah miliknya.7
Sebelum pertengahan tahun 1870-an, Sultan Deli dan juga Sultan Sultan kerajaan tetangga memberikan konsesi dengan tidak melibatkan kepala persekutuan adat (Datuk, Kepala Urung) yang menimbulkan pemberontakan sukusuku Batak Karo. Padahal masing-masing suku tersebut (Hamparan Perak, Serbanyaman, Sukapiring, dan
————————————-
7 Mahadi, 1978, Sedikit “Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah Di Sumatera Timur” (Tahun 1800-1975), Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 87.
Senembah) mempunyai hak ulayat sebelum kedatangan Raja Sentral (Sultan).8
“Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa kepalakepala suku itu tidak keberatan terhadap ondernemingonderneming melainkan hanya keberatan terhadap penggunaan hak yang melanggar hukum oleh Sultan, karena ia telah memberikan konsesi-konsesi yang termasuk dalam wilayah mereka. Residen Belanda menyelesaikan pertentangan langsung antara sultan dan kepala-kepala suku batak Karo itu dengan menetapkan bahwa pembayaran untuk konsesi-konsesi di wilayah Karo mesti dibagi tiga bagian yang sama, sepertiga untuk Sultan, sepertiga untuk datuk-datuk Batak Karo, dan sepertiga untuk kepala-kepala desa di dalam lingkungan konsesi itu.9 Itulah sebabnya ketika Sultan Mahmud Deli pada tahun 1870 berani menyerahkan tanah subur kepada maskapai Belanda “de Rotterdam” di wilayah Sunggal tanpa seijin kepala suku, berakibat pada pecahnya Perang Sunggal.10
Berdasarkan uraian di atas Mahadi11 menyimpulkan bahwa dalam wilayah Kesultanan Deli terdapat hak ulayat
————————————-
8 ibid, hlm. 196-197.
9 Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani. Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria Di Sumatera Timur 1863-1947. 1985, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 93-95.
10 T. Lukman Sinar, 1996, Perang Sunggal (1872-1895), tanpa penerbit, hlm. 10.
11 Mahadi, 1978, op.cit. hlm. 88.
dari rakyat. Hak ulayat dan lembaga persekutuan hukum dikenal di daerah Melayu sebelum kedatangan Rajaraja sentral, yaitu di masa masih berlakunya keadaan banyak raja-raja Kecil, yang kemudiannya kehilangan kedaulatannya sebab berpindah pada Raja Sentral (sultan), misalnya Kerajaan-kerajaan Sukapiring, XII Kota, Senembah, Percut dan lain-lain”.
“Pada zaman Hindia Belanda maka atas hak-hak ulayat dari masyarakat di sekitarnya di Sumatera Timur dilaksanakan oleh para Datuk Nan Empat dan kemudian didelegasikan kepada Sultan untuk memberikan suatu hak untuk menyewakan tanah-tanah yang ada dalam wilayah kekuasaannya …. Khusus untuk daerah Deli maka perjanjian konsesi tersebut oleh Sultan Deli dengan penguasa adat yaitu para datuk yang disebut sebagai pembesar kerajaan ditandatangani dengan investor yang diberikan hak konsesi…12
Dalam perkembangan selanjutnya hingga pasca kemerdekaan, perdebatan dan konflik mengenai eksistensi tanah ulayat diwarnai pada seputar hak-hak rakyat dalam perkebunan (konsesi) yang meliputi13 (1) tanah seratus atau tanah rabian (wisselbouw), yaitu tanah untuk pertanian seluas 4 bahu; (2) tanah enam ratus (tanah perluasan
————————————-
12 Rehngena Purba, ‘Masyarakat Hukum Adat Melayu Deli dan Hak Ulayat’, makalah disampaikan pada Seminar Sehari Laskar Ampera M. Nawi Harahap Angkatan 66 Medan –SUMUTdi Hotel Sahid Medan Tanggal 11 Agustus 1999, hlm. 11.
13 Mahadi, 1978, op.cit, hlm.128.
kampung); (3) tanah hutan, yaitu untuk mengutip hasil hutan; dan (4) tanah jaluran.
Di daerah Swapraja Yogyakarta, tanah ulayat ada pasca Reorganisasi Kompleks berdasarkan Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Paku Alaman Tahun 1918 No. 18. Dalam Reorganisasi Kompleks tersebut Desa/ Kalurahan dibentuk dan kepada masing-masing desa/ kalurahan diberikan tanah desa dengan hak anggaduh (inlands bezitsrecht). Sebagai masyarakat (adat) yang bercorak teritorial, maka tanah desa dari desa (kalurahan) tersebut dapatlah diklasifikasikan sebagai tanah ulayat.
Perihal tanah ulayat dari desa (kalurahan) tersebut menjadi persoalan dengan terbitnya UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta (Perdais) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten. Point utama dari kedua ketentuan tersebut adalah: (1) Kasultanan dan Kadipaten sebagai subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah; dan, (2) seluruh tanah desa merupakan tanah yang berasal dari pemberian hak anggaduh atas Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten. Dengan demikian konstruksi haknya adalah tanah (ulayat) desa tersebut berada di atas hak milik Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten; suatu konstruksi yang tidak dikenal dalam sistem Hukum Tanah Nasional dan tidak sesuai dengan konsepsi hak ulayat itu sendiri.
Di Kesultanan Ternate, tanah ulayat ditemukan pada desa/marga (soa) yang disebut aha soa yang pengaturannya dilakukan oleh Fanyira/Kimalaha/Sangaji (Kepala Soa). Pada awalnya soa merupakan kesatuan masyarakat adat yang otonom, namun kemudian kedaulatan soa dikooptasi oleh Kesultanan. Hal tersebut dapat diketahui dengan dimasukkannya seluruh soa sebagai bagian dari struktur Pemerintahan Kesultanan Ternate, yaitu sebagai Bobato Nyagi Moi Se Tufkange (Bobato Delapan Belas) yang merupakan perwakilan (legislatif) dari 18 soa yang ada dalam wilayah Kesultanan Ternate.14
Tidak diperoleh keterangan pasti bila proses kooptasi tersebut dimulai, namun dalam sebuah catatan sejarah diketahui bahwa pada tanggal 31 Januari 1652 Sultan Mandar Syah beserta pembesar-pembesar Kesultanan mengadakan perundingan dengan VOC tentang penebangan dan pemusnahan pohon-pohon cengkih (hongi tochten) yang ditolak oleh beberapa sangaji Halmahera Utara.15 Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Kepala Soa memberikan hak perorangan atas tanah (ulayat) maka
————————————-
14 Busranto Abdullatif Do’a, ‘Sistem Kemasyarakatan Tradisional Ternate Dalam Perspektif Budaya Modern’ dalam Sukardi Syamsudin dan Basir Awal (Editor), 2005, Moloku Kie Raha Dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam, Himpunan Pelajar Mahasiswa Ternate, hlm.99.
15 M. Adnan Amal, 2001, Kepulauan Rempah-Rempah. Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, tanpa penerbit, hlm.79-80
harus dimintakan persetujuan dari Sultan. “Hal tersebut mengingat dalam hirarkhi Hak Penguasaan Atas Tanah dalam sistem Hukum Tanah Kesultanan Ternate, hak atas tanah yang tertinggi adalah aha Kolano (tanah Kolano atau tanah Sultan), artinya seluruh tanah adalah milik Sultan. Penguasaan tanah oleh anggota Soa yang luasnya melebihi 50 x 50 M2 memerlukan ijin dari Sultan”.16
Saat ini, adalah persoalan yang perlu mendapat perhatian dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hakhak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate. Menurut Perda ini, Kesultanan Ternate merupakan masyarakat Adat (Pasal 2 ayat 1) dan Sultan sebagai pemangku adat tertinggi (Pasal 4 ayat 1). Menurut Perda ini pemerintahan Kesultanan sebagai sebuah swapraja disamakan dengan sebuah masyarakat adat, sesuatu yang berbeda dalam konsepsi, subyek dan hak-haknya atas tanah.
Tiga contoh di atas secara implisit menunjukkan bahwa sesungguhnya ‘gong’ pemusnahan tanah ulayat telah ditabuh, yang oleh Ter Haar17 dan Soekanto18 dikatakan
————————————-
16 Masyhud Ashari, 2008, Status Tanah-Tanah Kesultanan Ternate Di Provinsi Maluku Utara (Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional), Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 53.
17 Ter Haar, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 66 -67.
18 Soekanto, 1996, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu
sebagai pengaruh ‘merusak’ tanah ulayat yang terjadi di lingkungan sekitar tempat tinggal Raja sebagai akibat pemerintahan intensif karena adanya beneficium19 atau lungguh/apanage (Yogyakarta).
Kooptasi tanah-tanah ulayat ke dalam penguasaan tanah oleh Kerajaan menunjukkan peralihan penguasaan tanah yang berkonsepsi komunalistik ke penguasaan tanah yang berkonsepsi feodalistik, yang oleh Mochtar Naim20 dikatakan sebagai struktur masyarakat daerah yang bersifat vertikal. Raja – sebagai pemilik tanah tertinggi – mendistribusikan penguasaan tanah secara vertikal baik kepada penguasa subordinasi maupun kepada rakyat. Dalam sistem feodalisme, tanah adalah milik raja, dan itu berlaku baik dalam kerajaan Hindu dan Islam. Bagi Raja, atau Sultan, atau Sunan, atau nama lain, seluruh tanah yang berada dalam wilayah kekuasaannya adalah miliknya.21
————————————-
Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, P.T.RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 119-122.
19 Beneficium adalah imbalan yang diberikan Raja kepada kawulanya atas kepercayaan dan kesetiaannya, lihat Satjipto Raharjo, 1991, Ilmu Hukum, Penerbit P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 216-217.
20 Kata sambutan dalam buku Julius Sembiring, 2009, 1000 Peribahasa Daerah Tentang Tanah/Pertanahan di Indonesia, Penerbit STPN Press, Yogyakarta, hlm.xiii.
21 Atas klaim itu, dikenal beberapa istilah seperti Aha Kolano (Ternate), Grant Sultan (Sumatera Timur dan Riau), Sultan Grond (Yogyakarta). Masa Pemerintahan Raffles di Indonesia (1811-1816) juga mengklaim bahwa seluruh tanah adalah milik raja, dan karena raja-raja di Indonesia telah tunduk
“Di Jawa, sebagai pemilik tanah Raja dapat memberikan lungguh (apanage) kepada para pangeran serta priyayi sebagai tanah gaji.22 Melalui pemegang apanage tersebut ikatan feodal dibangun sehingga terbentuk ikatan kawulagusti (patron-client) sehingga kawula/client yang tinggal di atas tanah tersebut mempunyai kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah (upeti) kepada pemilik tanah. Selain penyerahan wajib para kawula juga mempunyai kewajiban untuk bekerja dalam jangka waktu tertentu yang dikenal dengan nama kerja wajib atau rodi.
Konsep pemilikan tanah seperti ini ada persamaan dengan di Eropah dimana raja adalah dominium directum, artinya kekuasaan mutlak atas tanah ada pada raja, sedangkan petani adalah dominium utile, artinya petani hanya mempunyai hak untuk mengerjakan tanah raja … 23. Klaim tersebut semakin intens, ketika terjadi persaingan antar Raja/Sultan/Sunan untuk memperkuat kekuasaannya, dan juga ketika para Raja/Sultan/Sunan perlu mempertebal
————————————-
kepada Pemerintah Inggeris, maka tanah-tanah tersebut kepemilikannya beralih kepada Inggeris, oleh karena itu penduduk Indonesia wajib membayar pajak (landrente).
22 Onghokam “Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah” dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi,1984, Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, hlm.5.
23 De Locomotief, 12 April 1870 dalam Suhartono W.Pranoto, 2001, ‘Lungguh dan Lurah: Tetap Aktual dalam Suhartono W.Pranoto Serpihan Budaya Feodal, Penerbit Agastya Media, Yogyakarta, hal.71.
pundi-pundi kerajaannya sehingga menyerahkan tanah ulayat dari masyarakat adat untuk konsesi pengusaha asing.
Namun sejarah agraria di Indonesia menunjukkan bahwa ternyata pemusnahan tanah ulayat tidak saja dilakukan oleh ‘orang dalam’ atau penguasa feodal, namun juga oleh kaum kolonial asing. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan disusun secara sistematis, agar pemilikan tanah yang komunal beralih menjadi pemilikan yang individual.
Kaum Kolonial beranggapan bahwa pemilikan komunal dikategorikan sebagai ciri masyarakat tradisional, dan sebaliknya pemilikan yang individual merupakan ciri masyarakat modern. Pada masyarakat modern kepentingan individu lebih utama dibandingkan kelompoknya, dan pada aras ini, tanah lebih diposisikan pada fungsi ekonomis dan politis.
Oleh karena itu, tanah ulayat yang bercirikan komunalistik itu harus ‘digiring’ menjadi pemilikan individual atau setidaknya dapat diusahakan untuk kepentingan kaum kapitalis. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Franz and K.von Benda-Beckman “agar sumber daya agraria dapat menjadi komoditas yang marketable, maka status hukumnya harus diubah dari domain traditional living law ke domain hukum negara”.24
————————————-
24 Franz and Keebet von Benda-Beckmann, “The Law of Things: Legalization and De-Legalization in the Relationship between the First and the Third World” dalam E.K.M. Masinambow (Editor), 2003, Hukum dan Kemajemukan
Dengan demikian terdapat perbedaan respon hukum pertanahan atas perbedaan paradigma tersebut. “Hukum pertanahan yang berlandaskan pada nilai individualisme, efisiensi, dan keadilan distributif menekankan pengaturan penguasaan tanah dalam skala besar untuk mengimbangi besarnya modal usaha yang diinvestasikan. Sebaliknya hukum pertanahan yang berlandaskan pada nilai kebersamaan, kekeluargaan, dan keadilan komunatatif atau keadilan korektif menekankan penguasaan tanah yang terbatas atau berskala kecil yang hasilnya cukup memenuhi kebutuhan pangan mereka atau penguasaan tanah yang bersifat subsisten.25
Selaras dengan politik hukum tanah ulayat di atas, adalah suatu hipotesis yang menarik ketika Dr. Mochtar Naim mengatakan bahwa “peralihan tanah ulayat menjadi tanah milik pribadi berakibat pada terjadinya proses penggureman dan pemiskinan, karena pola budaya yang mengenal hak pakai – yang dimaksud adalah hak pakai ganggam bauntuak di atas tanah ulayat – tidak menyebabkan terjadinya proses penggureman dan pemiskinan, sedang pola budaya yang mengenal hak milik menyebabkan timbulnya proses penggureman dan pemiskinan.26
————————————-
Budaya, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal.27.
25 Mubyarto dkk., 1992, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi, Penerbit Aditya Media, Yogyakarta, hal. 15-16.
26 Disarikan dari beberapa tulisan Dr. Mochtar Naim tentang tanah adat (tanah ulayat).
Hipotesis ini menggiring kita pada awal perdebatan antara kaum Stoa yang mengusung teori milik bersama dengan Thomas Aquinas yang menolak faham milik bersama. Namun bagaimanapun perdebatan itu, struktur sosial dan ekonomi yang berkembang di Indonesia sejak zaman kolonial hingga saat ini, bermuara pada pemunahan tanah ulayat.
Merujuk pada uraian di atas, bagian selanjutnya dari pembahasan ini akan ditukikkan pada persoalan tentang bagaimana politik pertanahan Kolonial ‘menghabisi’ tanah ulayat yang merupakan tabuhan kedua untuk ‘memusnahkan’ tanah ulayat. Tabuhan kedua ini sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan kedua di atas.
Politik hukum Pemerintah Kolonial Belanda yang mempunyai pengaruh besar pada eksistensi tanah ulayat adalah diundangkannya Agrarisch Wet 1870 (Stb. 1870 No. 155)27, dengan peraturan pelaksananya Agrarisch Besluit 1870, yang memberlakukan asas domein dalam sistem penguasaan tanah. Pasal 1 AB 1870 berbunyi: “Behoundens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop
————————————-
27 AW 1870 berlaku untuk Jawa dan Madura, untuk daerahdaerah di luar Jawa dan Madura diberlakukan Staatsblad 1875 -199a (daerah langsung di luar Jawa dan Madura), S.1875-94f (Domein Verklaring untuk Sumatera), S.1877-55 (Domein Verklaring Karesidenan Manado) dan S.1888-55 dan 88 (Domein Verklaring Karesidenan Kalimantan Timur dan Selatan); dan juga dalam beberapa peraturan tentang Erfpacht (S.1875-94; S.1877-55, dan S.1888-55).
niet door anderen recht van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is (“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.
“Pemberlakuan asas domein merupakan ide kaum kapitalis Belanda untuk mempermudah perolehan erfpacht dan opstal, sebab, menurut KUH Perdata, hanya pemilik (eigneaar) yang dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada pihak lain. Dalam Agrarisch Wet, pemerintah bukan pemilik tanah sehingga berdasarkan asas domein, Negara adalah pemilik semua tanah kecuali yang bisa dibuktikan sebagai eigendom dan agrarische eigendom”.28
Domein Verklaring mengakibatkan tersubordinasinya sistem hukum asli Indonesia.29 Kata eigendom dalam Pasal 1 AB 1870 tersebut menimbulkan 3 (tiga) interpretasi:
Pertama, tanah eigendom dapat diartikan menjadi tanah yang dalam hukum perdata disebut sebagai hak kepemilikan eigendom dan agrarisch eigendom. Kedua, karena eigendom dapat diterjemahkan sebagai
————————————-
28 Rikardo Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, tanpa penerbit, hlm. 39-40.
29 Daniel Fitzpatrick, “Tanah, Adat dan Negara di Indonesia pasca-Soeharto. Perspektif seorang ahli hukum asing” dalam Jamie S. Davidson, et.al. (Penyunting), 2010, Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, hlm.147.
kepemilikan, ini dapat berarti tanah dalam segala bentuk kepemilikan pribadi, termasuk hak-hak adat yang setara dengan kepemilikan, tetapi tidak termasuk hak (kepemilikan komunal) masyarakat adat yang disebut hak ulayat. Ketiga, ini dapat mencakup hak kepemilikan dalam hukum perdata dan hak-hak adat yang setara dengan kepemilikan termasuk hak ulayat.30 Pada praktiknya, interpretasi pertama yang dipakai.31
Asas domein itu sendiri ternyata menimbulkan perbedaan pendapat, yaitu apa yang dikenal dengan domein dalam arti luas (Mazhab Utrecht) dan domein dalam arti sempit (Mazhab Leiden), yang muncul ketika rentang domein tersebut dihadapkan dengan beschikkingsrecht.32 Domein dalam arti luas adalah suatu prinsip bahwa lands domein (tanah Negara) meliputi seluruh hutan belukar dan tanah-tanah yang belum dibudidayakan, yang berakibat pada menyempitnya beschikkingrecht. Sementara itu domein dalam arti sempit hanyalah melingkupi wilayah-wilayah yang belum terjamah oleh suatu masyarakat hukum adat.
————————————-
30 Burns dalam ibid, hlm.147.
31 Boedi Harsono, dalam ibid, hlm.148. 32 Beschikkingsrecht adalah hak ulayat masyarakat hukum adat, konsepsi yang diperkenalkan oleh van Vollenhoven dengan Mazhab Leiden-nya, yang mempunyai enam karakteristik, melingkupi seluruh wilayah yang dikuasai oleh suatu masyarakat hukum adat. Dengan demikian tidak terdapat domein negara (menurut prinsip domein verklaring), kecuali areal tersebut sama sekali belum terjamah oleh tangan manusia.
Perdebatan tersebut semakin nyata ketika pada tahun 1916 diterbitkan Doeminnota (memorandum Domein), yang dibuat oleh seorang birokrat dari kementerian, G.J. Nolst Trenite. Domeinnota merupakan sikap resmi pemerintah tentang asas domein dalam arti luas, dan sejak saat itu dianggap mewakili pandangan pemerintah mengenai cara seharusnya doktrin domein ditafsirkan dan diberlakukan.33
Perumusan domein verklaring tersebut yang katanya hendak melindungi dan mempertahankan hak-hak adat atas tanah-tanah pertanian, tidak lain hanya mengakibatkan kekacauan; bahwa pernyataan domein yang katanya bertujuan tercapainya ketertiban dan kepastian, sampai dewasa ini hanyalah merupakan induk dari semua goncangangoncangan hukum, yang belum pernah dikenal dalam perundang-undangan Hindia Belanda.34
Dalam kenyataannya, asas domein ternyata mendesak beschikkingrecht dari pada desa, bahkan dilenyapkannya, karena tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum Indonesia itu tidak tentu tanah yang sudah diberikan
————————————-
33 Lihat catatan kaki nomor 18 pada Marjanne Termorshuizen – Arts “ Rakyat Indonesia dan tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di masa kolonial dan pengaruhnya dalam hukum agraria nasional” dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, 2010, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Penerbit HuMA-Jakarta, van Vollenhoven Institute, Leiden University dan KITLV-Jakarta, hlm.39.
34 C. van Vollenhoven, 1975, Orang Indonesia dan Tanahnya. Seri Agraria 1, (diterjemahkan oleh Soewargono, M.A.), Pusat Pendidikan Departemen Dalam Negeri, hlm.57.
atau diusahakan/digunakan oleh masyarakat hukum atau anggota-anggotanya. Asas domein juga mendesak hakhak lain yang dimiliki masyarakat hukum atau anggotaanggotanya seperti hak berburu, hak mengumpulkan hasil, menebang pohon karena tanah liar menjadi domein Negara.35 Selain itu, “asas domein tersebut ternyata telah mendesak wewenang atas teritori dari Pemerintah Swapraja serta ketaatan kawula suatu negeri terhadap Raja-nya”.36
Bagaimana politik hukum atas tanah ulayat Indonesia dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dapat dilihat pada tindakan-tindakan Pemerintah Kolonial Belanda atas tanah-tanah orang Indonesia. “van Vollenhoven menyebutnya sebagai ‘satu abad pelanggaran hak tanahtanah pertanian orang Indonesia’ dan ‘setengah abad pelanggaran hak tanah-tanah liar37 orang Indonesia’ yang secara garis besarnya terjadi karena Pemerintah Kolonial memandang dan menggunakan pengertian-pengertian Hukum Barat dalam memperlakukan hak-hak atas tanah adat.38
————————————-
35 Aboesono, op.cit., hlm. 43.
36 C. van Vollenhoven, 1975, op.cit., hlm.57,58,dan 61.
37 Dimaksudkan tanah-tanah liar adalah tanah-tanah di sekeliling tanah pekarangan, tanah sawah, dan ladangladang berupa tanah hutan dan padang penggembalaan yang termasuk dalam lingkungan hak penguasaan desa; lihat ibid, hlm. 63. 38 ibid, hlm.63-78.
B, Pasca Kemerdekaan
Politik hukum tanah ulayat pasca kemerdekaan berkaitan erat dengan pembangunan hukum nasional. Pembangunan hukum pasca kemerdekaan diawali dengan paradigma pembangunan hukum rakyat yang anti hukum kolonial dan hukum feodal. Hukum kolonial diyakini menjadi alat untuk menghisap kekayaan sumber daya agraria di bumi Nusantara selama berabad-abad. Hukum kolonial juga melakukan “subordinasi dan pengabaian terhadap hukum adat,39 sementara itu feodalisme dianggap lebih memihak pada kepentingan kolonial ketimbang pada kepentingan rakyatnya sendiri.
Beberapa undang-undang yang menunjukkan aroma ‘nasionalisme’ tersebut adalah: UU No. 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan; UU No. 13 Tahun 1948 tentang Penghapusan Hak-Hak Konversi; UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir, dan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi PerusahanPerusahaan Belanda.
Selain hukum nasional yang anti hukum kolonial dan feodal tersebut, persoalan lain dalam pembangunan hukum nasional adalah persoalan unifikasi hukum bagi semua golongan penduduk. “Permasalahan ini muncul sejak dicanangkannya bewuste rechtspolitiek di tahun
————————————-
39 Daniel Fitzpatrick, “Tanah, Adat dan Negara … op.cit., hlm.147
1840-an dan semakin mengemuka ketika kodifikasi Hukum Perdata dan Hukum Dagang berhasil dilakukan pada tahun 1847”.40 Dalam pembangunan hukum nasional, unifikasi hukum versus pluralisme hukum yang telah berlangsung 2 (dua) abad itu berseiring dengan “perdebatan “antara Sekularisme versus Islamisme”.41 Ratno Lukito mengatakan:
“Perdebatan masalah hukum di awal kemerdekaan tidak hanya berdampak pada soal-soal judisial, tapi juga politik. Ini berkaitan dengan logika negara Indonesia baru yang dicita-citakan, di mana hukum tidak hanya dilihat sebagai suatu entitas tersendiri, akan tetapi juga merupakan buah rasional legal yang secara esensial lahir dari negara itu sendiri. Maka hukum, sejak lahirnya bangsa Indonesia, dipahami sebagai sesuatu yang berasal dari otoritas negara dan bukan dari sumber lain seperti Tuhan (sebagaimana yang ada dalam terminologi Islam) atau masyarakat (sebagaimana yang ditemukan dalam hukum adat). Positivisme dipakai sebagai filosofi hukum formal negara yang mengharuskan hukum mesti dibentuk oleh otoritas sah, dan mesti dipatuhi oleh seluruh warga yang tinggal dalam lingkup negara, termasuk oleh mereka yang membuat hukum itu sendiri. Konsekuensinya, jelaslah hukum berhubungan dengan politik karena badan-badan negara berperan sebagai satu-satunya pemilik sah otoritas hukum.42
————————————-
40 Soetandyo Wignyosoebroto, 1995, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.47.
41 Ratno Lukito, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Penerbit Pustaka Alphabet, Jakarta, hlm.230-243.
Salah satu penentang unifikasi hukum tersebut adalah M.M. Djojodigoeno, didikan Rechtsschool dan Rechtshogeschool serta berpengalaman lama sebagai Hakim Ketua Landraad pada masa Kolonial Belanda. Djojodigoeno mengatakan: “You cannot alter social conditions by making laws … Law has to adjust itself to social condition. You cannot unify law where social conditions do the converse”43
Dalam perdebatan tersebut, Pemerintah Indonesia lebih mengedepankan legal centralism dan unifikasi, baik atas teritori, sistem hukum dan administrasi. John F. McCarthy mengatakan:
After Indonesian independence, the national government faced the challenge of creating of unified and uncontested adminstrative authority, and State policy towards adat now involved the establishing of the primacy of State system over other institutional arrangements. Consequently, despite adherence to the notion of adat in nationalist discource, the Indonesian Republic attempted to set up a unitary administrative system accross the archipelago,
————————————-
42 ibid, hlm.229.
43 M.M. Djojodigoeno dalam Soetandyo Wignyosoebroto, 1995, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional. Dinamika Sosial- Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Penerbit P.T RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 201.
abolishing the “native territories” and the pluralistic system of law and administration.44
Unifikasi hukum itu akhirnya dilakukan namun dengan tetap memberlakukan Hukum Kolonial berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini didasari oleh “kesulitan membangun hukum nasional oleh para juris Indonesia, serta tersitanya perhatian para Pemimpin Republik untuk merealiasikan kesatuan dan persatuan nasional, serta adanya persaingan antara 2 (dua) Pemerintahan pasca Proklamasi 1945”.45
Selain itu, persoalan psikologis dalam pembangunan Hukum Nasional adalah adanya kecurigaan bahwa pemerintah swapraja dan pemerintahan adat dianggap berpihak pada Pemerintahan Kolonial Belanda. Kecurigaan itu berawal ketika M. Yamin dalam Sidang Kedua BPUPKI mengusulkan penataan desa, nagari dan marga agar memenuhi keperluan zaman. “Karena Yamin tidak memberikan penjelasan terhadap usulan ini, boleh jadi pikirannya berangkat dari kekhawatiran bahwa persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) dan persekutuan rakyat (volksgemeenschap), bisa mengganggu jalannya demokrasi modern atau tatanan negara berbentuk republik”.46
————————————-
44 John F. McCarthy, “Between Adat and State: Institutional Arrangements on Sumatera’s Forest Frontier”, dalam Human Ecology, vol. 33 No. 1, Februari 2005, hlm. 65.
45 Soetandyo Wignyosoebroto, 1995, op.cit, hlm. 187-194.
46 Rikardo Simarmata, 2006, op.cit., hlm. 301.
Terjadinya Revolusi Sosial di Medan tahun 1946 dan di Bulungan pasca G 30 S/PKI serta munculnya beberapa Negara Bagian di Sumatera, Jawa, dan Indonesia Timur pada periode Revolusi Fisik hingga pembentukan Republik Indonesia Serikat semakin menguatkan anggapan itu. Persoalan psikologis politik tersebut masih berlanjut ketika kembali ke Negara Kesatuan. Ratno Lukito mengatakan bahwa “keberadaan institusi selain institusi negara dapat dianggap sebagai saingan negara dan oleh karena itu kekuatan hukum yang dimiliki masyarakat (selain negara) harus dilenyapkan”.47 Tak ayal lagi, perhatian terhadap pranata adat seperti tanah ulayat tidak mendapat perhatian dan dianggap sebagai penghambat dalam pembangunan nasional.
Meskipun demikian, “aspek substantif hukum adat masih dianggap sebagai sumber pembentukan hukum nasional”,48 sebagaimana tercantum pada TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Dalam Lampiran B. III. Bidang Pemerintahan dan Keamanan/Pertahanan, angka 22 TAP tersebut menegaskan: “Pembinaan Hukum Nasional agar berlandaskan pada hukum adat yang sesuai dengan perkembangan kesadaran rakyat Indonesia dan tidak menghambat terciptanya masyarakat adil dan makmur”.
————————————-
47 Ratno Lukito, 2008, op.cit., hlm. 247.
48 ibid, hlm. 247.
C, Di Bawah Rezim UUPA
Sejak awal rancangan pembentukannya di tahun 1948, UUPA telah menunjukkan karakter anti kolonialisme, anti feodalisme, anti liberalisme/kapitalisme, dan bermaksud mengakhiri pluralisme hukum agraria. Selain itu, UUPA juga memberikan penghormatan pada Hukum Adat sebagai hukum aslinya rakyat Indonesia, dengan menempatkan “Hukum Adat sebagai dasar dari Hukum Agraria Nasional”49 serta meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
Atas dasar itu politik hukum tanah nasional terhadap tanah adat adalah:
1. Terhadap tanah adat yang dikuasai secara individual diberlakukan penyesuaian dengan hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA sebagaimana diatur dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan Konversi UUPA. 2. Terhadap tanah adat yang dikuasai secara komunal, UUPA memberikan pengakuan dengan pembatasanpembatasan (Pasal 3 UUPA).
Pembatasan tersebut meliputi 2 (dua) hal yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Eksistensi hak ulayat dibatasi dengan: (a) sepanjang menurut kenyataannya masih ada; (b) sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara; (c) berdasarkan atas
persatuan bangsa; serta (d) tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Selain itu, Pasal 3 UUPA juga memberikan pembatasan mengenai pelaksanaan hak ulayat tersebut yaitu, “pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi” Pembatasan ini ‘mungkin’ saja dilakukan mengingat bahwa “hukum adat tidak lagi murni karena sudah dipengaruhi oleh politik masyarakat kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal.50
Secara konstitusional, pengakuan bersyarat atas tanah ulayat termaktub dalam Amandemen UUD 1945. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”; dan Pasal 28 I ayat (3): “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Dalam Konstitusi ini, pengakuan tersebut diberikan pada masyarakat
————————————-
50 Rikardo Simarmata, 2006, op.cit., hlm. 61-62.
(hukum) adat yang merupakan subyek dari tanah (hak) ulayat.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengakuan itu – sebagian tidak bersyarat – tercantum dalam beberapa undang-undang, yaitu:
1. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 6 ayat (2): “Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.
2. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 4 ayat (3): “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.
3. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Penjelasan Pasal 34 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengakuan adalah pengakuan atas adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan melalui musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum adat yang bersangkutan.
4. UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Pasal 35 ayat (6): Dalam hal tanah yang digunakan pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik terdapat tanah ulayat dan yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada, penyelesaiannya dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adat setempat”.
5. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dimana pada Pasal 51 memberikan legal standing kepada Kesatuan MHA untuk mengajukan judicial review.
6. UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Pasal 16 ayat (3) huruf a UU ini menyatakan bahwa keigatan Usaha Pertambangan Panas Bumi tidak dapat dilaksanakan di tanah milik masyarakat adat.
7. UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air51. Pasal 6 ayat (2) dan (3) memberikan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat setempat atas sumber daya air sepanjang (a) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangundangan; (b) kenyataannya masih ada; dan (c) dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
8. UU No. 18 Tahun 2004 diubah dengan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 9 ayat (2): Dalam hal tanah yang diperlukan adalah tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada mendahului pemberian hak dimaksud
————————————-
51 Telah di judicial review dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”.
9. UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 58 ayat (3): “Pemegang hak atas tanah, atau pemakai tanah negara, atau masyarakat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan, berhak mendapat ganti kerugian”.
10. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam Penjelasan UMUM angka 9 f, yang menjamin keterlibatan masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang.
11. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan”.
12. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Penjelasan Pasal 40 disebutkan bahwa ganti kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
13. UU No.11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetika dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati. Penejelasan Umum UU ini menjelaskan: “Pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sumber daya genetik dan secara berkelanjutan diwariskan oleh nenek moyang masyarakat hukum adat dan komunitas lokal kepada generasi berikutnya”.
14. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Penjelasan Pasal 7 menyatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah.
15. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa; dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan eksistensi kesatuan masyarakat hukum berupa desa adat; dan Pasal 76 ayat (1) disebutkan bahwa tanah ulayat merupakan aset desa.
16. RUU Pertanahan yang merupakan inisiatif Kementarian Agraria dan Tata Ruang/adan Pertanahan Nasional. Dalam RUU ini pengaturan ditegaskan pada Tanah Hak Ulayat yang dicantumkan pada Bagian Ketiga “Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”. Beberapa ketentuan pokok yang diatur adalah:
a. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui dan melindungi Tanah Hak Ulayat dan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan persyaratan;
b. Dalam hal Hak Atas Tanah yang telah terbit yang berasal dari Tanah Ulayat jangka waktunya berakhir, maka tanah tersebut kembali menjadi penguasaan MHA yang bersangkutan. Permohonan perpanjangan/pembaharuan HAT dapat diajukan dengan memperoleh persetujuan dari MHA yang bersangkutan.
c. Dalam hal Hak Atas Tanah yang telah terbit yang berasal dari Tanah Ulayat jangka waktunya berakhir, maka jika MHA yang bersangkutan sudah tidak ada lagi, tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara;
d. Di atas tanah ulayat MHA dapat diberikan Hak Pakai kepada Badan Hukum dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari MHA yang bersangkutan; dengan kegiatan yang mendukung kepentingan MHA serta memelihara lingkungan hidup. e. Kepada perorangan di wilayah MHA dapat diberikan Hak Milik dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari MHA yang bersangkutan.
17. RUU Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan inisatif Dewan Perwakilan Daerah RI. (Draft yang dibaca pada Januari 2018). Dalam Diktum ‘Menimbang’ dikatakan bahwa Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) beserta hak asal usulnya telah ada, hidup dan berkembang jauh sebelum berdirinya NKRI, tetapi kondisi MHA tersebut mengalami ketertinggalan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pengakuan dan perlindungan tersebut ditujukan pada Lembaga Adat, wilayah adat, hak kolektif dan hak individual, adanya peradilan adat. Untuk itu akan dibentuk Lembaga Pemerintah di Pusat dan daerah untuk melaksanakan tugas perlindungan tersebut.
18. RUU Hak Atas Tanah Adat, yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Daerah RI (Draft yang dibaca pada bulan Desember 2017). Dalam Diktum ‘Menimbang” dikatakan bahwa latar belakang disusunnya UU ini adalah untuk melakukan unifikasi hak ulayat. Selain itu, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) masih belum secara tegas mengatur tentang hak atas tanah adat. Hak Atas Tanah Adat (HATA) terdiri dari ‘hak milik bersama’, yang dipegang oleh KMHA, dan ‘hak milik perorangan’ yang dipegang oleh anggota perorangan KMHA.
Pada dimensi lokal, pengaturan tanah (masyarakat/ hak) ulayat terdapat dalam beberapa regulasi daerah, diurut berdasarkan tahun, antara lain:
1. Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat.
2. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, diubah dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
3. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Lembang.
5. Keputusan Bupati Bungo Nomor 1249 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo.
6. Keputusan Bupati Merangin Nomor 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang Sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin.
7. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
8. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 3 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
9. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan.
10. Keputusan Bupati Luwu Utara Nomor 300 Tahun 2004 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko.
11. Keputusan Bupati Tana Toraja Nomor 222/III/2005 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Toraya.
12. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.
13. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.
14. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
15. Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate;
16. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah.
17. Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau.
18. Peraturan Daerah Kabupaten Sigi No. 15 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
19. Peraturan Bupati Kabupaten Jayapura No. 320 Tahun 2014 tentang Pembentukan 36 Kampung Adat.
Dilihat pada beberapa regulasi baik pada tingkat Pusat dan Daerah tersebut terdapat ketidaksamaan obyek pengaturan, namun secara keseluruhan dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: (a) mengatur subyek dari tanah ulayat yaitu masyarakat adat atau dengan nama lain yang diakui sebagai desa adat seperti mukim/gampong (Aceh), nagari (Sumatera Barat), lembang (Toraja), desa pakraman (Bali), soa (Ternate); (b) mengatur obyeknya yaitu tanah atau hutan ulayat; dan (c) mengatur hubungan hukum antara subyek dan obyeknya, yaitu tentang hak ulayat itu sendiri. Perbedaan obyek pengaturan tersebut menunjukkan adanya cara pandang sektoral sesuai dengan bidang tugas dan kepentingan masing-masing, serta tidak adanya kesamaan persepsi dalam memberikan pengakuan dan perlindungan dari tanah (masyarakat/hak) adat tersebut, baik pada level pemerintahan Pusat dan daerah.
Sebagai pedoman untuk menyelesaikan permasalahan tentang eksistensi hak ulayat telah dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Di dalam Peraturan tersebut ditegaskan syarat-syarat kumulatif untuk mengetahui eksis tidaknya hak ulayat di suatu daerah, yaitu:
a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya seharihari; dan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Ketiga syarat kumulatif tersebut dapatlah diklasifikasikan sebagai ‘subyek hak ulayat’ (huruf a) – lebih populer dengan sebutan masyarakat adat – yang di Toraya disebut dengan lembang, di Sumatera Barat dengan sebutan nagari, dan di Bali dengan sebutan pakraman. Syarat pada huruf b dapat diklasifikasikan sebagai ‘obyek hak ulayat’ yang dalam hal ini disebut dengan tanah ulayat. Adapun syarat sebagaimana pada huruf c merupakan hukum positif pengaturan ‘tanah ulayat’ yang masih hidup dan ditaati oleh anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Untuk pengaturan lebih lanjut tentang hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 maka diterbitkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 400-2626 tanggal 24 Juni 1999. Menurut ketentuan tersebut maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
a. Penelitian dan pengesahan eksistensi hak ulayat di masing-masing daerah dengan melibatkan pihak yang terkait.
b. Pemetaan wilayah hak ulayat masing-masing.
c. Pengesahan hak ulayat dari masyarakat hukum adat di tiap-tiap daerah oleh masing-masing daerah.
Penelitian dalam rangka memastikan keberadaan tanah ulayat dapat dibedakan karena 2 (dua) alasan, yakni: Pertama, apabila ada kasus yang memerlukan dipastikannya keberadaan hak ulayat karena tanah tersebut akan digunakan untuk kegiatan pembangunan baik dalam rangka pelaksanaan program pemerintah maupun investasi oleh perusahaan. Kedua, dalam rangka memperoleh informasi mengenai status lengkap tanahtanah yang ada di suatu daerah.
Perda Kabupaten Lebak dan Kabupaten Nunukan lahir dari menggunakan metode yang pertama. Sedangkan Perda Kabupaten Kampar, sekalipun dilatari oleh bergolaknya tuntutan pengembalian dan ganti rugi tanah-tanah ulayat, namun lahir karena menggunakan metode yang kedua.52
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan dan Surat Edaran tersebut dikeluarkan Instruksi Kepala Badan Pertanahan
————————————-
52 Rikardo Simarmata, 2006, op.cit.,hlm.320.
Nasional No. 2 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Di dalam instruksi tersebut diperintahkan agar: Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk melakukan pembinaan dan penyusunan petunjuk teknis pemetaan; Kepala Kanwil BPN untuk menyusun rencana kerja sebagai masukan bagi penyusunan Perda tentang Hak Ulayat dan memantau pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pemetaan tanah ulayat; serta Kepala Kantor Pertanahan untuk melaksanakan kooordinasi dengan Pemda, pengukuran apabila memenuhi syarat, dan penyiapan sarana dan prasarana untuk pemetaan tanah ulayat.
Merujuk pada Peraturan Menteri dan Surat Edaran Kepala BPN serta regulasi pengaturan hak ulayat di beberapa daerah, maka sesungguhnya tidak ada regulasi daerah yang memenuhi persyaratan formal untuk menyelesaikan masalah hak ulayat. Bentuk formil pengaturan hak ulayat adalah peraturan daerah, dan dari keseluruhan regulasi tingkat daerah tersebut terdapat 4 (empat) peraturan daerah terkait, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat; Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy; dan Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan; dan Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate.
Sebagai catatan atas lahirnya keempat Perda tersebut dikemukakan bahwa pengaturan tanah ulayat di Kabupaten Kampar dilakukan tanpa penelitian dan pemetaan; pengaturan tanah ulayat masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak tanpa penelitian namun diadakan pemetaan; dan pengaturan tanah ulayat masyarakat adat Lundayeh di Kabupaten Nunukan melalui penelitian namun tidak dilakukan pemetaan.
Dua tahun kemudian lahir komitmen politik secara nasional untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat yaitu dengan diterbitkannya Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Salah satu prinsip – dari 12 prinsip – dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam tersebut adalah: “mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”. Itulah sebabnya undang-undang terkait dengan sumber daya alam/sumber daya agraria yang terbit pasca TAP tersebut hampir seluruhnya memuat adanya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas hak masyarakat hukum adat.
Mekanisme pengakuan hak ulayat masyarakat adat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tersebut kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu; dan kemudian diubah lagi dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.
Dalam kedua Peraturan Menteri tersebut, beberapa perubahan yang dikemukakan adalah:
1. Masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu adalah masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan atau perkebunan;
2. Hak atas tanah ulayat dari masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu disebut dengan ‘hak komunal atas tanah’, yaitu hak milik bersama atas tanah;
3. Untuk menentukan keberadaan masyarakat hukum adat atau masyarakat di kawasan tertentu beserta tanahnya oleh Bupati/Walikota atau Gubernur dibentuk Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (IP4T);
4. Tim IP4T melakukan Identifikasi, Verifikasi, Pemeriksaan Lapangan, Analisis Data Fisik dan Data Yuridis;
5. Dalam hal laporan dari Tim IP4T menyatakan adanya masyarakat hukum adat/masyarakat dalam kawasan tertentu dan tanahnya; maka Bupati/Walikota atau Gubernur:
a. Menetapkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan tanahnya;
b. Ditetapkan dan didaftarkan hak komunal atas tanahnya;
c. Menyatakan adanya masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu dan tanahnya.
Maria S.W. Sumardjono memberikan catatan tentang Peraturan Menteri Agraria (Permen) ‘perubahan’ tersebut, yaitu53:
1. Permen menyamakan hak ulayat dengan hak komunal. Terhadap penyamaan ini Guru Besar Hukum Agraria UGM tersebut memberikan kritikan bahwa UUPA memberikan rumusan tentang Hak Ulayat, bukan Hak Komunal. Penyamaan tersebut menimbulkan fiksi hukum karena Hak Ulayat mempunyai dimensi publik dan juga dimensi perdata.
2. Hak Komunal tersebut dikategorikan sebagai hak atas tanah sehingga dapat diterbitkan sertipikatnya.
————————————-
53 Maria S.W. Sumardjono, “Ihwal Hak Komunal Atas Tanah” dalam Digest Epistema, Volume 6/2016, hlm.4-6.
Sementara itu, hak ulayat bukanlah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA. Mencabut Permen No. 5 Tahun 1999 mengakibatkan nasib hak ulayat menjadi tidak jelas.
3. Penetapan Masyarakat Hukum Adat oleh Bupati/ Walikota atau Gubernur bersifat deklaratif, sementara itu penetapan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu bersifat konstitutif.
Khusus terhadap hutan adat pasca putusan MK No.35/PUU-X/2012, Pemerintah menempuh kebijakan memberi pengakuan terhadap penguasaan hutan adat oleh masyarakat adat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Dalam Perpres tersebut ditegaskan bahwa penguasaan tanah dalam kawasan hutan oleh masyarakat adat merupakan hutan adat yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat adat yang bersangkutan. Untuk dapat diakui maka masyarakat adat yang bersangkutan keberadaannya haruslah ditetapkan dengan peraturan daerah dan memiliki bukti penguasaan tanah.
Untuk melaksanakan penyelesaian tersebut maka di tingkat Pusat dibentuklah Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (Tim Percepatan PPTKH) yang dibantu oleh Tim Pelaksana PPTKH dan dapat dibantu oleh kelompok kerja. Di tingkat provinsi, Gubernur membentuk Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (Tim Inver PTKH). Hasil kerja dari Tim tersebut di atas dapat berupa keputusan pengeluaran bidang tanah dalam kawasan hutan dengan perubahan batas Kawasan Hutan. Keputusan perubahan batas kawasan hutan merupakan dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah Sebelum dikeluarkannya Perpres No. 88 Tahun 2017 tersebut, garis politik pemerintahan pada pengakuan, penghormatan dan perlindungan masyarakat adat atas hak ulayatnya (hutan adat) menunjukkan keberpihakan dengan ditetapkannya 9 (sembilan) kawasan hutan adat (total luas 13.122,3 ha. dengan jumlah penduduk 5.700 KK) pada akhir 2016 yang diberikan pada masyarakat adat untuk dikelola. Kesembilan hutan adat tersebut adalah:
1. Hutan adat Ammatoa Kajang (313,99 ha) di Desa Tanah Towa, Desa Pattiroang, Desa Malleleng dan Desa Bonto Baji Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan;
2. Hutan adat Marga Serampas (130 ha) di Desa Rantau Kermas Kabupaten Merangin Provinsi Jambi;
3. Hutan Adat Wana Posangke (6,212 ha) di Desa Taronggo Kabupaten Morowali Utara;
4. Hutan Adat Kasepuhan Karang (486 ha) di Desa Jagaraksa Kabupaten Lebak;
5. Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang (39,04 ha) di Desa Air Terjun Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi;
6. Hutan Adat Bukit Tinggai (41,27 ha) di Desa Sungai Deras Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi;
7. Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (276 ha) di Desa Pungut Mudik Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi;
8. Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan (452 ha) di Desa Kemantan Kebalai, Desa Kemantan Tinggi, Desa Kemantan Darat, Desa Kemantan Mudik, Desa Kemantan Raya, Desa Kemantan Agung Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi;
9. Hutan Adat Tombak Haminjon (Kemenyan) (5.172 ha) di Desa Padumaan Sipituhuta Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara.
D, Perbandingan Politik Hukum Tanah Ulayat
1. Malaysia
Di Malaysia, masyarakat adat terdapat di Semenanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak. Kelompok masyarakat adat ini terbagi atas Melayu (Malay) yang berada di Semenanjung Malaysia, China dan Hindu, serta native (indigenous people) yang berada di Sabah dan Sarawak.
Orang Malay disebut juga Orang Asli atau Aborigine. Orang Asli atau Aboriginal Peoples di Semenanjung Malaysia berjumlah sekitar 150.000 jiwa yang terdiri dari 3 (tiga) group, yaitu “(1) the Negrito; (2) Senoi; keduanya masuk dalam rumpun the Mon-Khmer; dan (3) ProtoMalay, masuk dalam rumpun the Austronesian.54 “Lembaga Pemerintah yang bertanggungjawab mengurus Orang Asli adalah Department of Orang Asli Affairs (JHEOA). Orang Asli yang berdiam di Semenanjung Malaysia tersebar di 876 desa.55 Data pada Desember 2006 menunjukkan bahwa jumlah tanah adat Orang Asli seluas 141,369,67 ha; yang telah terdaftar hanya 13 % (19, 582, 21 ha) dan lebih separohnya (57,5%) telah mengajukan pendaftaran namun belum memperoleh bukti pendaftaran.56
UU yang mengatur hak-hak Orang Asli atas tanah adatnya adalah Aboriginal Peoples Act 1954. Menurut UU ini “hak Orang Asli atas tanahnya adalah ‘hak garap’, karena Pemerintah beranggapan bahwa tanah adat dari Orang Asli adalah ‘tanah negara’. Oleh karena itu dalam hal dilakukannya ‘pengadaan tanah’ maka Orang Asli hanya memperoleh ganti rugi atas pohon karet dan buah-buahan”.57
Terhadap kelompok masyarakat adat tersebut Konstitusi Malaysia memberikan pengakuan diberlakukan
————————————-
54 http://minorityrights.org/minorities/orang-asli/, diunduh pada tanggal 11 Februari 2018 jam 10.01 WIB.
55 Anuar Alias, S.N. Kamaruzzaman, and Md. Nasir Daud, “ Traditional lands acquisition and compensation: The perception of the affected Aborigin in Malaysia” in International Journal of the Physical Sciences Vol. 5 (11), 18 September 2010, pp. 1698.
56 ibid, hlm.1697.
57 ibid, hlm.1698.
hukum adatnya,58 termasuk pengakuan terhadap tanahtanah adatnya. Sebagaimana halnya di Indonesia, pemberlakuan hukum adat (dan ‘kebiasaan’ khususnya bagi Komunitas China dan Hindu ) dilakukan dengan beberapa pembatasan. B. Hooker menyatakan, “for customs to be accepted, they must be reasonable and not offend against ‘humanity, morality and public policy’.59
Di Sarawak, “tanah yang hanya boleh dikuasai oleh para natives adalah Native Area Land, di samping adanya Mixed Zone Land dan Interior Area Land. Menurut Land Code 1958, “Native customary land refers to land to which there is no documentary title, but is recognized by common law as land on which the natives have a right to live, as their ancestors had one for generations. Such land had been cleared for cultivation, and accessed for fishing, hunting, and gathering forest produce”.60 Mixed Zone Land adalah tanah hak yang terdaftar dan dapat diperoleh oleh semua warga negara tanpa terkecuali, sedangkan Interior Area Land adalah tanah-tanah diluar kedua jenis lainnya dan tidak diberikan hak yang terdaftar.61
————————————-
58 Hukum Adat di Malaysia disebut juga dengan customary law, adat, native law dan custom.
59 B. Hooker dalam Wan Arfah Hamzah dan Ramy Bulan, 2004, An Introduction to The Malaysian Legal System, Penerbit Fajar Bhakti Sdn.Bhd. (008974 – T), Selangor Darul Ehsan, hlm.152.
60 Wan Arfah Hamzah dan Ramy Bulan, 2004, op.cit., hlm.166. 61 ibid, hlm.166.
Di Sabah, berdasarkan Land Ordinance of 1930 (direvisi pada tahun 1996) dimungkinkan “penguasaan tanah komunal untuk kepentingan bersama dari masyarakat adat setempat, namun tidak mempunyai kewenangan untuk menjual. Penguasaan tersebut dilakukan per desa namun tanpa adanya batas-batas pemilikan individu berupa lapangan rumput untuk penggembalaan, pemakaman ataupun sebagai tempat-tempat yang dikeramatkan.62 Selain itu Pemerintah Negara Bagian juga berhak menentukan areal tertentu sebagai Native Rice Cultivation, yang diatur dalam Native Rice Cultivation Ordinance No. 1 Tahun 1939. “Jika areal tertentu telah ditetapkan sebagai Native Rice Land, maka si pemilik berkewajiban menanaminya dengan padi minimal sekali dalam setahun. Pelanggaran terhadap hal tersebut dikenakan denda.63
Dengan demikian, pengaturan tanah ‘ulayat’ di Malaysia adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh para Orang Asli dan natives. Tanah-tanah itu disebut Traditional Land serta tunduk pada Customary Law. Traditional Land dikecualikan dari tanah-tanah Kerajaan dan diatur oleh masing-masing Negara Bagian.
2, Filipina
Kebijakan tanah ulayat di Filipina dianggap paling maju di antara negara-negara tetangga lainnya. Kebijakan
————————————-
62 ibid, hlm.163.
63 ibid, hlm.163.
baru tentang masyarakat adat dan hak-haknya dimulai dengan terbitnya the Indigenous Peoples Rights Act (IPRA), dikenal sebagai Republic Act No. 8371 of 1997. Kemudian Pemerintah Filipina membentuk the National Commission on Indigenous Peoples (NCIP) yang bertanggung jawab dalam menangani hak-hak masyarakat adat tersebut.
Di dalam IPRA dikatakan bahwa NCIP adalah “primary government agency responsible for the formulation and implementation of policies, plans and programs to promote and protect the rights and weel-being of the ICCs/IPs and the recognition of their ancestral domains as well as their rights thereto”. NCIP exercise administrative, quasi-legislative and quasi-judicial functions. Decision of the NCIP area appealable at the Court of appeals. (Chapter 6 Section 38-50).
Kebijakan baru tersebut terjadi karena adanya perubahan 2 (dua) paradigma, yaitu: (1) perubahan dari sentralisasi hukum yang berdasarkan pada Regalian Doctrine ke pluralisme hukum; dan (2) perubahan pandangan tentang masyarakat adat yang semula dianggap sebagai penyebab degradasi lingkungan menjadi aktor penting dalam konservasi sumber daya alam64.
Di Filipina terdapat 2 (dua) kategorisasi masyarakat adat yaitu Indigenous Peoples (IPs) dan Indigenous Cultural
————————————-
64 June Prill-Brett, “Contested Domains: The Indigeneous Peoples Right Act (IPRA) and Legal Pluralisme in the Northern Philippines” dalam Journal of Legal Pluralism, 2007 nr.55 hlm.16-17.
Communities (ICCs), meskipun “masih terdapat kesulitan dalam mengklasifikasikan kelompok yang dikategorikan sebagai masyarakat adat karena adanya perkawinan antar etnik group”.65 “Menurut perhitungan ECTF (Episcopal Commission on Tribal Filipinos) diperkirakan terdapat sekitar 6,5 juta jiwa penduduk yang diklasifikasikan sebagai masyarakat adat. Angka tersebut merupakan 10% dari total penduduk Filipina yang meliputi 40 etnik group, yang dapat dikelompokkan menjadi (1) the Lumad of Mindanao sejumlah 2,1 juta yang terdiri dari I’Boli, the Manobo, the Mandaya, the Subanun, the Tiruray, the Bagobo, dan the B’laan; (2) penduduk di Cordillera di Utara kepulauan Luzon sekitar 1 juta jiwa, yang terdiri dari the Ifugao, Bontoc, Kalinga, Isneg, Ibaloy, Tinngguian, dan Kankaney; dan (3) etnik group lainnya yang terdapat di tengah dan Selatan kepulauan Luzon yaitu di pulau Visayas, Mindoro, Palawan termasuk kelompok ‘negrito’ seperti Dumagat, Agta, Batak dll, etnik Mangyan, the Tagbanua, the Pala’wan”.66
Berdasarkan UU 1997 itu kepada masyarakat adat di Filipina (Indigenous Peoples/IPs dan Indigenous Cultural Communities/ICCs) diberikan sertifikat pada 2 (dua) jenis
————————————-
65 James F. Eder, “Indigenous Peoples, Ancestral Lands and Human Rights in the Philippines” dalam Cultural Survival, June 1994 dalam https://www.culturalsurvival. org/publications/cultural-survival-quarterly/indigenouspeoples-ancestral-lands-and-human-rights, diunduh tgl. 11 Februari 2018 jam 08.25.
66 ibid.
hak ulayat yaitu, Ancestral Domain dan Ancestral Land. Ancestral Domain adalah:
“refers to all areas generally belonging to ICCs/IPs comprising lands, inland waters, coastal areas and natural resources therein, held under a claim of ownership, occupied or possessed by ICCs/IPs, by themselves or through their ancestors, communally or indiviudally since time immemorial, continuosly to the present except when interrupted by war, force majeure or displacement by force, deceit, stealth or as a consequence of government project or any other voluntary dealings entered into by government and private individuals/corporations, and which are necessary to ensure their economic, social and cultural welfare. It shall include ancestral lands, forests, pasture, residential, agricultural and other lands individually owned whether alienable and disposable or otherwise, hunting grounds, burial grounds, worship areas, bodies of water, mineral and natural resources, and lands which may no longer be exclusively occupied by ICCs/IPs but from which they traditionally had access to for their subsistence and traditional activities, particularly the home ranges of ICCs/IPs who are still nomadic and/or shifting cultivators. (IPRA: Chap.II Sec.3 (a)).
Sementara itu Ancestral Lands adalah:
refers to land occupied, possessed and utilized by individuals, families and clans who are members of the ICCs/IPs since time immemorial, by themselves or through their predecessors-in-interest, under claims of individual or traditional group ownership, continuosly, to the present except when interrupted by war, force majeure or displacement by force, deceit, stealth, or as a consequence of government projects and other voluntary dealings entered into by government and private individuals/corporations, including, but not limited to residential lots, rice terraces or paddies, private forests, swidden farms and tree lots. (IPRA: Chap.II Sec.3 (b)).
Beberapa catatan diberikan pada hak ulayat masyarakat adat sebagaimana tercantum dalam IPRA tersebut, yaitu: (1) Negara mengakui, menghormati dan melindungi hak ulayat masyarakat adat dengan UU; (2) membentuk lembaga negara di tingkat Pusat yang khusus menangani hak ulayat tersebut; (3) hak tersebut meliputi wilayah ulayat dalam pengertian luas yang dikuasai secara kolektif (Ancestral Domains), dan tanah ulayat yang dikuasai oleh individu, keluarga atau clan (Ancestral Land); (4) terhadap kedua jenis tanah ulayat tersebut dapat didaftarkan dan diterbitkan sertifikat.
Bercermin pada dua Negara tersebut, beberapa catatan perbandingan yang dapat dikemukakan adalah: (1) Malaysia dan Filipina menentukan kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat adat dengan berbagai terminologi umum seperti indigeneous people, aboriginal people, orang Asli dan natives; (2) pengakuan dan pemberlakuan hukum adat ditempuh dengan pembatasan; (3) Pemerintah berwenang menentukan tanah-tanah tertentu sebagai areal dengan penggunaan tertentu.
BAB III MASALAH TANAH ULAYAT
Pada bagian ini dikaji permasalahan tanah ulayat dari 2 (dua) sisi, yaitu masalah konsepsional dan masalah empiris. Masalah konsepsional melihat persoalan tanah ulayat dari sisi konseptual, yaitu hakikat tanah ulayat dalam alam pikiran masyarakat adat. Pada aras ini, persoalan tanah ulayat dikaji secara ‘general’, artinya pemikiranpemikiran tentang tanah ulayat yang terdapat pada hampir keseluruhan masyarakat adat. Meskipun demikian, tidak dipungkiri terdapat adanya beberapa perbedaan antar masyarakat adat yang satu dengan lainnya. Kajian empiris melihat persoalan-persoalan praktis tentang tanah ulayat. Tentu tidak semua masalah praktis dibahas, namun difokuskan pada permasalahan mendasar yang menunjukkan adanya kesamaan antara satu daerah dengan daerah lainnya, dan antara satu kasus dengan kasus lainnya.
A, Masalah Konsepsi Tanah Ulayat
Persoalan tanah ulayat telah berlangsung sejak lama, mencuat utamanya ketika Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan asas Domein Verklaring yang berpengaruh besar terhadap eksistensi beschikkingsrecht. Dengan demikian kajian tentang permasalahan tanah ulayat diawali sejak paruh kedua akhir abad ke 19, yang berlangsung hingga saat ini ketika muncul RUU Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, RUU Pertanahan, dan juga RUU Hak Atas Tanah Adat.
1, Batasan dan Keluasan Tanah Ulayat
Terdapat beberapa kritik terhadap hak ulayat (beschikkingsrecht) ini. Pertama, beschikkingsrecht sebagai suatu fenomena hukum yang integral dan berlaku di seluruh Indonesia mendapat sanggahan dari J.W.van Royen. Dalam disertasinya tahun 1927 van Royen mengatakan bahwa “gambaran-gambaran yang diidentifikasi oleh van Vollenhoven sebagai unsur-unsur yang membentuk beschikkingsrecht tidak ditemukan di manapun bahkan tidak di dalam wilayah hukum adat (adatrecht) Sumatera Selatan”.1 Sebagai contoh dari pendapatnya ini van Royen mengatakan:
————————————-
1 Peter Burns, “Adat, yang mendahului semua hukum’ dalam Jamie S. Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga (Penyunting), 2010, Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV – Jakarta, hlm.89.
“Orang Kubu bukan masyarakat petani melainkan pemburu dan peramu, sementara itu dalam kasus mereka konsep hak ulayat tidak bisa diterapkan. Kelompok lain terkait dengan Anak Lairan yang baru saja beralih ke sistem pertanian menetap pada abad kesembilan belas sehingga tidaklah masuk akal bila kita bicara soal penemuan tradisi beschikkingsrecht yang berusia tua. Demikian juga halnya orang Rejang dengan ekonomi pertanian yang lebih mapan, tidak ditemukan catatan tentang hak ulayat. Adat kebiasaan yang medekati hak ulayat ditemukan di Kepungutan, wilayah dekat kota pelabuhan Palembang.2
Kedua, Herman Soesangobeng mengatakan bahwa beschikkingsrecht dengan enam sifat sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan ajaran atau teori hukum sebagai tanda-tanda pengenal hukum pertanahan serta keagrarian adat Indonesia. “Karena itu beschikkingsrecht harus dipahami sebagai suatu teori hukum, bukan sebagai sejenis hak yang disepadankan dengan hak ulayat yang dikenal dalam hukum adat Minangkabau”.3 Selanjutnya, Herman Soesangobeng menyatakan bahwa kerancuan pemahaman atas istilah beschikkingsrecht disebabkan karena dua alasan:
“pertama, kesalahpahaman atas istilah beschikkingsrecht dengan istilah beschikken dalam BW; dan kedua, karena perbedaan antara Nols Trenite dengan pembela
————————————-
2 ibid, hlm. 89. 3 Herman Soesangobeng, 2012, op.cit., hlm. 171.
Hukum Adat yaitu van Vollenhoven dan ter Haar. Nols Trenite ingin menerapkan ajaran dan asas teori domeinverklaring di luar Jawa-Madura, sementara itu van Vollenhoven dan ter Haar mengingatkan untuk berhati-hati. Jawaban ter Haar atas alasan pertama adalah bahwa kesalahpahaman itu tidak perlu terjadi karena enam sifat khas Hukum Adat, tidak mengenal konsep beschikken dalam hukum perdata Belanda/BWKUH Perdata Indonesia sebagai kewenangan penguasa untuk berhak menjual lepas tanahnya kepada pihak lain untuk selamanya. Adapun alasan kedua timbul karena adanya perbedaan pendapat mengenai batas tanah masyarakat dengan hak komunal4, dalam hal ini hak ulayat.5
Ketiga, kritik Kurnia Warman6 yang menyatakan bahwa hak ulayat yang dimaksud dalam Pasal 3 UUPA
————————————-
4 Gongrijp menjelaskan bahwa istilah communal itu diperkenalkan oleh para pengusaha besar Belanda untuk bisa mendapatkan tenaga kerja murah dan mudah guna dipekerjakan di perusahaannya. Van Vollenhoven juga dalam menjelaskan beschikkingsrecht tidak menggunakan istilah communal grond atau communal recht, melainkan communal bezit dalam arti kepunyaan bersama yang juga berarti milik bersama. Jenis hak itu, di Minangkabau disebut milik basamo, atau di Jawa disebut gadahe tiang katah (kepunyaan/miliknya orang banyak) atau duweke wong sak desa (miliknya orang desa), lihat ibid, hlm.172-173.
5 ibid, hlm. 171-172. 6 Kurnia Warman, “Hutan adat di “persimpangan jalan”: Kedudukan hutan adat di Sumatera Barat pada era desentralisasi” dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (Penyunting) (2010), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Penerbit HuMA, Van Vollenhoven Institute dan KITLV Jakarta, hlm. 84 dan 94.
itu bukanlah persis seperti hak ulayat yang dikenal dalam masyarakat hukum adat di Minangkabau. Ulayat yang sesuai sebagaimana dimaksud Pasal 3 UUPA hanyalah ulayat nagari, sementara itu ulayat suku, kaum dan keluarga bukanlah merupakan suatu hak ulayat tetapi sebagai tanah milik adat, baik yang bersifat komunal maupun pribadi.
Sejalan dengan Kurnia Warman, Hermayulis7 juga menyatakan bahwa generalisasi terhadap hak ulayat yang mengandung unsur bidang hukum publik dan unsur bidang hukum perdata adalah kekeliruan. Hermayulis mengatakan bahwa tidak seluruh hak ulayat itu mengandung ke 2 (dua) unsur tersebut. Di Sumatera Barat dikenal beberapa jenis hak ulayat yaitu hak ulayat nagari, hak ulayat suku, hak ulayat kaum, hak ulayat jurai, dan hak ulayat paruik. Dari beberapa jenis hak ulayat itu hanya hak ulayat nagari yang bernuansa hukum publik. Selebihnya, hak ulayat lain itu lebih menunjukkan adanya kesatuan dalam bentuk hubungan keperdataan.
2, Tanah Ulayat: Kewenangan Publik atau Privat
Mencermati UUPA dan UU terkait lainnya ditemukan kerancuan dalam menempatkan tanah (hak) ulayat sebagai hak yang berkarakter publik atau perdata. Myrna A. Safitri
————————————-
7 Hermayulis, 1999, Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Kekerabatan pada Sistem Kekerabatan Matrilinel Minangkabau. Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, hlm. 204.
dan Tristam Moeliono8 mengatakan bahwa di dalam UUPA sendiri terdapat ambigu tersebut. Kedua scholars tersebut membandingkan Pasal 2 ayat (4) UUPA yang menempatkan hak ulayat sebagai hak yang berkarakter publik dengan Pasal 3 dan Pasal 20 UUPA yang berkarakter perdata.
Pasal 2 ayat (4) UUPA berbunyi:
“Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerahdaerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuanketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3 UUPA berbunyi:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Selanjutnya Pasal 20 UUPA berbunyi:
————————————-
8 Myrna A. Saftri dan Tristam Moeliono, “Bernegara hukum dan berbagi kuasa dalam urusan agraria di Indonesia: Sebuah Pengantar” dalam Myrna A. Saftri dan Tristam Moeliono (Penyunting), 2010, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Penerbit HuMa, van Vollenhoven Insttute dan KITLV-Jakarta, hlm. 6.
(1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.
(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Sementara itu, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan9 dengan tegas memasukkan hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke dalam hutan negara; dan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan hak masyarakat hukum adat sebagai hak privat (Pasal 1 angka 18, Pasal 16 ayat 2, Pasal 18, 19 dan 20).
Terhadap pendapat tersebut dapat dikemukakan halhal sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (4) UUPA menegaskan bahwa Hak Nenguasai Negara sebagai hak yang berkarakter publik dapat dikuasakan kepada masyarakat hukum adat, meski tidak diperoleh penjelasan apakah yang dikuasakan tersebut Hak Menguasai Negara sebagai ‘hak’ atau yang dikuasakan tersebut wewenang yang lahir dari Hak Menguasai Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.
2. Pada Pasal 3 UUPA (hak ulayat atau yang serupa dengan itu), termasuk penjelasannya, tidak diperoleh penjelasan yang menyatakan bahwa hak ulayat atau
————————————-
9 Sebelum di judicial review.
yang serupa dengan itu sebagai hak yang berkarakter perdata.
3. Hak Milik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UUPA dan penjelasannya adalah hak yang berkarater perdata, tidak dapat disebandingkan dengan hak ulayat sebagai hak yang berkarakter publik. 4. Pasal-pasal yang dimaksud dalam UU No. 27 Tahun 2007 tidak menyebut tentang hak ulayat tetapi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat. Setelah di judicial review dan diputuskan dalam Perkara Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010, UU tersebut kemudian diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, maka HP3 diubah menjadi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan.
Sejalan dengan itu Hermayulis10 menyatakan bahwa UUPA menunjukkan ketiadaan sinkronisasi vertikal karena Pasal 3 UU tersebut mengakui tanah ulayat sementara itu pada Pasal 16 tidak dicantumkannya jenis hak atas tanah ulayat. Oleh karenanya tanah-tanah ulayat yang didaftar diproses menjadi ‘Hak Milik’, sehingga berimbas pada proses individualisasi tanah ulayat.
3, Tanah Ulayat dan Tanah Swapraja
Apakah tanah-tanah swapraja dapat diklasifikasikan sebagai tanah ulayat atau tanah adat? R. Ay. Sri Retno
————————————-
10 Hermayulis, 1999, op.cit.
Kusumo Dhewi11 dalam Disertasinya menegaskan bahwa tanah-tanah di Yogyakarta merupakan tanah adat, yang terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu:
a) tanah bekas kekuasaan Kasultanan Yogyakarta baik yang dimiliki secara pribadi oleh Sultan (Sultan Grond), dimiliki oleh Pemerintah Kasultanan secara komunal (tanah Kasultanan), dan yang dikuasai oleh instansi, perorangan, ataupun badan hukum melalui perjanjian dengan Kantor Paniti Kismo;
b) tanah bekas kekuasaan Kadipaten Pakualaman baik yang dimiliki secara pribadi oleh Pakualaman, dimiliki secara organisasi oleh Pakualaman, dan yang dihaki oleh Pemerintah Daerah;
c) tanah milik Desa.
Namun untuk menjawab hal tersebut perlu dipertanyakan terlebih dahulu apakah swapraja (kerajaan/ kesultanan/kasunanan atau nama lain) merupakan masyarakat adat karena sesungguhnya pemegang tanah (hak) ulayat adalah masyarakat adat?. Swapraja pada masa sebelum Perang Dunia II disebut sebagai ‘daerah tidak langsung’ (indirect gebied atau zelfbestuursgebied atau landschap gebied atau landschappen). “Secara
————————————-
11 R. Ay. Sri Retno Kusumo Dhewi, 2006, Kedudukan Hukum Tanah Adat Di Daerah Yogyakarta Dalam Sistem Hukum Tanah Nasional, Ringkasan Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, hlm.25-27.
politis, swapraja dahulu melakukan kontrak12 politik dan ekonomi dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam perkembangannya “sebagian diantaranya mampu bertahan dan memperoleh pemerintahan yang otonom, namun sebagian lainnya mengalami degradasi politik pada level terendah sehingga dianggap sebagai masyarakat adat.13
Permasalahan yang mengemuka dalam pembahasan tentang hukum tanah swapraja adalah siapa sesungguhnya pemilik tanah-tanah di daerah swapraja tersebut? Ada beberapa pendapat tentang teori pemilikan tanah. Di satu pihak berpendapat bahwa tanah adalah milik raja, seperti yang disebutkan dalam kitab Manawa, sebagai pegangan dalam hukum Hindu.14 Konsep pemilikan tanah mutlak oleh raja itu dinyatakan dalam kagunganing nata, maksudnya bahwa salumahing bumi dan sakurebing langit, semuanya milik raja.15
————————————-
12 Ada 2 (dua) jenis kontrak yang ditandatangani oleh rajaraja, yaitu kontrak panjang (lang contract) dan pernyataan pendek (korte verklaring); lihat Mahadi, 1970, op.cit.
13 Myrna A. Safitri, 2015, Indegenous Peoples in ASEAN: Indonesia, Asia Indegenous Peoples Pacth (AIPP) Foundation, hlm.6.
14 Meskipun demikian perlu menjadi catatan bahwa di Bali, meskipun raja disebut sebagai titisan dewa, ia tidak berhak memiliki seluruh tanah di wilayah kerajaannya. … Adapun yang mempunyai hak milik atas tanah justru perorangan/ individu (warga desa, pejabat dan raja itu sendiri) … lihat I Gusti Ngurah Tara Wiguna, 2009, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuna Abad X-XI Masehi, Penerbit Udayana University Press, Denpasar, hlm.viii.
15 Suhartono W. Pranoto, 2001, “Lunguh dan Lurah: Tetap
Konsep ini kemudian oleh pejabat pemerintahan kolonial digunakan untuk memperkuat hubungan sewamenyewa tanah yang dilakukan oleh onderneming atau perusahaan perkebunan. Jadi pemilikan tanah mutlak seperti yang terdapat dalam babad dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial dalam tugas-tugas operasionalnya.16
Pandangan dari sisi lain tentang pemilikan tanah ini dikatakan bahwa yang banyak berperan adalah cikal bakal atau primus interpares. Pada waktu timbulnya pemukiman pertama kali, cikal bakal inilah yang berjasa karena ia membabat atau membuka hutan untuk dijadikan pemukiman dan persawahan. Ia diikuti oleh batih lain atau keturunannya sehingga membentuk pemukiman yang lebih besar yang kemudian disebut desa. Konsep pemilikan tanah ini berakar pada zaman sebelum datangnya pengaruh Hindu dan kalau boleh dikatakan sebenarnya ini merupakan konsep Indonesia asli. Konsep ini dapat dikatakan murni yang lepas dari pandangan dan pendapat yang ekstrim mengenai pemilikan tanah.17
Terjadinya pergeseran kekuasaan dari cikal bakal ke tangan raja sebagai pemilik tanah, meskipun hanya
————————————-
Aktual dalam Suhartono W. Pronoto, Serpihan Budaya Feodal, Penerbit Agastya Media, Yogyakarta, hlm.71.
16 De Locomotief, 12 April 1879 dalam Suhartono W. Pranoto, 2001, ibid, hlm.71.
17 Selo Soemardjan, 1962 dalam Suhartono W. Pranoto, 2001, ibid, hlm. 71.
de jure, diperkirakan terjadi pada masa Jawa Kuna. Akan tetapi pembayaran upeti dari cikal bakal atau penguasa lokal kepada raja atau penguasa pusat diperkirakan terjadi pada masa Mataram Islam, pada waktu kerajaan itu aktif melakukan ekspedisi ke beberapa daerah pesisiran dan mancanegara.18
Dari konsepsi penguasaan tanah oleh raja itu maka hak-hak penguasaan atas tanah yang lain bersumber pada hak milik Raja tersebut dan dengan sendirinya tidak ada yang setingkat hak milik19. Di Inggeris, rakyat hanya dapat menguasai tanah sebagai ‘tenant’20, di Yogyakarta, rakyat hanya ‘hanggaduh’ tanah milik Raja21.
Dalam hukum adat, tanah adalah milik seluruh anggota persekutuan hukum yang disebut dengan tanah ulayat, yang pengaturan penguasaannya diserahkan kepada Kepala Adat atau Tetua Adat. Di samping itu, dimungkinkan juga penguasaan tanah secara individu di atas tanah ulayat, yang bilamana hak individu ini menguat, maka mengendurlah hak ulayat tersebut, dan sebaliknya.
————————————-
18 Schrieke, 1957 dalam Suhartono W. Pranoto, 2001, ibid, hlm. 72.
19 Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Djakarta, hlm.179.
20 ibid, hlm. 46.
21 ibid, hlm.179.
Dilihat dari tata susunan dan hierarkhinya, maka hakhak penguasaan atas tanah di dalam Hukum Adat adalah sebagai berikut:22
1. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan hukum publik;
2. Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, yang bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum publik semata;
3. Hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individual, yang secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum keperdataan.
Dengan demikian secara konsepsional, perbedaan antara tanah ulayat dengan tanah swapraja dapat dilihat pada Ragaan berikut.
Ragaan 1. Sistem Penguasaan Tanah Dalam Konsepsi Hukum Swapraja, Hukum Adat dan Hukum Barat.23

————————————-
22 Boedi Harsono, 1997, op.cit., hlm.178.
23 Dimodifikasi dari Martinus Tamalowu, 2007, Status Hak Atas Tanah Ciptaan Pemerintah Swapraja Kasunanan Surakarta, Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, hlm 82.
Ragaan di atas menunjukkan adanya perbedaan mendasar antara Hukum Tanah Swapraja dengan Hukum Tanah Adat, khususnya pada tataran konsepsi dan hak tertinggi atas tanah. Dengan demikian jelaslah bahwa swapraja bukanlah masyarakat adat, dan tanah ulayat (adat) bukanlah tanah swapraja. Itulah sebabnya UUPA dalam Bagian KEEMPAT A menyatakan: “Hak-hak dan wewenangwewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekasswapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara. Penjelasan Bagian ini berbunyi: Ketentuan ini bermaksud menghapuskan hak-hak yang masih bersifat feodal dan tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
Selanjutnya dalam memperbandingkan antara hukum tanah swapraja dengan hukum tanah adat, timbul pertanyaan bagaimanakah hubungan antara hukum tanah swapraja dengan hukum tanah adat? Ter Haar24 dan Soekanto 25 mengatakan bahwa pengaruh Raja-raja ada yang “merusak” dan ada yang memperkuat. Pengaruh merusak terjadi di lingkungan sekitar tempat tinggal Raja sebagai akibat pemerintahan intensif.
Pengaruh merusak tersebut terjadi karena adanya beneficium26 atau lungguh/apanage (Yogyakarta).
————————————-
24 Ter Haar, 1981, op.cit, hlm. 66-67.
25 Soekanto, 1996, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Penerbit P.T.RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.119-122.
26 Beneficium adalah imbalan yang diberikan Raja kepada
Pengaruh memperkuat terdapat di daerah-daerah yang jauh dari tempat kediaman raja-raja. Di daerah ini raja membutuhkan persekutuan, sebagai institusi untuk memberi pajak ataupun tenaga kerja.
Di daerah Swapraja Surakarta dan Yogyakarta, tanah ulayat dikuasai oleh desa, dimana desa terbentuk setelah Reorganisasi Kompleks Tahun 1925-1926. Menurut Soedjono,27 salah satu tujuan dari Reorganisasi Kompleks adalah pembentukan kelurahan-kelurahan yang dilakukan secara bertahap. Terhadap tanah sawah, tegalan dan pekarangan yang ada di dalam wewengkon-nya, desa menerimanya dengan hak pakai untuk selama-lamanya – kaparingake gumaduh ing salawas-lawase”. “Dengan ketentuan bahwa seperlima bagian dari luas tanah pertanian dipergunakan untuk lungguh lurah beserta punggawa desa serta bagi para bekel yang diberhentikan. Sisanya, yang empat per lima bagian dari tanah pertanian, dibagi-bagikan kepada semua orang laki-laki dewasa – kuat ing gawe, serta bertempat tinggal di desa itu – mblabagi.28
————————————-
kawulanya atas kepercayaan dan kesetiaannya, lihat Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Penerbit P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.216-217. 27 Dalam Soegijanto Padmo, 2000, Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten, Penerbit Media Pressindo, Yogykarta, hlm.30-36. 28 ibid, hlm. 31
B, Masalah Empiris Tanah Ulayat
1, Perbedaan Persepsi tentang Eksistensi Tanah Ulayat
Sub judul ini menguraikan persoalan eksistensi tanah ulayat dalam 2 (dua) hal, pertama, perbedaan persepsi dalam hal menentukan masih ada tidaknya tanah ulayat; dan kedua, perbedaan persepsi dalam hal berakhirnya hak atau izin yang diberikan di atas atau berasal dari tanah ulayat. Kajian tersebut diuraikan dengan mengemukakan beberapa kasus.
a. Status ‘Tanah Jaluran’ di Sumatera Timur. Tanah jaluran ialah tanah tempat tanaman tembakau, yang baru selesai dipetik, di atas mana para petani diperbolehkan menanam tanaman semusim, ialah padi dan jagung, dan setelah tanaman tersebut habis dipanen tidak lagi boleh diolah untuk ditanami, karena perlu dihutankan sampai tiba gilirannya untuk ditanami kembali dengan tembakau (sistem rotasi). Pengaturan ‘tanah jaluran’ pertama sekali terdapat dalam Akta Konsesi 1884, dan kemudian, rakyat yang mendapat tanah jaluran disebut oleh pihak perkebunan dengan nama Rakyat Penunggu, Penunggul atau Penonggol.29 Pasca kemerdekaan terjadi kemelut sehubungan dengan adanya upaya menghapus tanah jaluran tersebut vide Pedoman Menteri Pertanian dan
————————————-
lihat Mahadi, 1978, op.cit., hlm.126, 121, dan 146.
Agraria No. I Tahun 1960 yang kemudian diperjelas dengan Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963.
Perdebatannya adalah, apakah tanah jaluran tersebut merupakan tanah ulayat, yaitu ulayat dari Suku Melayu di Sumatera Timur atau bukan? Jika merupakan tanah ulayat tentu tidak dapat dihapus begitu saja oleh Pemerintah melalui sebuah SK. Menteri yang pada tahun 1965 memberikan areal tersebut menjadi areal HGU. Mahadi menyatakan bahwa tanah jaluran, merupakan penjelmaan hak ulayat yang telah dipraktekkan oleh pihak perkebunan asing dekat 100 tahun lamanya, dan telah mendapat pengakuan dalam perundang-undangan.30 Di sisi lain Pemerintah beranggapan bahwa tanah jaluran ‘bukan’ merupakan hak ulayat dari masyarakat adat Melayu.
b. Pada tahun 1956 berdasarkan dokumen Overeenkomst tanggal 28 Juli 1956 diadakan perjanjian antara Masyarakat Adat Kajoe Batoe dan Kajoe Poeloe dengan Pemerintah Belanda Nieuw Guinea31. Isi perjanjian tersebut pada intinya memuat penyerahan penguasaan tanah-tanah yang secara mutlak dan tanpa
————————————-
30 ibid, hlm.169. 31 Uraian tentang kasus ini dikutip dari Sarjita, 2003, Konflik Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Kampong Kajoe Poeloe dan Kajoe Batoe Dengan Pemerintah Kota Jayapura Propinsi Papua, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.6-8 dan 103-104.
perkecualiaan kepada Pemerintah Belanda. Dalam perjanjian tersebut, Pemerintah Belanda menyerahkan uang sejumlah f.100.000 (honderd duizend guldend) kepada kedua Masyarakat Adat tersebut.
Tanggal 1 Mei 1962 dilakukan penyerahan kekuasaan administrasi pemerintahan dari Pemerintah Belanda kepada UNTEA, dan kemudian tanggal 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan kekuasaan administrasi pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia. Kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.8 Tahun 1971 UUPA dan peraturan pelaksanaannya mulai berlaku di Propinsi Irian Barat terhitung sejak tanggal 26 September 1971.
Awal tahun 1980, Masyarakat Adat Kajoe Batoe mengajukan gugatan perdata terhadap Bupati KDH Tk.II Jayapura, Kepala Direktorat Agraria Propinsi Irian Jaya, Kasubdit Agraria Tk.II Jayapura dan Kepala Kantor Perusahaan Telkom Wilayah Irian Jaya; dan kemudian pada tahun 1992 Masyarakat Adat Kajoe Poeloe mengajukan gugatan perdata terhadap Bupati KDH Tk.II Jayapura, Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi Irian Jaya dan P.T. Jayapura Pasifik Permai.
Gugatan dilakukan karena kedua Masyarakat Adat mendasarkan gugatannya pada konsepsi bahwa karena tanah ulayat tersebut tidak diusahakan atau digunakan lagi oleh Pemerintah Belanda, maka tanah ulayat ‘kembali’ kepada pemegang hak ulayat tersebut. Di pihak lain, otoritas pemerintahan setempat beranggapan bahwa dengan dilakukannya ‘penyerahan’ hak ulayat tersebut maka tanah tersebut menjadi tanah Negara, dan dengan telah dilakukannya penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia maka status tanah Negara tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Indonesia.
c. Kasus pasca tambang dari P.T. Bukit Asam di Kota Sawahlunto. Ketika Kuasa Pertambangan berakhir, P.T. Bukit Asam melakukan perjanjian dengan Pemerintah Kota Sawahlunto yang tertuang dalam Perjanjian Kerjasama No. No.06/09.04/2400000002/XI-2004 dan No.180/11/Huk-Org/2004 tgl.5 Nov.2004 tentang Penyerahan wilayah bekas tambang seluas 293,45 ha yg terletak di daerah Kandi dan Tanah Hitam serta penyerahan dana reklamasi sebesar Rp.1.283.000.000,- Areal bekas tambang tersebut akan dipergunakan untuk pembangunan resort dan sarana olah raga seperti lapangan pacu kuda, arena motor cross, sirkuit road race, pembuatan danau wisata dan sarana prasarana lainnya.
Hal tersebut telah menimbulkan konflik dengan masyarakat adat setempat, karena menurut masyarakat, tanah tersebut semestinya kembali menjadi penguasaan masyarakat adat karena sebelum diterbitkan K.P. areal tersebut merupakan tanah ulayat. Pada masyarakat hukum adat Minangkabau, konsepsi yang sedemikian rupa tertuang dalam pepatah berikut: Adat diisi limbago dituang (adat diisi lembaga dituang), Kabau tagak kubangan tingga (kerbau berdiri kubangan tinggal), pusako pulang ka nan punyo (pusaka pulang ke yang punya), nan tabau sado luluak nan lakek di badan (yang terbawa hanya sekedar tanah yang menempel di badan), “Pepatah ini mengandung makna bahwa tanah ulayat boleh dipergunakan baik oleh anggota kaum maupun oleh orang luar, namun setelah penggunaan itu berakhir maka tanah ulayat itu harus kembali kepada kaum.32
d. Penelitian Doni33 tentang konflik yang terjadi di kawasan Gunung Cibuluh di Desa Bangunjaya dan Cimanggu Kecamatan Langkap Lancar Kabupaten Ciamis seluas 927 ha. Menurut Otoritas Kehutanan, kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan
————————————-
32 Hermayulis, 2000, “Status Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau dan Hukum Tanah Nasional” dalam Jalaluddin, Sofyan H., Tanah Ulayat di Sumatera Barat. Himpunan Makalah dan Rumusan Workshop. Workshop diselenggarakan oleh Kantor Wilayah BPN Prov. Sumatera Barat pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang, hlm. 56.
33 Doni, 2005, Konflik Tanah Kawasan Hutan Sebagai Refleksi Perbedaan Kepentingan Politik dan Ekonomi (Studi Kasus di Desa Bangunjaya dan Desa Cimanggu, Kecamatan Langkap Lancar, Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat), Tesis, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
hutan berdasarkan Besluit van den Directuur van Economische Zaken tgl. 5 Maret 1940 No.3033/BW/ DEZ (penunjukan kawasan hutan seluas 913 ha.). Bagi masyarakat setempat, tanah di kawasan tersebut merupakan “tanah adat” karena telah dikuasai dan digarap secara terus menerus sejak tahun 1919.
Keempat kasus di atas menunjukkan bahwa konflik mengenai eksistensi tanah ulayat terjadi baik dengan pihak atau pada areal perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan instansi pemerintah. Konflik ini juga menunjukkan belum adanya kesepahaman mengenai persoalan pluralisme hukum – hukum adat dan hukum negara – khususnya tentang tanah ulayat.
Konflik tersebut juga terjadi karena adanya perbedaan pemahaman mengenai status tanah apakah sebagai tanah negara atau tanah ulayat (adat). Rikardo Simarmata34 dalam penelitiannya tentang tanah garapan menyatakan bahwa terminologi tanah garapan lahir karena tidak mulusnya proses konversi tanah adat sehingga tanah adat kemudian ‘dianggap’ sebagai garapan di atas tanah Negara. Selain itu, penguasaan tanah adat di dalam kawasan hutan ataupun wilayah pertambangan/wilayah kerja akhirnya
————————————-
34 Rikardo Simarmata, “Gejala Informalitas pada Tanah Garapan” dalam ejournal.undip.ac.id/index.php/lawreform/ article/download/697/564 diunduh pada tgl. 12 Juni 2016 jam 23.55.
dianggap juga sebagai tanah garapan. Dengan kata lain, tanah ‘garapan’ dalam rejim Hukum Tanah Nasional diklasifikasikan sebagai tanah Negara.
2, Menciutnya Tanah Adat
Roem Topatimasang dalam mencermati tanah ulayat di Maluku menyatakan bahwa perubahan pola pemilikan tanah komunal (ulayat) di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa VOC khususnya guna ekspansi kekuasaannya. Proses tersebut dilakukan dengan mengangkat kepala kampung atau petuanan setempat sebagai wakil seluruh warganya, sehingga dengan mudah mereka disuap dan ditekan dalam kasus pembebasan tanah untuk kepentingan penanaman modal baru.35
Mochtar Naim,36 yang prihatin dengan kondisi tanah ulayat di Sumatera Barat menyatakan bahwa sejak awal abad ke-20 kedudukan tanah ulayat makin melemah serta mengalami penggerogotan dari luar dan dari dalam. Dari luar melalui kekuasaan raja-raja maupun penghulu
————————————-
35 Roem Topatimasang, 2004, “Rangkuman Potret OrangOrang Kalah” dalam Roem Topatimasang (Penyunting), Orang-Orang Kalah, Penerbit INSISTPress, Yogyakarta, hlm.27.
36 Mochtar Naim, 1991, “Proses De-Ulayatisasi dan Nasib Tanah Adat”, Makalah disampaikan pada Dialog Pertanahan: “Tanah Sebagai Sumberdaya Demokrasi Ekonomi”, Bina Desa, 13-14 Agustus 1991 di Gedung YTKI Jakarta dengan judul: “Hak-hak Adat Atas Tanah dan Kedudukan serta Prospeknya Pada Pembangunan Jangka Panjang: Suatu Gambaran Umum”, hlm.2.
penghulu adat setempat, yang melakukan transaksi atas tanah-tanah ulayat dengan perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan ekspor. Raja-raja dan penghulu-penghulu adat setempat, mendapatkan manfaat dari hasil transaksi ini melalui upeti, silih jerih, uang ganti rugi, dsb.
Dari dalam, Mochtar Naim37 mengatakan bahwa sistem ekonomi dan sosial yang terjadi saat ini telah mengakibatkan tanah ulayat di seluruh daerah di Indonesia berubah, dari komunalisme ke individualisme dan dari kolektivisme ke kapitalisme. Secara khusus di Sumatera Barat ada sejumlah faktor yang kelihatannya berjalan seiring dan saling tunjang menunjang antara sesamanya, yang kesemuanya turut mempercepat ke arah terlikuidasinya tanah ulayat itu. Faktor-faktor tersebut adalah desakan kependudukan, tuntutan pembangunan khususnya usaha perkebunan, keharusan pensertifikatan melalui UUPA dan Prona dengan target-target dan prioritas-prioritas tertentu, dan faktor ninik mamak para pemangku adat.
Faktor terakhir ini diuraikan bahwa para pemangku adat telah diikat dalam sebuah organisasi profesi dengan nama LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang berpayung pada partai pemerintah dan mempunyai wakil di legislatif. Menyatunya ninik mamak dengan penguasa berfungsi sebagai perpanjangan tangan
————————————-
37 ibid, hlm. 3-4.
pemerintah untuk mempercepat proses pembangunan dan tuntutan pembangunan itu. Dengan keluarnya UU Nomor 5 Tahun 1979, nagari sekarang tidak lagi memiliki wewenang administratif maupun eksekutif dan legislatif, tetapi hanya semata unit kesatuan adat. Dengan tidak berfungsinya secara efektif lembaga-lembaga formal maupun informal di tingkat nagari ataupun desa itu, maka lantunannya dengan sendirinya adalah kepada permasalahan yang berkaitan dengan sosal-soal harta pusaka, termasuk tanah ulayat ini. Rakyat, oleh karena itu, cenderung lalu membawakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tanah ulayat ini kepada lembaga-lembaga formal yang lebih tinggi, di tingkat Kecamatan ataupun Kabupaten, termasuk pengadilan maupun kepolisian. Kelumpuhan yang terjadi pada lembaga-lembaga informal di tingkat desa dan nagari ini menyebabkan proses de-ulayatisasi makin cepat berlaku.38
Selanjutnya dalam mengamati proses de-ulayatisasi itu Mochtar Naim mengatakan:
Di daerah-daerah dimana pengertian tanah ulayat telah menipis, seperti di Jawa misalnya, kita telah menyaksikan proses yang cukup mengerikan dimana bilangan petani tak bertanah makin membesar dan karenanya proses pemiskinan juga makin menjadi. Sebaliknya di daerah-daerah di mana pengertian tanah ulayat masih kuat bertahan, seperti di
————————————-
38 ibid, hlm. 4.
Sumatera Barat, misalnya, proses kehilangan pegangan kepada tanah praktis tidak terjadi, karena hutan ulayat sekaligus berfungsi sebagai cadangan jika kampung telah penuh sesak dan sawah ladang tidak mencukupi lagi. Di samping itu, hak ulayat atas tanah, baik berupa pusaka tinggi maupun pusaka, di daerah perkampungan, sawah dan ladang, tetap dipertahankan sehingga tanah-tanah tersebut tidak ada yang jatuh ke luar. Kesatuan keluarga, kaum dan kampung oleh karena itu dapat dipertahankan.39
Kekhawatiran kedua pakar tersebut akan punahnya tanah ulayat telah berlangsung lama, dan perkembangannya cenderung mengalami peningkatan yang semakin intensif. Modernisasi yang dilakukan juga berimbas pada terjadinya pergeseran penguasaan tanah komunal ke penguasaan tanah individual, dan bahkan saat ini ke korporasi. Ketika tanah ulayat telah beralih menjadi kepemilikan individual dan terdaftar dalam sistem hukum negara, maka mekanisme pasarpun bekerja, yang mengakibatkan lepasnya kontrol komunal yang bersangkutan. Hal itu secara jelas dapat dilihat pada seluruh tanah ulayat di Indonesia.
Pada dimensi tertentu, hak menguasai negara juga berkontribusi pada percepatan peralihan hak komunal ke hak individual. Sistem hukum agraria nasional yang
————————————-
39 Mochtar Naim, “Kedudukan Tanah Adat Dewasa Ini”, materi disampaikan pada Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah Adat Dewasa Ini, Banjarmasin, 6-8 Okt 1977, Kerjasama BPHN-Universitas Lambung Mangkurat-Pemda Tk I Kalsel, hlm. 8-9.
tidak melakukan pengaturan pada eksistensi hak ulayat, mengakibatkan semakin termajinalnya hak-hak itu. Sebagaimana dikatakan oleh Franz and K.von BendaBeckman40, agar sumber daya agraria dapat menjadi komoditas yang marketable, maka status hukumnya harus diubah dari domain traditional living law ke domain hukum negara.
Ditinjau dari konsepsi tanah adat yang mengandung unsur komunalistik dan individualistik, maka penciutan tanah adat tersebut dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi. Pertama, perubahan dari tanah adat komunal (ulayat) menjadi tanah adat individual; dan kedua, perubahan tanah adat (baik komunal maupun individual) menjadi tanah non adat (tanah negara ataupun tanah hak). Pembahasan ini difokuskan pada penciutan tanah adat (komunal dan individual) dikarenakan perubahan entitas dari tanah adat menjadi tanah non adat.
Penciutan tanah adat terjadi karena beberapa sebab, namun secara umum ada 2 (dua) hal yang mendominasi, yaitu: (a) melalui mekanisme pelepasan hak sehingga tanah adat (ulayat) tersebut statusnya berubah menjadi tanah Negara; dan (b) melalui proses pendaftaran tanah adat, baik yang komunal maupun individual sehingga
————————————-
40 Franz and Keebet von Benda-Beckmann, 2003, “The Law of Things: Legalization and De-Legalization in the Relationship between the First and the Third World” dalam E.K.M. Masinambow (Editor), 2003, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm.27.
tanah adat tersebut entitasnya berubah menjadi tanah hak. Berikut ini diuraikan proses pelepasan hak (ulayat), sementara itu pendaftaran tanah adat akan diuraikan pada sub bab tersendiri.
Secara teknis juridis, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Dalam praktik, pelepasan hak dilakukan karena entitas tanah yang ada tidak memungkinkan untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak yang membutuhkan tanah, dalam kasus ini tanah ulayat yang akan dibuka menjadi usaha perkebunan, transmigrasi, kawasan wisata dsb.
Oleh karena itu, tanah adat tersebut haruslah dilepaskan terlebih dulu sehingga menjadi tanah negara, untuk kemudian diberikan dengan sesuatu hak atas tanah sehingga statusnya berubah menjadi menjadi tanah hak. UUPA dalam Penjelasan Umum menyatakan bahwa pelepasan tanah (hak) ulayat dilakukan dengan memberikan recognitie sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaannya.
Ada beberapa model pelepasan tanah adat yaitu: (a) dilepas oleh pemegang tanah adat kepada negara sehingga menjadi tanah Negara, dan kemudian oleh yang memberi ganti kerugian diajukan sesuatu hak atas tanah yang sesuai; (2) dilepas oleh pemegang hak secara ‘langsung’ kepada
yang memberi ganti kerugian, sehingga model pelepasan ini sesungguhnya merupakan jual beli; (3) “dilepas oleh pemegang tanah ulayat melalui Pemerintah Daerah setempat untuk kemudian tanah tersebut dijadikan areal perkebunan.41
Di Desa Nuangenda Kecamatan Wewaria Kabupaten Ende, Mosalaki42 melakukan pelepasan tanah adat dalam rangka kegiatan pendaftaran tanah atas nama penggarap (anakalo faiwalu). Surat pelepasan tersebut berjudul “Surat Pernyataan Penyerahan dan Pelepasan Hak Atas Tanah” yang ditandatangani oleh Mosalaki dan Kepala Desa Nuangenda. Di dalam surat Pelepasan tersebut tertulis
————————————-
41 Model pelepasan ini ditemukan dalam pelepasan tanah ulayat untuk usaha perkebunan di Kabupaten Pasaman, lihat Julius Sembiring, dkk, 2004, Studi Pelepasan Tanah Ulayat Dalam Rangka Pemberian Hak Guna Usaha Di Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat, Laporan Penelitian Dosen, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta.
42 Mosalaki adalah para Ketua Suku Adat, yaitu orangorang tertentu yang berdasarkan keturunan menempati kedudukan utama dalam masyarakat yang memegang peranan penting dalam adat istiadat serta peranan sentral dalam pemerintahan tradisional. Fungsi Mosalaki adalah suatu lembaga sosial yang multi fungsi, menetapkan berbagai aturan dalam kehidupan bermasyarakat sekaligus pengawas terhadap pelaksanaannya, serta sebagai lembaga peradilan adat terhadap pelanggaran aturan-aturan tersebut. Adonis dan Djoko dalam Meilisa, 2018, Peranan Lembaga Adat Mosalaki Terhadap Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (Studi Di Desa Nuangenda Kecamatan Wewaria Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur), Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta, hlm.19.
antara lain: bahwa para Mosalaki bersedia menyerahkan dan melepaskan bidang tanahnya dengan tulus ikhlas kepada para penggarap atau anakalo faiwalu untuk ditukar bidang tanahnya dalam rangka Kegiatan Program Operasi Nasional Agraria (PRONA). Selain menyerahkan sebidang tanahnya, para Mosalaki juga akan memberikan tuntutan atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh para penggarap atau Anakalo Faiwalu, dengan tuntutan sebagai berikut:43
1. Para penggarap/Anakalo Faiwalu tetap menjalankan seremonial adat sepanjang tahun (moke boti are wati manu eko).
2. Para penggarap/Anakalo Faiwalu tidak diperkenankan untuk mengalihkan bidang tanahnya kepada pihak lain tanpa seijin dan sepengetahuan Mosalaki.
Apapun hal yang dipersyaratkan dalam pelepasan tersebut, namun dengan dilepaskannya tanah adat tersebut maka status dari tanah tersebut telah berubah menjadi tanah Negara. Selain itu, tidak ada mekanisme kontrol yang ditegaskan untuk menjaga agar tanah tersebut tidak dapat dialihkan tanpa ijin dari Mosalaki.
Di kalangan suku Moi di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat, pelepasan tanah adat dilakukan dengan 2 (dua) tahap, yaitu pelepasan secara adat melalui pesta adat (timai) dan kemudian pelepasan di hadapan Notaris.
————————————-
43 ibid, dalam Lampiran Skripsi.
Dalam dokumen pelepasan tersebut tidak ada persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh pihak yang melepaskan hak (penjual).44
3, Pendaftaran Tanah Ulayat
Hukum Tanah Nasional menegaskan bahwa “untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang meliputi (a) pengukuran, perpetaan dan pembukuan hak; (b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan (c) pemberian surat-surat tanda bukti hak, sebagai alat pembuktian yang kuat” (Pasal 19 ayat (1) dan (2) UUPA).
Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. (Pasal 1 angka1 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
————————————-
44 Fitriana Eka Yunita, 2018, Pelepasan Hak Atas Tanah Adat Menjadi Hak Milik Perorangan Pada Suku Moi Di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat, Tesis, Program Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Salah satu tujuan dari pendaftaran tanah45 adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang penguasaan dan pemilikan atas suatu bidang tanah, sehingga upaya pengumpulan dan pembukuan data fisik serta data yuridis bidang tanah tersebut perlu dilakukan dengan seksama dan mutakhir. “Kepastian hukum itu meliputi: (a) kepastian hukum mengenai subyek hukum hak atas tanah (orang/badan hukum); (b) kepastian mengenai letak, batas, ukuran/luas tanah atau kepastian mengenai obyek hak; (c) jenis/macam hak atas tanah, yang menjadi landasan hubungan hukum antara tanah dengan orang/ badan hukum.46 Ditinjau dari aspek kategorisasi hukum, data dimaksud dapat diklasifikasikan pada 3 (tiga) kategori, yaitu tentang subyek hak, obyek hak dan hubungan hukum antara subyek dengan obyek hak tersebut.
Dalam hal pendaftaran tanah ulayat, ketiga kategori hukum tersebut juga merupakan persoalan karena, sebagaimana dikatakan oleh Hermayulis47, bahwa ada 3
————————————-
45 Dua tujuan lain dari pendaftaran tanah adalah untuk menyediakan informasi dan untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. (Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
46 R. Soeprapto, 1986, Undang Undang Pokok Agraria Dalam Praktek, CV. Mitra Sari, hlm. 322.
47 Hermayulis, 2000, “Status Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau dan Hukum Tanah Nasional” dalam Tanah Ulayat Di Sumatera Barat. Himpunan Makalah dan Rumusan Workshop. Diselenggarakan oleh Kantor Wilayah
(tiga) kendala dalam pendaftaran tanah ulayat, yaitu:
1. berkaitan dengan obyek hak, yaitu kesulitan dalam menentukan tanah yang mana yang akan didaftar; 2. subyek hak, yaitu atas nama siapa tanah tersebut didaftarkan; dan
3. bentuk hak, yaitu hak apa yang diberikan dalam pendaftaran tanah ulayat.
Terkait dengan obyek hak, PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa obyek Pendaftaran Tanah adalah:
a) bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
b) tanah Hak Pengelolaan;
c) tanah wakaf;
d) Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;
e) Hak Tanggungan; f) tanah Negara.
Dengan demikian tanah ulayat bukanlah merupakan obyek pendaftaran tanah. UUPA hanya memberikan mekanisme pendaftaran tanah adat melalui lembaga konversi, yaitu penyesuaian hak-hak atas tanah lama ke hak-hak atas tanah sebagaimana tercantum secara limitatif dalam UUPA, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna
————————————-
Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang, hlm.69.
bangunan, dan hak pakai. Namun perlu dipahami bahwa mekanisme konversi hak atas tanah berarti merubah entitas tanah yang bersangkutan, yang semula merupakan tanah adat menjadi tanah hak.
Selain itu terdapat pro kontra akan upaya pendaftaran tanah ulayat tersebut. Hermayulis48 mengatakan bahwa pendaftaran tanah ulayat memudarkan ikatan adat matrilineal yang hidup di Sumatera Barat. Herman Soesangobeng49 berpendapat bahwa menurut sebagian orang pendaftaran tanah ulayat menyebabkan perubahan sifat hak ulayat dari hak komunal menjadi hak individual. Jika didaftar atas nama mamak kepala waris timbul kecurigaan bahwa pensertifikatan tanah ganggam bauntuak menyebabkan berubahnya status tanah harta pusaka tinggi yang dimiliki semua anak kamanakan menjadi harta milik pribadi mamak kepala waris.
Herman Soesangobeng50 juga mengatakan bahwa ulayat bukanlah suatu hak sehingga tidak perlu didaftar, namun hak-hak yang muncul dari ulayat itulah yang perlu didaftarkan. Sebaliknya Sayuti Thalib51 mengatakan bahwa pensertipikatan tanah adat merupakan pembaharuan
————————————-
48 Hermayulis, 1999, op.cit.
49 Herman Soesangobeng, 2000, op.cit, hlm.118-119.
50 ibid.
51 Sayuti Thalib, 1985, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria Di Minangkabau, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, hlm.14.
terhadap hukum adat. Pensertipikatan tanah adat tidak akan menghapuskan tanah adat itu, melainkan sebaliknya justru semakin mempertegas status kepemilikan serta letak, luas dan batas-batas tanah kaum.
Terhadap pendapat Herman Soesangobeng, dapat dikemukakan argumentasi bahwa dalam konstruksi Hukum Tanah Nasional hak atas tanah hanya dapat dimunculkan pada tanah Negara, hak milik dan hak pengelolaan. Memunculkan hak atas tanah di atas hak ulayat tidak dapat diakomodir dalam lembaga pendaftaran tanah. Jika pada tanah ulayat tersebut dilakukan mekanisme sewa menyewa, pinjam pakai atau lembaga penggunaan/ pemanfaatan tanah lainnya tentu kurang menarik minat para investor karena tidak merupakan ‘hak kebendaan’ yang dapat dijadikan obyek jaminan hutang.
Dari aspek subyeknya, meskipun dapat dikatakan bahwa subyek tanah ulayat adalah masyarakat adat namun haruslah dapat diperjelas dan dipertegas siapa/apa subyek dari tanah ulayat tersebut ketika tanah ulayat tersebut didaftarkan. “Dalam kepustakaan anthropologi subyek hak itu disebut dengan unit sosial pemegang hak.52 Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa “unit sosial pemegang hak ulayat laut di Papua adalah suku-suku laut terbesar. Pemilikan tersebut kemudian sebagian dialihkan kepada suku-suku kecil (keret) pada perkembangan selanjutnya, desa atau kampung
————————————-
52 Ary Wahyono dkk., 2000, Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, Penerbit Media Presindo, Yogyakarta, hlm.30.
juga mengklaim wilayah perairan laut untuk melindungi penduduk setempat dari tekanan-tekanan nelayan pendatang serta pertimbangan pelestarian lingkungan dari eksploitasi yang berlebihan maupun penggunaan alat tangkap ikan yang merusak lingkungan.53
Di Sumatera Barat, satu unit kesatuan dari suatu masyarakat adat adalah nagari54 yang disamakan dengan ‘desa’55. Unit kesatuan itu di daerah lain disebut dengan desa pakraman di Bali, lembang di Toraja, marga di Sumatera Selatan, gampong di Aceh, huta/nagori di Sumatera Utara, tiuh atau pekon di Lampung, banua dan wanua di Kalimantan, soa di Ternate.
————————————-
53 ibid, 30-31.
54 Menurut Perda Provinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari; Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batasbatas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah). Sementara itu berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari suku dan kumpulan suku-suku, mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu. 55 Menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Meskipun masing-masing masyarakat adat tersebut merupakan unit sosial pemegang hak, namun tidak merupakan subyek hak dalam pendaftaran tanah. Di Sumatera Barat, walaupun yang diakui sebagai masyarakat adat adalah nagari namun tanah ulayat yang didaftar bukanlah tanah ulayat nagari, namun “tanah ulayat kaum yang didaftar melalui proses konversi hak dengan menyebutnya sebagai tanah milik adat56.
Hal tersebut dikarenakan “tanah ulayat kaum itu bukanlah tanah ulayat dalam pengertian teknis yuridis, tetapi tanah milik adat yang bersifat komunal atau tanah milik kaum.57 Dalam praktik, “pendaftaran hak milik atas tanah yang berasal dari tanah ulayat kaum tersebut dapat dibagi 2 (dua) yaitu: (1) didaftar atas nama kaum yang bersangkutan; dan (2) didaftar atas nama perorangan anggota kaum yang bersangkutan.58
Pendapat di atas sejalan dengan penelitian Hendy Esa Putra59 yang menyatakan bahwa terdapat dua kecenderungan
————————————-
56 Kurnia Warman, 2008, Pengaturan Sumber Agraria Di Sumatera Barat Pada Era Desentralisasi (Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara Dalam Perspektif Keanekaragaman dalam Kesatuan Hukum), Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.64.
57 Kurnia Warman, 2006, Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik. Penyimpangan Konversi Hak Tanah di Sumatera Barat, Penerbit Andalas University Press, Padang, hlm.53.
58 ibid, hlm.110-113.
59 Hendy Esa Putra, 2002, Peralihan Kepemilikan Komunal Kepada Pemilikan Perorangan Atas Tanah Di Kelurahan
dalam pensertipikatan tanah pusaka di Sumatera Barat. Pertama, kecenderungan dibagi, maksudnya bahwa sebelum tanah milik kaum tersebut disertipikatkan, terlebih dahulu dilakukan pembagian secara definitif menurut keluargakeluarga dalam kaum yang bersangkutan atau tanah milik komunal itu dipecah sebelum didaftarkan. Kecenderungan ini mengindikasikan terjadinya proses individualisasi pemilikan tanah di Sumatera Barat. Pembagian tanah milik kaum sebelum didaftarkan tersebut, biasanya dilakukan menurut bidang-bidang tanah ganggam bauntuak.
Kedua, kecenderungan tidak dibagi, maksudnya ialah walaupun diadakan pendaftaran tanah milik kaum – yang tanah ganggam bauntuak tercakup didalamnya – namun kesatuan hak komunal tersebut tetap dipertahankan seperti sedia kala. Tanah milik kaum itu tidak dipecah, melainkan langsung didaftarkan secara bersama untuk dan atas nama seluruh anggota kaum yang bersangkutan. Jadi tidak merubah status penguasaan atas tanah tersebut, sehingga tanah ganggam bauntuak pun tidak terusik keberadaannya. Dalam perkembangannya, tanah milik kaum yang terdaftar atas nama mamak kepala waris dan anggota kaumnya tersebut dilakukan pemecahan menjadi tanah hak milik anggota kaum masing-masing.60
————————————-
Alai Parak Kopi Kecamatan Padang Utara Kota Padang Provinsi Sumatera Barat. Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta.
60 ibid … hlm. 37.
Di Bali, persekutuan hukum yang disebut sebagai masyarakat (hukum) adat adalah desa adat. Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali, menyatakan bahwa Desa Adat sebagai Desa Dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, maka sebutan Desa Adat diganti menjadi Desa Pakraman yang kemudian diubah lagi dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001.
Meskipun unit sosial masyarakat adat di Bali adalah Desa Pakraman, namun dalam proses pendaftaran tanah adat (ulayat) dikenal 3 (tiga) subyek hak, yaitu:
a) tanah adat yang didaftar atas nama Pura yang dikenal sebagai tanah pura. Tanah Pura terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu untuk pembangunan pura (tanah Tegak Pura) dan yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan pura (tanah Palaba Pura). Pendaftaran tanah Pura tersebut dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.556/ DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Dengan demikian, tanah pura dapat disertipikatkan dengan status hak milik atas nama pura yang bersangkutan. Dilihat dari status penguasaannya, pura dapat berupa milik desa (druwe desa) atau pura yang dimiliki oleh warga desa (tanah mrajan). Pensertipikatan tanah-tanah pura yang dimiliki oleh Desa Pakraman seyogianya dicatat atas nama desa yang bersangkutan.
b) Tanah adat yang didaftar atas nama desa pakraman yang bersangkutan. Tanah yang dimiliki oleh desa adalah tanah adat desa pakraman yang dikenal dengan nama tanah druwe (milik) desa. Dilihat dari aspek penguasaan dan penggunaannya, “tanah druwe desa terdiri dari: tanah desa, tanah laba pura, tanah pekarangan desa (tanah PKD), dan tanah ayahan desa (tanah AYDS).61 Dari ke empat jenis tanah druwe desa tersebut maka yang didaftar atas nama ‘desa’ adalah tanah desa. Pendaftaran tanah adat atas nama desa pakraman dimungkinkan sejak diterbitkannya Keputusan
————————————-
61 I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Penerbit Upada Sastra, Denpasar, hlm. 120.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 276/Kep-19.2/X/2017 tentang Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah. Keputusan Menteri ini terbit sebagai ‘buah’ dari proses legislasi sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, Surat Gubernur Provinsi Bali Nomor 590/70/B.Tapem tentang Hasil Rapat Koordinasi Proses Pengusulan Desa Pakraman Sebagai Subjek Hak Milik Atas Tanah, dan Surat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali Nomor 1329/8-51/IX/2017 tentang Usulan Penunjukan Pakraman sebagai Subjek Hak Milik Atas Tanah. “Sebagai subyek hak maka dalam sertipikat Hak Milik ditulis nama desa pakraman dan kedudukannya, contoh: “DESA PAKRAMAN BELANCAN BERKEDUDUKAN DI KABUPATEN BANGLI”62
c) Tanah adat yang didaftar atas nama warga desa pakraman yang bersangkutan. Berdasarkan “Keputusan Paruman Agung Majelis Desa Pakraman
————————————-
62 I Putu Dody Sastrawan, 2018, Urgensi Penguatan Hak Atas Tanah Druwe Desa Di Desa Blancan Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli Provinsi Bali, Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta, hlm. 97.
Bali Tahun 2006 warga desa dikelompokkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu: (1) krama desa, adalah penduduk yang beragama Hindu dan mipil (tercatat) sebagai anggota desa pakraman; (2) krama tamiu, adalah penduduk yang beragama Hindu tetapi tidak mipil sebagai anggota desa pakraman; dan (3) tamiu, adalah penduduk yang tidak beragama Hindu dan tidak mipil sebagai anggota desa pakraman. Selain itu dikenal juga jatma pangumbangan, yaitu orang yang tidak jelas identitas dan asal usulnya.63 Pendaftaran tanah adat atas nama warga desa dilakukan hanya pada no (1), yaitu krama desa, dengan menuliskan nama krama pengarep yang menguasai tanah druwe desa yang bersangkutan, contoh: I NYOMAN KALIMUSADA MERTA KRAMA PENGAREP DESA PAKRAMAN BELANCAN BERKEDUDUKAN DI KABUPATEN BANGLI”64
Beberapa permasalahan terkait pendaftaran tanah adat di Provinsi Bali antara lain: (1) adanya bukan krama desa yang bersangkutan yang menguasai/memiliki tanah adat (PKDS/AYDS); (2) tanah PKDS atau AYDS yang dimiliki atas nama pribadi meskipun yang bersangkutan
————————————-
63 Wayan P. Windia, 2008, Menyoal Awig-Awig: Eksistensi Hukum Adat dan Desa di Bali, Penerbit Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH UNUD, hlm.2. 64 I Putu Dody Sastrawan, 2018, op.cit., hlm. 97.
adalah krama desa yang bersangkutan, sehingga terlepas dari kewajiban mengayah; (3) data dan status tanah druwe desa yang kurang jelas/lengkap.
Selain itu, terdapat model pendaftaran tanah (adat) yang berbeda dengan daerah lainnya, yaitu diterbitkannya 180 (seratus delapan puluh) sertipikat Hak Milik (individual) bagi Masyarakat Hukum Adat Tengger di Bromo, yang terletak di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, pada tanggal 9 Juli 2015. Pendafaran tanah adat tersebut dilakukan sebagai penerapan dari Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.
Tanah yang didaftarkan tersebut sesungguhnya merupakan tanah yasan, yang didaftar dengan mengakomodir kearifan lokal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Desa Ngadisari No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Tertib Pengaturan Tanah di Ngadisari. Kearifan lokal tersebut berupa larangan untuk menjual, menyewakan tanah tersebut kepada pihak luar, atau antar warga tanpa rekomendasi Kepala Desa atau Ketua Adat. Wujud kearifan lokal pada pendaftaran tanah tersebut adalah adanya stempel khusus berwarna merah pada halaman ‘PERUBAHAN’ sertipikat dengan tulisan:
“Berdasarkan Peraturan Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura No. 02 Tahun 2015 tanggal 04 Mei 2015 menyatakan bahwa Tanah Ini Tidak Boleh Dijual Atau Disewakan Dengan Pihak Luar Atau Antar Warga Tanpa Rekomendasi Kepala Desa atau Ketua Adat”.
Menilik pembagian sertipikat hak milik tersebut serta dikaitkan dengan Permen ATR/Ka. BPN No. 9 Tahun 2015 ada beberapa hal yang menjadi catatan. Pertama, perlu diperjelas apakah masyarakat Tengger tersebut merupakan masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu. Jika diklasifikasikan sebagai masyarakat hukum adat maka berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat harus ditetapkan terlebih dahulu dengan Keputusan Kepala Daerah yang dalam hal ini tidak ada dilakukan. Masyarakat Adat Tengger tidak dapat diklasifikasikan sebagai masyarakat dalam kawasan tertentu karena bukan masyarakat yang berada dalam kawasan hutan atau perkebunan.
Kedua, perlu ditunjukkan ciri ‘hak komunal atas tanah’ sebagaimana dimaksud dalam Permen ATR/BPN No. 9 Tahun 2015 meskipun dimungkinkan pendaftaran haknya dilakukan atas nama anggota masyarakat hukum adat atau masyarakat dalam kawasan tertentu, pengurus koperasi atau unit bagian dari desa, atau Kepala Adat/ Ketua/Pimpinan kelompok masyarakat lainnya.
Di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat, pendaftaran hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dilakukan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 245/KEP-7.1/VII/2016 tentang Penegasan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Suku Doreri Keret Rumsayor, Rumadas, Rumbobiar, Rumbrawer, Rumbafe dan Rumbruren Di Pulau Mansinam Kampung Mansinam Distrik Manokwari Timur Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat.
Tahapan terbitnya Keputusan Penegasan oleh Menteri tersebut dilakukan setelah adanya dokumen-dokumen sebagai berikut:
a) Surat Pernyataan Pemilikan/Penguasaan Tanah Adat Komunal Kelompok Masyarakat Adat Suku Doreri di Pulau Mansinam tanggal 18 Juli 2016 yang diketahui dan disetujui oleh Bapak Yairus Rumfabe selaku Ketua Dewan Adat Suku Doreri dan Bapak Amandus Rumsayor selaku Kepala Suku Pulau Mansinam;
b) Surat Ketua Dewan Masyarakat Adat Pulau Mansinam Nomor 01/DMA-PM/VII/2016 perihal Pengukuhan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Suku Doreri di Pulau Mansinam seluas ± 3.943.198 M2;
c) Surat Keterangan Bukti Pemilikan Tanah Adat Komunal Nomor 031/PKM/VII/2016 tanggal 19 Juli 2016 yang diketahui Kepala Distrik Manokwari Timur, yang menyatakan tanah yang terletak di seluruh daratan Pulau Mansinam, Kampung Mansinam, Distrik Manokwari Timur, Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat seluas ± 3.943.198 M2 adalah benar-benar tanah adat milik bersama (komunal) yang dikuasai dan dimiliki secara turun temurun oleh kelompok masyarakat adat Suku Doreri;
d) Surat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Papua Barat Nomor 918/8-92/VII/2016 tanggal 18 Juli 2016 perihal Permohonan Pengukuhan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Suku Doreri di Pulau Mansinam seluas ± 3.943.198 M2;
e) Surat Keputusan Bupati Manokwari Nomor 112/KPTS/ BUP-MKW/2016 tgl.22 Juli 2016 tentang Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Suku Doreri Keret Rumsayor, Rumadas, Rumbobiar, Rumbrawer, Rumbafe dan Rumbruren Di Pulau Mansinam Kampung Mansinam Distrik Manokwari Timur Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat seluas ± 3.943.198 M2 (Tiga Juta Sembilan Ratus Empat Puluh Tiga Ribu Seratus Sembilan Puluh Delapan Meter Persegi), yang menyatakan:
(1) bahwa Masyarakat Hukum Adat Suku Doreri dan Tanah Komunal Keret Rumsayor, Rumadas, Rumbobiar, Rumbrawer, Rumbafe dan Rumbruren tatanan hukum adat masih ada;
(2) bahwa pengurus tanah komunal adalah sebagai berikut:
(a) Keret Rumsayor: Amandus Rumsayor;
(b) Keret Rumadas: Fredik Hendrik Rumadas;
(c) Keret Rumbobiar: Efradus Rumbobiar dan Abner Rumbobiar;
(d) Keret Rumbrawer: Daniel Rumbrawer;
(e) Keret Rumbafe: Yairus Rumbafe;
(f) Keret Rumbruren: Piter Z. Rumbruren.
Penegasan Hak Komunal tersebut diberikan dengan ketentuan: (a) dalam hal terdapat kawasan hutan, agar dimintakan pelepasan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) dalam hal tanah aset pemerintah/BUMN/BUMD, agar dimintakan pelepasan aset dari instansi yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terhadap Penegasan Hak Komunal tersebut maka Penerima Hak dibebani kewajiban:
a) memelihara keberadaan tanda-tanda batasnya;
b) menggunakan dan memanfaatkan tanah sesuai dengan peruntukan, sifat dan tujuan dari pemberian haknya serta tidak diterlantarkan;
c) memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup;
d) tanahnya tidak dapat dijadikan sebagai jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan termasuk tidak dapat digadaikan dengan dalih apapun juga;
e) peralihan hak komunal atas tanah ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Komentar terhadap Penegasan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Suku Doreri adalah:
a) menggunakan terminologi ‘penegasan’ yang berbeda dengan Permen No. 9 Tahun 2015 yang menggunakan terminologi ‘penetapan’. Terminologi ‘penegasan’ merupakan istilah teknis juridis yang digunakan dalam pelaksanaan konversi hak atas tanah. Dengan dilakukannya konversi, maka entitas tanah yang semula merupakan tanah adat berubah menjadi tanah hak
b) jika hak komunal tersebut didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam Diktum Memutuskan KEEMPAT Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 245/KEP-7.1/VII/2016 maka hal yang perlu dipertanyakan adalah hak atas tanah apakah yang akan diberikan pada hak komunal tersebut. Jika diberikan hak milik pada Masyarakat Hukum Adat Suku Doreri atau 6 (enam) keret yang ada, maka perlu ditetapkan terlebih dahulu ketentuan yang menunjuk Masyarakat Hukum Adat atau Keret tersebut sebagai subyek hak yang berhak mempunyai hak milik (pemilikan) bersama.
c) Keputusan Menteri ATR/BPN tersebut memungkinkan dilakukannya peralihan hak komunal atas tanah, sesuatu yang sesungguhnya terlarang dalam ketentuan Hukum Tanah Adat.
Keempat contoh di atas menampilkan adanya persamaan dan perbedaan model pendaftaran tanah ulayat (adat). Persamaan dan perbedaan tersebut terlihat pada:
(a) Persamaan jenis hak atas tanah, yaitu pemberian hak milik pada 3 (tiga) daerah di atas (Sumatera Barat, Bali dan Masyarakat Tengger di Kab. Probolinggo);
(b) Perbedaan subyek hak baik antara daerah yang sama (dua model di Sumatera Barat, dan tiga model di Bali) maupun antar daerah yang berbeda;
(c) Perbedaan proses pendaftaran hak atas tanah, khususnya di Kabupaten Manokrawi yang sampai saat ini baru pada tahap penetapan subyek hak komunal melalui Keputusan Bupati, dan penegasan hak komunal melalui Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
BAB IV PENUTUP
Pembahasan awal buku ini menunjukkan bahwa sejak masa Kolonial hingga sekarang terdapat adanya perbedaan pandangan mengenai tanah ulayat, baik tentang terminologinya, subyeknya, obyeknya, dan juga hak yang melekatinya. Perbedaan pandangan tersebut berawal ketika Pemerintah Belanda memasuki era liberalisme sehingga politik kolonial harus dijalankan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari tanah jajahan. Oleh sebab itu, untuk dapat menguasai sumber daya agraria daerah jajahan maka sistem hukum tanah jajahan (hukum adat) haruslah ‘dintervensi’, dan sedapat mungkin disesuaikan dengan kepentingan negara kolonial.
Bagaimana proses interaksi antara hukum negara dengan hukum adat terjadi, menarik untuk disimak pendapat Patrick McAusland yang melakukan penelitian tentang interaksi kedua sistem hukum tersebut di berbagai
negara berkembang terutama di Afrika. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa terdapat 5 (lima) fase interaksi hukum adat dengan hukum negara, yaitu:1
1. fase akuisisi (acquisition), pendekatan yang dipakai adalah pendekatan feodal. Penguasaan terhadap wilayah sekaligus merupakan akuisisi terhadap tanahnya. Oleh karena itu hukum tanah (adat) yang berlaku di daerah yang sudah dikuasainya adalah hukum negara Eropah. Hukum adat dianggap tidak ada sehingga diakuisisi oleh hukum negara;
2. fase destruksi (destruction) yang merupakan fase lanjutan dari akuisisi, berupa penghancuran atau perusakan tatanan hukum asli. Penjualan tanah, yang sebelumnya tidak boleh dipermudah untuk mendukung perkembangan ekonomi pasar yang berorientasi ekspor. Karena sudah dihancurkan, akibatnya hukum adat menjadi tidak berfungsi dalam mengatur tanah-tanah rakyat;
3. fase rekonstruksi (reconstruction), yaitu timbulnya kesadaran dari penjajah terhadap nasib hukum adat sehingga dicoba untuk merekonstruksi hukum adat yang sudah hancur. Pada fase ini Pemerintah Kolonial
————————————-
1 Dalam Kurnia Warman, “Hukum Adat dan Hukum Negara: Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Hukum Positif Indonesia”, makalah disampaikan pada Focus Group Discussion yang diadakan oleh Komisi Ilmu Sosial – Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Yogyakarta, 24 Mei 2014.
menerima hukum adat dan tokoh-tokoh masyarakat asli untuk dijadikan bagian dari aparat kolonial. Tujuan utama kebijakan ini sebetulnya dalam rangka menciptakan stabilitas politik pemerintahan kolonial;
4. fase substitusi (substitution). Meskipun telah dilakukan rekonstruksi terhadap hukum adat namun posisi hukum adat tetap tidak sejajar dengan hukum kolonial. Hukum Adat diposisikan berada di bawah hukum kolonial (tersubstitusi). Walaupun sudah didaftarkan berdasarkan undang-undang hak-hak atas tanah yang diatur dengan hukum adat tetap saja berada di bawah hak atas tanah berdasarkan hukum negara;
5. fase integrasi (integration), yaitu upaya untuk membangun suatu hukum adat sebagai bagian dari hukum yang berlaku di samping hukum negara. Kebijakan ini ditujukan untuk mengembangkan hukum adat dan hak-hak atas tanah melalui proses administrasi yang difasilitasi oleh negara.
Meskipun fase-fase tersebut tidak persis sama dengan kondisi di Indonesia, namun secara substansial kelima fase itu ditemukan pada sejarah perkembangan politik hukum agraria Kolonial Belanda dengan segala implikasinya pada eksistensi tanah ulayat. Menarik pula untuk dikaji lebih lanjut apakah politik hukum yang menempatkan hukum adat sebagai dasar dalam pembangunan hukum agrarian nasional (serta memberikan pengakuan terhadap hak ulayat), dapat diklasifikasikan sebagai interaksi antara hukum negara dengan hukum adat pada fase integrasi. Seyogianya penelitian yang seksama perlu dilakukan untuk membahas kelima fase tersebut dalam perkembangan hukum adat di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan tanah ulayat sejak masa Kolonial – langsung atau tidak langsung – telah menimbulkan konflik laten agraria, yang pada kasus-kasus tertentu berkembang menjadi sengketa ataupun perkara. Secara umum, spektrum konflik tanah ulayat itu – vertikal dan horizontal – cukuplah beragam, antara lain:
1. tanah ulayat yang diklasifikasikan sebagai tanah Negara seperti perkara di Jayapura dan Sumatera Utara; dan di pelbagai daerah yang terjadi dalam proses pendaftaran tanah;
2. adanya claim antara entitas hutan adat dengan hutan negara;
3. adanya claim tanah (hak) ulayat dengan tanah hak yang skala besarnya terjadi pada areal perkebunan (HGU);
4. adanya claim tanah ulayat dengan areal ijin (konsesi) pertambangan;
5. konflik sehubungan dengan penetapan wilayah adat sebagai taman nasional ataupun kawasan hutan lindung;
6. konflik wilayah adat antar masyarakat adat.
Catatan Akhir Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 2017 menunjukkan terjadinya peningkatan konflik agraria. Di tahun 2017 terjadi 659 konflik agraria dengan luasan 520.491,87 ha. dimana sektor perkebunan menempati posisi pertama yaitu 32%, sektor kehutanan pada posisi kelima (5%), pertambangan di posisi ketujuh (3%).2
Salah satu faktor penyebab mencuatnya konflik tersebut karena belum clear-nya entitas tanah ulayat. Merujuk pada pendapat Maria SW. Sumardjono bahwa berdasarkan konsepsi hubungan antara Negara dengan tanah terdapat 3 (tiga) entitas tanah, yaitu: (1) tanah Negara; (2) tanah ulayat; dan (3) tanah hak3; maka sememangnyalah masih kurangnya perhatian Pemerintah dalam menyelesaikan persoalan tanah ulayat.
Jika dipertanyakan pada seluruh otoritas yang terkait dengan pertanahan dan juga seluruh pemerintah daerah yang di wilayahnya terdapat tanah ulayat mengenai luas dan letak tanah ulayat yang ada, diyakini tidak akan diperoleh data dimaksud. Seandainyapun ada, data dimaksud menunjukkan perbedaan sebagaimana tidak samanya data luas kawasan hutan antar satu otoritas dengan otoritas lainnya.
————————————-
2 http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatanakhir-tahun-2017/ diunduh pada tgl.10 Agustus 2018 jam 10.55 WIB.
3 Maria S.W. Sumardjono, 2010, Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat, Penerbit Bagian Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.22.
Kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam ‘mengurus’ tanah (hak) ulayat dapat dicermati bahwa sejak terbitnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat hingga saat ini, hanya 6 (enam) kabupaten/ kota yang menerbitkan peraturan daerah tanah (hak) ulayat, yaitu Kabupaten Kampar, Kabupaten Lebak, Kabupaten Nunukan, Kota Ternate, Kabupaten Malinau dan Kabupaten Sigi.
Dengan demikian, hal yang perlu mendapat perhatian untuk memberikan perlindungan pada eksistensi tanah ulayat adalah:
Pertama, adanya persamaan pandangan dari semua stakeholder tanah ulayat terkait penentuan subyek, obyek, dan hubungan hukum yang mendasari adanya hak atas tanah ulayat tersebut.
Kedua, sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang tanah ulayat. Banyak undang-undang, peraturan daerah dan Keputusan Menteri yang diterbitkan untuk mengatur tanah ulayat. Namun peraturan perundanganundangan tersebut bersifat sektoralisasi, artinya, diterbitkan berdasarkan kepentingan instansi masing-masing. Selain itu, regulasi yang dikeluarkan oleh Otoritas Pertanahan menunjukkan adanya ketidaktaatan asas. Permen No.9 Tahun 2015 dan Permen No.10 Tahun 2016 yang mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Permen No.5 Tahun 1999 telah membangun fiksi hukum dan ‘mematisurikan’ tanah (hak) ulayat. Tanah komunal yang mengandung hak yang berkarakter perdata dipersamakan dengan tanah ulayat yang mengandung hak yang berkarakter publik dan perdata sehingga didaftar dan diberikan hak milik.
Ketiga, pendaftaran tanah ulayat pada hakikatnya tidak perlu diterbitkan sertipikat, dalam arti tidak perlu diberikan hak atas tanah, karena tanah-tanah ulayat pada prinsipnya tidak dapat dialihkan ataupun diagunkan. Dengan demikian tahapan proses pendaftaran tanah ulayat yang dilakukan adalah penelitian (ada tidaknya tanah (hak) ulayat tersebut), pengukuran keliling, dan pemetaannya. Keabsahan subyek tanah ulayat berikut obyeknya ditempuh dengan Peraturan Daerah yang bersifat deklaratif, bukan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota yang bersifat konstitutif.
Keempat, dalam hal tanah ulayat akan dimanfaatkan oleh pihak lain dapat dilakukan melalui mekanisme ‘sewa’, bukan pelepasan hak. Kedepannya, perlu diatur konstruksi hak atas tanah dimana dimungkinkan hak atas tanah di atas tanah (hak) ulayat.
Kelima, pembentukan RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat serta RUU Pertanahan yang sedang berlangsung semoga dapat dijadikan momentum untuk mengatur upaya penyelesaian masalah tanah ulayat. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Aboesono, tanpa tahun, Sedjarah Hukum dan Politik Agraria di Indonesia. Djilid 1 (Djaman Pendjadjahan), Akademi Agraria di Jogjakarta.
Alias, Anuar, S.N. Kamaruzzaman, and Md. Nasir Daud, “ Traditional lands acquisition and compensation: The perception of the affected Aborigin in Malaysia” in International Journal of the Physical Sciences Vol. 5 (11), 18 September 2010.
Amal, M. Adnan, 2001, Kepulauan Rempah-Rempah. Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950.Tanpa penerbit.
Ananingsih, Sri Wahyu, 2015, Perkembangan Eksistensi Hak Ulayat Laut Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, Disertasi (Ringkasan), Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.
Anonim, 1981, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Bali Tahun 1980/1981.
Anonim, 1995, ‘Sambutan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Pada Seminar Masalah eksistensi Tanah Pekarangan Desa dan Tanah Ayahan Desa’ dalam Seminar Tanah Pekarangan Desa dan Tanah Ayahan Desa Ditinjau Dari Aspek Agama Hindu, Aspek Lembaga Desa (Desa Adat) dan Aspek Hukum Adat Bali, pada tanggal 1 Nopember 1995 di Bali.
Anonim, 2001, Masyarakat Adat Di Dunia. Eksistensi dan Perjuangannya. International Work Group for Indigenous Affairs – Institut Dayakologi. Pontianak.
Ashari, H. Masyhud, 2008, Status Tanah-Tanah Kesultanan Ternate Di Provinsi Maluku Utara (Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional). Laporan Penelitian: DPPM UII – Fakultas Hukum UII Yogyakarta.
Bakri, Muhammad, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara. (Paradigma Baru Untuk Reformasi Negara), Penerbit Citra Media, Yogyakarta.
Benda-Beckmann, Franz and Keebet von, 2003, “The Law of Things: Legalization and De-Legalization in the Relationship between the First and the Third World” dalam E.K.M. Masinambow (Editor), 2003, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Bosko, Rafael Edy, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, ELSAM, Jakarta.
Burns, Peter, “Adat yang mendahului semua hukum” dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga (Editor), 2010, Adat dalam Politik Indonesia, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.
Dharmayuda, I Made Suasthawa, 2001, Desa Adat. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Penerbit Upada Sastra, Denpasar.
Dhewi, R. Ay. Sri Retno Kusumo, 2006, Kedudukan Hukum Tanah Adat Di Daerah Yogyakarta Dalam Sistem Hukum Tanah Nasional, Ringkasan Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Do’a, Busranto Abdullatif, ‘Sistem Kemasyarakatan Tradisional Ternate Dalam Perspektif Budaya Modern’ dalam Sukardi Syamsudin dan Basir Awal (Editor), 2005, Moloku Kie Raha Dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam, Himpunan Pelajar Mahasiswa Ternate.
Doni, 2005, Konflik Tanah Kawasan Hutan Sebagai Refleksi Perbedaan Kepentingan Politik dan Ekonomi (Studi Kasus di Desa Bangunjaya dan Desa Cimanggu, Kecamatan Langkap Lancar, Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat), Tesis, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Fitzpatrick, Daniel, “Tatkala bencana alam menghadang: Kelenturan dan kelemahan hukum pertanahan Indonesia” dalam Myrna A.Safitri dan Tristam Moeliono (Penyunting), 2010, Hukum Agraria dan Masyarakat Indonesia, Penerbit HuMa, van Vollenhoven Institute dan KITLV-Jakarta.
———, “Tanah, Adat dan Negara di Indonesia pascaSoeharto. Perspektif seorang ahli hukum asing” dalam Jamie S. Davidson, et.al. (Penyunting), 2010, Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.
Haar, ter, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto), Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Hamzah, Wan Arfah dan Ramy Bulan, 2004, An Introduction to The Malaysian Legal System, Penerbit Fajar Bhakti Sdn.Bhd. (008974 – T), Selangor Darul Ehsan.
Harsono, Boedi, 1997, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I Hukum Tanah Nasional. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Hasan, Abdul Hamid, 1998, “Falsafah Adat Ternate” dalam Aroma Sejarah dan Budaya Ternate (Himpunan Makalah Abdul Hamid Hasan), Ternate, tanpa penerbit.
Hermayulis, 1999, Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Kekerabatan pada Sistem Kekerabatan Matrilinel Minangkabau. Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia.
———, 2000, “Status Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau dan Hukum Tanah Nasional” dalam Tanah Ulayat Di Sumatera Barat. Himpunan Makalah dan Rumusan Workshop. Diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang.
HR, Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Konseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Penerbit Alumni, Bandung.
Ismail, Ilyas, 2011, Konsepsi Hak Garap Atas Tanah, Penerbit Citapustaka Media Perintis, Bandung.
Kartohadiprodjo, Soediman, 1977, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia I, Hukum Perdata, Penerbit Ghalia Indonesia dan P.T. Pembangunan.
Kleden, Emil Ola, 2007, ‘Evolusi Perjuangan Gagasan “Indegenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional’, makalah dalam Advanced Training Hak Hak Masyarakat Adat (Indegenous Peoples’ Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM Di Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Hak Asasi Manusia – UII dengan Norsk Senter for Menneskerettigheter, Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta, tanggal 21-24 Agustus 2007.
Koesnoe, H.M., 2000, Prinsip- Prinsip Hukum Adat Tentang Tanah, Penerbit Ubhara Press, Surabaya.
Koesnoe, H. Moh., “Prinsip Prinsip Hukum Adat Tentang Hak Atas Tanah” dalam M. Ali Boediarto (Editor), 2002, Kapita Selekta Hukum Adat. Suatu Pemikiran Baru Prof. Dr. H. Moh. Koesnoe, S.H., Penerbit Varia Peradilan – Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta.
Lubis, M. Solly, 1989, Serba Serbi Politik dan Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Lukito, Ratno, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Penerbit Pustaka Alvabet, Tangerang.
Mahadi, 1970, Perkembangan Hukum Antar Golongan Di Indonesia, Jilid 1. Penerbitan Fak. Hukum USU No.6
———, 1978, Sedikit “Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah Di Sumatera Timur” (Tahun 1800-1975), Penerbit Alumni, Bandung.
———, 1991, Uraian Singkat tentang Hukum Adat sejak RR Tahun 1854, Penerbit Alumni Bandung.
McCarthy, John F. “Between Adat and State: Institutional Arrangements on Sumatera’s Forest Frontier”, dalam Human Ecology, vol. 33 No. 1, Februari 2005.
MD, Moh. Mahfud, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Penerbit LP3ES Indonesia, Jakarta.
Meilisa, 2018, Peranan Lembaga Adat Mosalaki Terhadap Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (Studi Di Desa Nuangenda Kecamatan Wewaria Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur), Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta.
Mubyarto dkk., 1992, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi, Penerbit Aditya Media, Yogyakarta.
Muhidin, A. Hakim, 1990, “Dayak Foundation Tuntut Hak Ulayat Kawasan Emas Hijau”, dalam Harian Umum Banjarmasin Post , tanggal 22 Juni 1990.
Naim, Mochtar, 1978, “Kedudukan Tanah Adat Dewasa Ini”. Makalah disampaikan dalam Simposium UndangUndang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah Adat Dewasa Ini di Banjarmasin. Kerjasama Universitas Lambung Mangkurat, Pemda Tingkat I Kalimantan Selatan dan BPHN.
———, 1991, “Proses De-Ulayatisasi dan Nasib Tanah Adat”, Makalah disampaikan pada Dialog Pertanahan: “Tanah Sebagai Sumberdaya Demokrasi Ekonomi”, Bina Desa, 13-14 Agustus 1991 di Gedung YTKI Jakarta dengan judul: “Hak-hak Adat Atas Tanah dan Kedudukan serta Prospeknya pada Pembangunan Jangka Panjang: Suatu Gambaran Umum”.
Onghokam “Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah” dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Penyunting),1984, Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.
Padmo, Soegijanto, 2000, Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten, Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.
Pelzer, Karl J., 1985, Toean Keboen dan Petani. Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria Di Sumatera Timur 1863-1947, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
Pradja, Ombo Sutya, ‘Hutan dan Masyarakat Adat’ dalam Sandra Kartika dan Candra Gautama (Penyunting), Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara, 1999, Prosiding Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta, 15-16 Maret 1999. Diterbitkan atas Kerja Sama Panitia Bersama Sarasehan dan Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999 dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP).
Pranoto, Suhartono W., 2001, “Lunguh dan Lurah: Tetap Aktual dalam Suhartono W. Pronoto, Serpihan Budaya Feodal, Penerbit Agastya Media, Yogyakarta.
Prill-Brett, June, “Contested Domains: The Indigeneous Peoples Right Act (IPRA) and Legal Pluralisme in the Northern Philippines” dalam Journal of Legal Pluralism, 2007 nr.55.
Purba, Rehngena, ‘Masyarakat Hukum Adat Melayu Deli dan Hak Ulayat’, makalah disampaikan pada Seminar Sehari Laskar Ampera M. Nawi Harahap Angkatan 66 Medan –SUMUT di Hotel Sahid Medan tanggal 11 Agustus 19991.
Putra, Hendy Esa, 2002, Peralihan Kepemilikan Komunal Kepada Pemilikan Perorangan Atas Tanah Di Kelurahan Alai Parak Kopi Kecamatan Padang Utara Kota Padang Provinsi Sumatera Barat, Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta.
Raharjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Penerbit P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Saftri, Myrna A., dan Tristam Moeliono, “Bernegara hukum dan berbagi kuasa dalam urusan agrarian di Indonesia: Sebuah Pengantar” dalam Myrna A. Saftri dan Tristam Moeliono (Penyunting), 2010, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Penerbit HuMa, van Vollenhoven Insttute dan KITLV-Jakarta.
Safitri, Myrna A., 2015, Indegenous Peoples in ASEAN: Indonesia, Asia Indegenous Peoples Pacth (AIPP) Foundation.
Sarjita, 2003, Konflik Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Kampong Kajoe Poeloe dan Kajoe Batoe Dengan Pemerintah Kota Jayapura Propinsi Papua, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sastrawan, I Putu Dody, 2018, Urgensi Penguatan Hak Atas Tanah Druwe Desa Di Desa Blancan Kecamatan Kintamani kabupaten Bangli Provinsi Bali, Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta.
Sembiring, Julius, 2009, 1000 Peribahasa Daerah Tentang Tanah/Pertanahan di Indonesia, Penerbit STPN Press, Yogyakarta.
Sembiring, Julius, A.B. Mapandin, Supartawidjaya, Haryo Budhiawan, Rofiq Laksamana, Sarjita, 2004, Studi Pelepasan Tanah Ulayat Dalam Rangka Pemberian Hak Guna Usaha Di Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat, Laporan Penelitian Dosen, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta.
Simarmata, Rikardo, “Menyongsong Berakhirnya Abad Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan Bersyarat”, Tulisan disampaikan pada ‘International Advocacy and Capacity Building for Indigenous Peoples in Indonesia’, diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Denpasar, 6-9 September 2004.
———, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, tanpa penerbit.
Sinar, T. Lukman, 1996, Perang Sunggal (1872-1895), tanpa penerbit.
Sitorus, Oloan, 2004, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah. Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.
Sjah, Hi. Mudaffar, “Sejarah Hukum Adat dan Lingkungan Hukum Adat Ternate” dalam Sukardi Syamsudin (Adi) dan Basir Awal (Editor), 2005, Moloku Kie Raha. Dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam, Himpunan Pelajar Mahasiswa Ternate.
Soekanto, 1966, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Penerbit P.T.RajaGrafindo Persada, Jakarta.
———, 1981, Meninjau Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, Penerbit P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soesangobeng, Herman, 2000, “Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat Dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah Di Desa Tigo Jangko Kecamatan Lintau Buo Kabupaten Tanah Datar” dalam Tanah Ulayat Di Sumatera Barat. Himpunan Makalah dan Rumusan Workshop. Diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang.
———, The Possibility and Mode of Registering Adat Title on Adat Land, Paper for 3rd FIG Regional Confrence in Jakarta, 3-7/10/2004.
———, 2012, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria, Penerbit STPN Press, Yogyakarta.
Soetoprawiro, Koerniatmanto 1994, Pemerintahan & Peradilan Di Indonesia (Asal-Usul & Perkembangannya), Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soetiknyo, Iman, 1988, Materi Pokok Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Jakarta.
Sudiyat, Iman, 1981, Hukum Adat, Sketsa Asas, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
———, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah Di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Maria SW. Sumardjono, 2010, Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat, Penerbit Bagian Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
———, “Hak Masyarakat Hukum Adat” dalam Harian Umum KOMPAS, Rabu, tanggal 19 Juni 2013.
———, “Ihwal Hak Komunal Atas Tanah” dalam Digest Epistema, Volume 6/2016.
Syahmunir, “Kedudukan Wanita dalam Kepemilikian Hak Ulayat di Minangkabau” dalam Alfan Miko, 2006, Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Padang: Andalas University Press,
Tamalowu, Martinus, 2007, Status Hak Atas Tanah Ciptaan Pemerintah Swapraja Kasunanan Surakarta, Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta.
Termorshuizen – Arts, Marjanne, “ Rakyat Indonesia dan tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di masa kolonial dan pengaruhnya dalam hukum agraria nasional” dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, 2010, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Penerbit HuMA-Jakarta, van Vollenhoven Institute, Leiden University dan KITLV-Jakarta.
Thalib, Sayuti, 1985, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria Di Minangkabau, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Topatimasang, Roem, 2004, “Rangkuman Potret OrangOrang Kalah” dalam Roem Topatimasang (Penyunting), Orang-Orang Kalah, Penerbit INSISTPress, Yogyakarta.
———, “Orang Tobelo. Tercerabut & Tersisih Di Tanah Sendiri” dalam Roem Topatimasang (Penyunting), Orang-Orang Kalah, Penerbit INSISTPress, Yogyakarta.
Vollenhoven, C. Van, 1975, Orang Indonesia dan Tanahnya. Seri Agraria 1, (diterjemahkan oleh Soewargono, M.A.), Pusat Pendidikan Departemen Dalam Negeri.
Wahyono, Ary, I.G.P. Antariksa, Masyhuri Imron, 2000, Hak Ulayat Laut Di Kawasan Timur Indonesia, Penerbit Media Presindo, Yogyakarta.
Wahyono, Padmo, 1989, Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Penerbit Penerbitan Bersama Firma Wijaya dan Yayasan Tritura ’66, Jakarta.
Kurnia Warman, 2006, Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik. Penyimpangan Konversi Hak Tanah di Sumatera Barat, Penerbit Andalas University Press, Padang.
———, 2008, Pengaturan Sumber Agraria Di Sumatera Barat Pada Era Desentralisasi (Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara Dalam Perspektif Keanekaragaman dalam Kesatuan Hukum), Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
———, “Hutan adat di “persimpangan jalan”: Kedudukan hutan adat di Sumatera Barat pada era desentralisasi” dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (Penyunting) (2010), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Penerbit HuMA, Van Vollenhoven Institute dan KITLV Jakarta.
———, “Hukum Adat dan Hukum Negara: Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Hukum Positif Indonesia”, makalah disampaikan pada Focus Group Discussion yang diadakan oleh Komisi Ilmu Sosial – Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Yogyakarta, 24 Mei 2014.
Wignyodipuroe, Soerojo, 1968, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Penerbit P.T. Toko Gunung Agung, Djakarta.
Wignyosoebroto, Soetandyo, 1995, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Wiguna, I Gusti Ngurah Tara, 2009, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuna Abad X-XI Masehi, Penerbit Udayana University Press, Denpasar.
Windia, Wayan P., 2008, Menyoal Awig-Awig. Eksistensi Hukum Adat dan Desa di Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Yamin, Mohammad, 1959, Naskah Persiapan UndangUndang Dasar 1945, Jilid Pertama, Penerbit Yayasan Prapanca, Jakarta.
Yarisetou, Wiklif, 2009, Tiatiki. Konsep dan Praktek, Penerbit ARIKA Publisher, Jayapura.
Yunita, Fitriana Eka, 2018, Pelepasan Hak Atas Tanah Adat Menjadi Hak Milik Perorangan Pada Suku Moi Di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat, Tesis, Program Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 058059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkaran Nomor 008/PUU-III/2005 membatalkan sebagian Pasalpasal dalam UU No. 7 Tahun 2004; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa UU No. 7 Tahun 2004 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
AR, Azmi Siradjudin, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional dalam http://www. ymp.or.id/content/view/107/35/, diunduh pada tgl.6 Juli 2009 jam 13.47.
Eder, James F., “indigenous Peoples, Ancestral Lands and Human Rights in the Philippines” dalam Cultural Survival, June 1994 dalam https://www. culturalsurvival.org/publications/culturalsurvival-quarterly/indigenous-peoples-ancestrallands-and-human-rights, diunduh tgl. 11 Februari 2018.
“Berdayakan Masyarakat Hukum Adat untuk Perlindungan Lingkungan”. Temp/HOCVP07L.htm
Dwipayana AA GN Ari, dan Sutoro Eko, Pokok-pokok Pikiran Untuk Penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004 Khusus Pengaturan Tentang Desa, dalam http://desentralisasi.org/ makalah/ Desa/ AAGNAriDwipayanaSutoroEko_ PokokPikiranPengaturanDesa.pdf
Firmansyah, Nurul, Hutan Nagari atau Hutan Desa, diakses dari www.Qbar.or.id
IWGIA, 2008, “Indigenous Issues”, diakses pada tanggal 27 November 2008 dari http://www.iwgia.org/sw153. asp
Simarmata, Rikardo, “Gejala Informalitas pada Tanah Garapan” dalam ejournal.undip.ac.id/index.php/ lawreform/article/download/697/564 diunduh pada tgl. 12 Juni 2016 jam 23.55.



Editor:Dedy TA