
Rasindo group.com – Sejak masuknya Agama Islam ke Indonesia, kehidupan masyarakat Indonesia sedikit-banyak mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud bersangkutan dengan pergaulan hidup antar sesama manusia dan dalam hal peribadatan terhadap Tuhan.
Dalam hal pergaulan hidup antar sesama manusia, syariat atau hukum Islam sangat berpengaruh terhadap perubahan pandangan maupun kehidupan nyata di masyarakat.
Oleh karena perkembangan Islam berlangsung dalam waktu yang lama, maka syariatnya (hukum-hukumnya) tidak sekedar mempengaruhi, tetapi juga sudah menentukan cara hidup masyarakat Indonesia sebagai pemeluk agama Islam.
Walaupun teori “Reseptio in Complexu” (penerimaan keseluruhan) dari Van den berg tidak seluruhnya dapat diterima, tetapi dalam kenyataannya bahwa Hukum Islam dan Hukum Adat adalah bagian dari sistem hukum nasional disamping adapula sistem-sistem hukum lainnya yang turut memberi arti dan peran. Namun sebagai suatu system dan sistem hukum, Hukum Islam dan Hukum Adat menunjukan pemisahan sehingga berdiri sendiri dan mandiri, dan kelanjutan perkembangan kedua sistem hukum tersebut menunjukan sistem hukum mana yang dapat eksis dan mana yang dapat semakin tertinggal, bahkan berkurang peranannya.
Ketika politik hukum kolonial menempatkan kedudukan Hukum Islam sebagai bagian dari Hukum Adat, dalam perkembangannya pasca-kemerdekaan Republik Indonesia bermunculan teori-teori yang membantah masuknya Hukum Islam kedalam bagian Hukum Adat.
Hapusnya pengadilan Adat telah merusak dan menggerus kekuatah hukum Adat sebagai suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya Hukum Islam memperlihatkan penguatan peradilan agama yang terakhir ini diatur berdasarkan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Eksistensi Hukum Islam semakin menguat dengan berlakunya sejumlah peraturan perundang-undangan dalam bidang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) (Sukuk), Perbankan Syariah, Pengelolaan Haji, Pengelolaan Zakat, dan lain-lainnya, dan sebagai suatu sistem hukum, Hukum Islam yang mengusung nilai-nilai Islami (Prinsip-prinsip Syariah), semakin memberi arti dalam pola perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, meskipun secara konstitusional ditegaskan bahwa Negara Indonesia bukan Negara berdasarkan atas dasar Hukum Islam, namun dalam tataran implementatif, kedudukan dan peran Hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional dihadapkan pada berbagai tantangan, apakah nantinya Hukum Islam, tetap eksis atau akan mengalami nasib yang sama seperti Hukum Adat, apalagi di era globalisasi dan menguatnya demokratisasi dan HAM yang membutuhkan jawaban terhadap berbagai masalah dan isu kontemporer. Dengan demikian hukum Islam (waris, perkawinan, wakaf) yang telah mentradisi itu diambil sebagai sumber hukum material ke dalam hukum positif.
Pengertian Hukum Islam
Materi hukum Islam tidak hanya hukum waris, perkawinan dan wakaf saja. Hukum Islam lebih luas dari itu, karena apabila disistematisasikan secara modern, hukum Islam dapat dibedakan menjadi hukum publik dan hukum privat.
Hukum Waris, hukum perkawinan, wakaf adalah sebagian kecil dari hukum privat Islam yang menjadi sumber hukum nasional.
Hukum Islam adalah hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (Allah) yang disebut ibadah “mahdhah”, dan hubungan antara sesama manusia dan lingkungannya yang disebut “ghairu mahdhah” (muamalah) yang dilandasi oleh/berdasarkan syariat Islam.
Adapun yang dimaksud hukum Islam di bab ini adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara sesama manusia (muamalah), diantaranya adalah dasar-dasar hukum perkawinan Islam, waris Islam dan hukum wakaf.
Sudah menjadi kesepakatan para ahli hukum Islam, bahwa tiap-tiap peristiwa ada ketentuan hukumnya. Baik berdasarkan nash yang tegas atau nash yang kurang tegas (samar-samar/kabur) yang memerlukan penafsiran (interpretasi) hukum, maupun yang tidak ada nash.
Sehubungan dengan hal tersebut timbul perbedaan mengenai sumber-sumber hukum (Islam).
Dari perbedaan itu, ada yang menyebut, sumber hukum Islam itu ada dua, yakni:
- Al-Qur’an, dan
- Al-Hadits.
Ada yang menyebut sumber hukum Islam itu empat, yaitu:
- Al-Qur’an;
- Al-Hadits;
- Ijma’; dan
- Qiyas).
Selain itu ada yang menyatakan bahwa sumber hukum Islam lebih dari sepuluh yang kemudian diringkas menjadi empat (Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas) sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Kemudian diringkas lagi menjadi dua (Al-Qur’an dan Al-Hadits).
Menurut pendapat yang menyatakan bahwa sumber hukum Islam ada sepuluh lebih adalah:
(1). Al-Qur’an;
(2) Al-Hadits,
(3). Ijma’ (pendapat fuqoha Mujtahid);
(4). Qaul Shahabi (pendapat sahabat),
(5). Qiyas atau Argumentum analogi (mempersamakan hukum suatu peristiwa/perkara yang belum ada hukumnya dengan hukum peristiwa/perkara lain yang sejenis yang sudah ada hukumnya);
(6). Istihsan (argumentum a contrario);
(7). Maslahat Mursalah;
(8). Urf (kebiasaan baik);
(9). Istishab (terus menerus menetapkan apa yang telah ada dan meniadakan apa yang tadinya tidak ada);
(10). Saddudz dzara’i (menetapkan hukum suatu perkara/peristiwa dengan suatu hukum yang terdapat pada perkara/peristiwa yang dituju);
(11). Syariat umat Islam sebelumnya (sebelum kita). Hukum waris Islam, hukum perkawinan Islam, dan hukum wakaf merupakan bagian kecil hukum privat Islam yang telah dipositifkan sebagai hukum nasional (ius positum/ius constitutum).
Editor: Dedy TA