
Gambar Ilustrasi Peraturan Daerah Provinsi Lampung
RASINDO NEWS.COM – Rakyat/Masyarakat Lampung melalui generasi penerus telah memiliki keinginan untuk mengetahui kebijakan para pemimpin daerah yang salah satunya tentang penerbitan peraturan dan perundang-undangan. Para pemuda generasi penerus bangsa wajib menyampaikan aspirasi sebagai perwujudan demokrasi yang bertanggungjawab dengan tujuan untuk kebaikan dan keseimbangan.”sumber terpercaya 28/11/2021″
Berdasarkan keterangan dari sumber terpercaya yang mengatakan “Setelah saya membaca Peraturan Daerah Provinsi Lampung nomor 5 tahun 2013 tentang kelembagaan masyarakat adat Lampung, Perda nomor 4 tahun 2009 tentang Perubahan atas peraturan daerah Provinsi Daerah tingkat I Lampung NOMOR: 01/Perda/I/DPRD/71-72 TENTANG BENTUK LAMBANG DAERAH PROPINSI LAMPUNG, di dapatkan kesimpulan dari beberapa sudut pandang, yang mana menurut sumber terpercaya tersebut seperti dari tahun 2013 Adat Lampung dipegang dan dikendalikan oleh hanya satu Kelompok Organisasi, dengan demikian keterlibatan publik dalam membantu membesarkan adat istiadat yang sesungguhnya, khususnya di tanah Lampung yang memiliki 2 komunitas budaya ini seolah tersamarkan.
Seperti diketahui bersama bahwasanya Provinsi Lampung memiliki 2 komunitas budaya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya yaitu SAIBATIN dan PEPADUN , yang telah ada di tanah Lampung jauh sebelum lahirnya Provinsi Lampung itu sendiri. Pada tahun 2013 lahirlah organisasi adat yang diberi nama MPAL yang disahkan dan diperdakan oleh Gubernur Lampung pada saat itu, sebagai organisasi adat yang telah dikukuhkan, MPAL seolah menjadi pemegang kendali adat di Lampung. Sementara 2 Komunitas Budaya Lampung yakni Saibatin dan Pepadun memiliki perangkat adat dan penyimbang adat yang berperan penting atas tumbuh kembangnya adat dan budaya di Lampung. Dengan demikian MPAL seakan-akan dibentuk hanya untuk menjadi alat agar mendapatkan keuntungan yang hanya dinikmati oleh Komunitas/Organisasi MPAL itu sendiri dengan mengatasnamakan Adat Lampung.
Akan lebih elok jika kehadiran MPAL menjadi sebuah wadah yang memfasilitasi para perangkat dan penyimbang adat yang eksistensinya telah tercatat sejak beratus tahun yang lalu untuk bersama-sama memajukan adat dan budaya Lampung, bukan malah terkesan menjadi pemegang kendali segala yang berkaitan dengan adat di Lampung.
Oleh karena itu, sebaiknya diadakan peninjauan ulang terkait hal tersebut diatas oleh para pelaku publik yang berwenang, serta dikoreksi kembali oleh penyimbang adat pada khususnya dan masyarakat adat pada umumnya, diperlukan juga keterlibatan dari Legislatif dan Eksekutif di tingkat Kabupaten, Provinsi hingga ke pusat, mengingat kegiatan organisasi MPAL sudah bergulir sekian lama sejak tahun 2013 hingga saat ini. Jika ditelusuri lebih dalam dikhawatirkan akan ditemukan adanya penyimpangan anggaran, karena seharusnya penerima anggaran tepat sasaran, sementara tidak semua penyimbang adat dan perangkat adat yang sebenarnya masuk dalam Organisasi MPAL.
Untuk diketahui, bahwa tata cara adat yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang berlaku dalam adat sejak beratus tahun lalu, tidak selaras dengan peraturan perda nomor 5 tahun 2013 dan AD/ART Organisasi MPAL. Jika tradisi di karang-karang itu namanya KREASI bukan TRADISI.
Lalu Lampung ini akan di bawa kemana apakah ke SANG BUMI RUWA JURAI atau ke SAI BUMI RUWA JURAI? Mungkin hanya si pembuat undang-undang dan menetapkan Perda nomor 5 tahun 2013 yang lebih tahu. “tutup sumber terpercaya” (DTA)